Sebuah tayangan televisi pada 14 Februari lalu membuat saya tercengang. Komedian yang sedang terbaring sakit, Pepeng–pembawa acara Kuis JariJari— diberi hadiah Valentine oleh pembawa acara Espresso di ANTV. Keterkejutan saya karena hadiah tersebut adalah Al Qur’an.
Ini merupakan bentuk “kecanggihan” orang/kelompok/organisasi yang berusaha menghancurkan Islam secara halus. Betapa tidak, Al Qur’an, sebuah Kitab Suci yang berisikan wahyu Allah, “dinistakan” dengan cara dijadikan sebagai hadiah pada acara Valentine yang bermuasal dari agama paganisme. Hak dan batil dicampuradukkan. Cara itu menggiring opini pemirsa yang mayoritas umat Islam, bahwa Valentine itu kompatibel dengan Islam. Toh, Al Qur;’an dijadikan sebagai gift. Luar biasa halusnya.
Cara halus mereka–yang tentu saja telah dilakukkan lebih dari seratus tahun– telah berhasil. Contoh kecil tapi menyedihkan: Di hari yang sama, vokalis band terkemuka (antara Radja dan Pasha Ungu) yang istrinya melahirkan tepat pada Hari Valentine, menamakan anaknya: Muhammad Valentino. “Muhammad itu nama Nabi, dan Valentino sebagai bentuk untuk mengingat hari kasih sayang,” kata mereka.
Kisah enam bulan lalu itu saya angkat kembali untuk mengingatkan, betapa media–cetak apalagi elektronik– memiliki kekuatan dahsyat untuk membentuk opini, mengubah mind-set, dan membentuk budaya. Ingat kata futurolog Alvin Toffler. “Abad 21 adalah era informasi. Siapa yang menguasai informasi, maka akan menguasai dunia.”
Satu bulan terakhir ini—setelah Marriot dan Ritz Carlton meledak—sesungguhnya kita tengah digiring oleh hampir seluruh media untuk sependapat bahwa: teroris itu Islam; teroris itu berjanggut, bercadar dan dari pesantren; teroris itu ahli bekam dan herbal; teroris itu aktifis masjid; teroris itu orang yang pernah ke Poso, Ambon dan Afghanistan. Tak percaya?
Lihat saja bagaimana para jurnalis itu beraksi. Koran Tempo kerap kali menampilkan foto para tersangka teroris dengan wajah khas para aktivis Islam: berjanggut, bersorban dan lainnya. Pernah, dalam headlinenya—salah satu koran yang juga bersemangat menentang UU Pornoaksi– itu menulis pemikat beritanya dengan sangat tendensius dan stigmatif. “Ia ahli bekam dan pengobatan herbal,” tulisnya menunjuk pada sosok Syaifudin Zuhri, ustadz yang menurut mereka merupakan teroris.
Setali tiga uang dengan media elektronik. Mereka– TV One, Metro TV, SCTV, ANTV, RCTI—tak bosan-bosannya menampilkan wawancara dengan para keluarga yang diduga teroris. Perhatikan apa yang terlihat dalam gambar! Para anggota keluarga itu, memakai simbol-simbol kekaffahan seorang muslim saat diwawancarai: berjilbab, bersarung, bercadar dan berbaju gamis. Visual itu seolah ingin mengatakan: Ini loh, orang-orang yang berjilbab itu sesungguhnya sumber lahirnya teroris.
Konspirasi
Anda pernah menyaksikan film “Conspiracy Theory”, yang dibintangi Mel Gibson dan Julia Roberts. Film yang dirilis tahun 1997 itu menceritakan tentang seorang maniak teori konspirasi bernama Jerry Fletcher (Mel Gibson) yang bekerja sebagai sopir taksi.
Pria tampan berpenampilan cuek tapi terlihat cerdas tersebut memiliki kekasih bernama Alice Sutton (Julia Roberts) yang bekerja untuk pemerintah. Jerry yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah memiliki teori yang disebutnya Conspiracy Theory atas dugaan pembantaian yang dilakukan oleh beberapa tokoh politikus. Ternyata, tanpa diduga salah satu teori Jerry menjadi kenyataan.
Jerry pun diburu oleh sekelompok orang asing atas suruhan politikus yang terlibat dalam teori konspirasi tersebut. Bahkan Jerry harus dibunuh sebelum teori itu menjadi pusat perhatian masyarakat. Satu-satunya orang yang dapat dipercaya oleh Jerry adalah Alice, wanita yang dicintainya. Namun sayangnya Alice tidak tahu apa yang harus diperbuat karena semua mengandung misteri.
Konspirasi-konspirasi seperti yang digambarkan di dalam film Conspiracy Theory itu memang ada. Di dalam dunia usaha global, perusahaan besar membeli produk-produk setiap harinya, adalah bagian dari konspirasi untuk memperbaiki harga di pasar dan mengurangi kompetisi. Begitu pula dalam ranah politik, sosial dan lainnya.
Bagi orang yang tidak percaya selalu menganggap semua hanya olok-olok, mengada-ada, menyia-nyiakan waktu, kurang kerjaan, dan sebagainya. Orang-orang JIL, misalnya, menyebut para penganut teori ini sebagai “kemalasan berpikir”.
Namun, bagi saya, percaya pada konspirasi merupakan “kejernihan berpikir”. Tak sulit untuk menyimpulkan sebuah peristiwa adalah konspirasi atau tidak. Cukup menelaah pra kejadian, saat kejadian dan setelah kejadian. Biasanya, jika kita mau sedikit cermat, ada saja ditemukan kejanggalan-kejanggalan dan benang merah.
Mari kita bedah peristiwa pemboman Marriot dan Ritz Carlton. Sebelum bom meledak, travel warning diberikan pemerintah Australia kepada warganya agar tak mengunjungi Indonesia. Kemudian, polisi menemukan bom di Cilacap. Sebelum itu, polisi juga menangkap teroris di Palembang. Pola ini selalu sama dengan pemboman yang sudah-sudah: Bom Bali I, II, dan Kedubes Australia (2004). Sebelum peledakan terjadi, didahului travel warning, penemuan bom dan lainnya.
Lalu, hari H peledakan, terdapat banyak kejanggalan. Bagaimana mungkin JW Marriot dan Ritz Carlton bisa disusupi, padahal pengamanan di sana, sejak dibom pada 2003, sangat ketat. Saya pernah masuk ke Marriot pada Juni 2007. Pengamanannya berlapis, tak sembarang orang bisa masuk.
Kalaupun dugaan saya di atas masih lemah, mari kita lihat apa yang terjadi setelah bom meledak—yang menurut saya mengindikasikan dengan kuat adanya konspirasi. Pasca peledakan, semua media gencar memberitakan kasus ini, hingga sekarang. Liputan langsung dibuat. Tak cukup dengan itu, juga diundang para nara sumber yang memiliki pandangan sama, salah satunya mantan Kepala BIN. Dua kali ia diwawancarai TV One, dan satu kali oleh Metro TV. Statementnya selalu sama: “Teroris itu akan selalu bermunculan jika akar penyebabnya tak dihabiskan, yakni wahabisme dan ikhwanul muslimin,” kata dia.
Pernyataan ini menjadi menarik. Pertama, beberapa bulan sebelum peledakan, muncul buku Ilusi Negara Islam yang diterbitkan orang-orang liberal. Isinya idem ditto dengan ocehan mantan Kepala BIN itu. Buku yang diedit Abdurrahman Wahid itu—lucu juga kok bisa Gus Dur yang penglihatannya tak sempurna bisa mengedit—menyatakan bahwa di Tanah Air ada ideologi transnasional yang harus diwaspadai: wahabisme, ikhwanul muslimin. Disebutkanlah nama-nama organisasi pengusung ideologi tersebut: MMI, DDII, HTI, PKS, dan FPI.
Kedua, seolah ingin menindaklanjuti pernyataan mantan Kepala BIN itu, pihak kepolisian mulai membabi buta memberantas teroris. Di Purbalingga, anggota Jamaah Tabligh ditangkap karena dicurigai teroris saat mereka khuruj di masjid. Dan yang paling memprihatinkan, kepolisian akan mengawasi ceramah agama di masjid dan mushola, termasuk di bulan Ramadhan. Neo Orde Baru telah datang.
Pasca peledakan, sudah teramat jelas, pihak yang paling dirugikan oleh kepolisian dan pemberitaan media adalah umat Islam. “Kolaborasi” ini tentu saja akan memudahkan mereka untuk melakukan “teror” kepada umat Islam. Dan media pun akan kian mudah menciptakan opini bahwa teroris itu adalah Islam berjanggut, berjilbab dan aktivis masjid. Dengan cara ini mereka berharap: para remaja, pemuda dan umat Islam pada umumnya, akan takut datang ke masjid, mengikuti pengajian, dan menjadi Islam yang kaffah. Dari pada ditangkap, lebih baik menjadi kaum hedonis: yang asyik masyuk berdugem ria, menonton film porno, menyaksikan sinetron. Juga lebih baik menjadi kaum liberalis dan sekularis: yang mempromosikan Islam yang bebas tak bertanggungjawab.
Dan jangan kaget, bila suatu saat nanti, Al Qur’an akan menjadi hadiah wajib saat Hari Valentine. Naudzubillahminzalik. Masihkah kita mengaggap ini bukan rekayasa? Wallahua’lam.
Erwyn Kurniawan, S.Ip, Alumni FISIP Universitas Nasional dan sekarang sebagai Editor di Maghfirah Pustaka