Jurnalisme Teror (3): Karena Kita Gemar Berkerumun

Alkisah, pernah ada seorang ulama menemui Presiden Soekarno untuk menanyakan mengapa hukum Islam tak diterapkan di Indonesia. Sebuah percakapan kemudian terjadi galibnya suatu pertemuan.

”Apakah Tuan mewakili umat Islam atau diri Tuan sendiri?” Tanya Bung Karno.

“Saya mewakili aspirasi umat Islam Indonesia,” jawab Sang Ulama.

“Tuan berkata besar tanpa bukti,” ujar Bung Karno. Mengubah undang-undang, lanjut presiden pertama Indoensia itu, bukan perkara kecil. Begitu pula menyebut diri mewakili umat Islam Indonesia. “Aku ingin bertanya kepada Tuan, berapa jumlah ulama di Indonesia?

“Ribuan, bahkan puluhan ribu,” jawab Ulama tersebut.

“Baiklah,” ucap Bung Karno,” dalam tempo sepuluh hari kumpulkan sepuluh ulama Islam yang memiliki pendapat yang sama dengan Tuan. Bila berhasil, Insya Allah, aku akan menjadi yang kesebelas.”

Ulama tersebut kemudian mencari sepuluh ulama yang seide dengannya. Usahanya tak berhasil karena ia tak menemukan ulama yang dimaksud. Mereka sukar dipersatukan.

Kisah ini memang hanya kabar burung, namun sesungguhnya merupakan cermin wajah umat Islam, khususnya para pemimpinnya, yang sulit bersatu. Saya ingin memberi contoh mutakhir yang mengkonfirmasi hal ini. Satu hari menjelang Pilpres 8 Juli lalu, umat disuguhkan berita tak elok di Republika. Pengurus Pusat Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) memprotes Forum Umat Islam (FUI) karena memasukkan nama IKADI sebagai salah satu lembaga yang mendukung pasangan JK-Win.

Perselisihan ini seolah membuka tabir bahwa komunikasi antara para pemimpin umat sangatlah buruk. Tak ada koordinasi, tiada silaturahim. Sangat menyedihkan mengingat mereka hampir setiap hari berteriak di atas mimbar tentang pentingnya ukhuwah Islamiyah dan kebangkitan Islam.

Di negeri ini, sejarah umat Islam adalah berhimpun untuk kemudian terpecah. Ingat bagaimana Syarikat Islam yang awalnya diniatkan mempersatukan umat, namun akhirnya tercerai berai karena disusupi komunisme? Begitu pula dengan berdirinya Masyumi sebagai wadah tunggal politik Islam pada 1945. Di dalamnya, terdapat Muhammadiyah, NU, PSII, Al Irsyad, Perserikatan Umat Islam dan lainnya. Hanya dalam waktu satu tahun, Masyumi berhasil mengungguli PNI, dan menjadi parpol terbesar di Tanah Air. (George Mc Turnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia)
Sayang, perlahan tapi pasti, perpecahan mulai terjadi. Tahun 1947 PSII keluar dari Masyumi.

Puncaknya ketika NU juga melakukan hal yang sama pada 1952. Masyumi pun goyah, hingga akhirnya tak lagi mampu menjadi pemersatu umat. Tak heran jika almarhum Anwar Harjono mengistilahkan keluarnya NU dari Masyumi sebagai “tragedi besar”.

Perpecahan umat dan pemimpinnya bukanlah hal yang aneh. Sejak awal, benih-benih perpecahan memang sudah terjadi, khususnya antara NU dan Muhammadiyah. Jika kita membuka buku-buku sejarah, terbaca jelas bahwa didirikannya NU pada 1926 adalah sebagai respon atas perkembangan gerakan modernis Islam yang dimotori oleh Muhammadiyah.

Gemar Berkerumun

Pertanyaannya, mengapa kita tak bisa bersatu? Tentu saja tersedia beragam jawaban, tergantung dari mana kita melihatnya. Namun, saya ingin menjawabnya dari analogi yang sederhana saja. Kita tak mau bersatu karena gemar berkerumun dibandingkan berhimpun. Kita pasti pernah melihat peristiwa kebakaran, kecelakaan atau perampokan. Dalam sekejap, biasanya orang-orang akan mendatangi tempat perstiwa untuk mencari tahu. Semakin lama jumlahnya semakin banyak.

Kerumunan besar pun tercipta. Namun hanya bertahan singkat. Setelah mengetahui apa yang terjadi, kerumunan itu akan sirna. Orang-orang akan pergi kembali ke rumahnya masing-masing.
Sadarkah kita jika selama ini umat Islam dan para pemimpinnya memiliki kegemaran berkerumun? Berkerumun menyisakan begitu banyak persoalan.

Pertama, kerumunan terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda: kepentingan, kelompok, golongan, ideologi dan sebagainya. Karena itu, kerumunan bersifat cair, tak mengikat. Setiap orang bisa saja datang dan bergabung. Kedua, agendanya bersifat jangka pendek/ad hoc. Kerumunan orang yang melihat peristiwa kebakaran atau perampokan hanya memiliki agenda sesaat: yakni mencari tahu apa yang terjadi. Tak ada agenda yang bersifat jangka menengah atau panjang. Misalnya, menganalisis apa penyebabnya, kemudian mencari solusi agar tak terulang.

Orang-orang yang berkerumun akan langsung pergi setelah agenda jangka pendeknya terpenuhi. Ketiga, kerumunan tak memiliki ikatan emosional dan spiritualitas. Karena tu, kerumuman akan sangat mudah dipecah belah untuk kemudian tercerai berai. Keempat, kerumunan tak memiliki pemimpin. Akibatnya, sebuah kerumunan tak pernah beraturan; centang perenang. Itu karena tak ada orang memiliki otoritas untuk mengatur.

Kerumunan ini selalu dipertontonkan oleh pemimpin umat menjelang pemilihan umum. Biasanya, mereka akan bersatu untuk mendukung satu pasangan. Setelah itu, mereka pun bubar jalan. Mereka hanya memiliki agenda singkat, tidak berkelanjutan. Sifatnya sangat pragmatis; tidak sistematis dan strategis. Kita hanya akan disibukkan dari satu isu ke isu lain. Kita tak memliki platform atau blue print untuk memajukan umat.

Kecuali itu, kerumunan semacam ini hanya akan membuat posisi kita terus berada di pinggiran (periferi); tak pernah masuk ke pusat kekuasaan. Kita hanya mampu berteriak keras di jalan-jalan, di Bundaran HI, di halaman Gedung DPR, dan di depan Istana Negara tanpa mampu mempengaruhi kebijakan.

Kalau pun ada tokoh atau partai yang kita anggap sebagai representasi umat, jumlahnya tak signifikan. Lebih menyedihkan lagi, sudah jumlahnya sedikit, mereka asyik masyuk dengan agendanya masing-masing.

Potret kerumunan seperti ini pernah diperingatkan Nabi Muhammad saw. Suatu saat, kata beliau, umat Islam yang jumlahnya mayoritas akan seperti buih di lautan yang terombang-ambing tak berdaya.

Isu terorisme yang menyudutkan umat Islam tak semata disebabkan kekuatan eksternal. Tapi juga karena sumbangsih kita yang gemar berkerumun. Lihat saja betapa kita tak berdaya dalam dua bulan terakhir saat hampir seluruh media massa mengaitkan Islam dengan terorisme. Kita tak mampu mengcounternya karena media-media besar dikuasai oleh pemodal yang tidak berpihak kepada umat. Beruntung Allah masih memberikan pertolongannya kepada kita dengan mendatangkan bulan Ramadhan. Selama sebulan penuh, pemberitaan tentang Islam pun menjadi menyejukkan; tak menyeramkan. Andai Ramadhan tak ada, kita pasti akan terus tersudutkan.

Saatnya Berhimpun

Hobi berkerumun yang kita miliki sudah saatnya ditinggalkan. Umat Islam harus segera berhimpun. Dan itu diawali oleh para pemimpinnya. Berbeda dengan berkerumun, jika kita berhimpun maka kita akan memiliki kekuatan yang dahsyat. Agenda kerja kita tak bersifat jangka pendek, tapi berjangka panjang dan berkesinambungan. Sifatnya pun tak pragmatis, namun sistematis dan strategis. Ikatan emosional akan tercipta sehingga jalinan tali ukhuwah akan terikat dengan kuat. Terakhir, dengan berhimpun kita akan teratur dan rapi karena memiliki pemimpin yang memiliki otoritas untuk mengatur.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang d jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Asf Shaf: 4)

Tentu saja ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Langkah awalnya adalah menyingkirkan ego para pemimpin umat. Sudah bukan rahasia lagi jika para pemimpin kita lebih senang menjadi imam di mushola dari pada makmum di masjid. Mereka lebih suka menjadi kepala ikan teri daripada menjadi ekor gajah.

Jika tembok tebal yang menjadi penghalang ini bisa dirobohkan, insya Allah kita mampu berhimpun; tak cuma berkerumun. Namun, jika kita ternyata masih gemar berkerumun, tak usah mengeluh jika kita terus diteror dengan pemberitaan yang menyudutkan umat Islam. Dan, boleh jadi, dialog antara ulama dan Bung Karno akan kembali terulang. Kali ini tentu saja dengan Presiden SBY. Semoga itu tak terjadi. Amin.

Erwyn Kurniawan, S.Ip, Alumni FISIP Universitas Nasional dan sekarang sebagai Editor di Maghfirah Pustaka