Ada sebuah “oleh-oleh” yang tersisa dari debat cawapres Selasa, 23/6 lalu. Bukan karena keberanian Wiranto yang mengatakan tidak sependapat dengan Boediono– sehingga kata banyak pengamat acara ini menjadi lebih menarik dari debat antara capres, sebelumnya. Tapi, karena adanya pertanyaan yang dilontarkan Prof Komaruddin Hidayat. “Bagaimana menurut Anda sebaiknya hubungan antara agama dan Negara (politik)?”
“Agama harus kita tempatkan di atas politik,” kata Boediono yang diamini oleh Prabowo Subianto. Sedangkan Wiranto lebih menukik tajam. “Agama memang harus dipisahkan dari politik, tapi nilai-nilai moralnya harus menjadi spirit agar politik menjadi santun dan berakhlak. Keesokan harinya, Koran Tempo menulis.” Ketiganya sepakat memisahkan agama dari politik.”
Wacana pemisahan agama dan Negara ini kian mendapat ruang ketika suara-suara partai Islam tak ada yang signifikan dalam pemilu legislatif lalu. “Pemilih kita sudah tak peduli lagi pada moral dan akhlak, yang penting bisa mensejahterakan mereka,” kata seorang peneliti lembaga survey terkemuka di sebuah stasiun televisi swasta.
Benarkah agama harus dipisahkan dari politik? Mengapa harus muncul pertanyaan tentang relasi antara agama dan Negara? Sepenting itukah, sehingga seolah-olah menjadi persoalan yang tak kalah seriusnya dengan masalah pengangguran, kemiskinan, krisis ekonomi dan korupsi?
Abad Pertengahan
Jawaban ketiga cawapres membuat saya terpaksa menerebos ke lorong waktu, menuju abad pertengahan Eropa. Ya, pemikiran bahwa agama harus terpisah dari agama merupakan warisan masa itu. Semuanya berawal pada tiga abad pertama Masehi ketika agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi, sejak berkuasanya Kaisar Nero (65 M). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan.
Perubahan drastis terjadi pada 313 M. Ketika itu, Kaisar Konstantin mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392, lahir lagi Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi.
Tahun 476, Eropa memasuki babak baru sejarah peradabannya saat Kerajaan Romawi Barat runtuh. Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages) dimulai. Gereja Kristen menjadi lembaga agama sekaligus politik yang dominan. Sebuah sistem kepausan (papacy power) disusun oleh Gregory I (540-609 M). Sistem tersebut menjadikan Paus sebagai sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan: politik, sosial, dan pemikiran.
Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely, kata Lord Acton. Itulah yang terjadi pada sistem kepausan. Kekuasaan mutlak membuat mereka melakukan penyimpangan dan penindasan, seperti stagnannya ilmu pengetahuan dan membanjirnya surat pengampunan dosa. Galileo adalah salah satu korbannya karena bersikukuh mengatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Ilmuwan Italia itu tewas di tiang gantungan karena dianggap melawan Gereja.
Masa kegelapan ini mulai menemukan titik terang saat adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517). Tokoh-tokohnya antara lain Marthin Luther, Zwingly, dan John Calvin. Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiavelidan Michael Montaigne. Mereka menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan kian menguat pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII. Tokohnya antara lain Montesquieu, Voltaire, dan Rousseau. Puncaknya terjadi saat meletusnya Revolusi Prancis pada 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.
Pemikiran sekuler dan liberal ini kemudian diekspor ke berbagai belahan dunia. Di Indonesia, “Kurir” pemikiran tersebut adalah Snouck Hurgronye. Ia sukses menanamkan embrio sekulerisme di Tanah Air. Snouck ditugaskan oleh pemerintah kolonial Belanda “membersihkan” Aceh. Ia kemudian belajar Islam dan memeluk Islam, bahkan menikah dengan wanita muslim, untuk mempermudah aksinya.
Setelah sekian lama melakukan penelitian, Snouck memberikan pemaparan dan rekomendasi. tentang Kultur masyarakat Aceh, peran Islam, ‘Ulama, dan peran tokoh pimpinannya. Terjadinya perang dahsyat Aceh dengan Belanda, katanya, karena dilatarbelakangi oleh keberadaan ulama yang sangat disegani.
Snouck kemudian merekomendasikan agar Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan “pembersihan” ‘Ulama dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.
Gagasan Snouck meminggirkan peran ulama (agama) dalam pemerintahan terus berkembang hingga kini. Pemikirannya ini kemudian diamini oleh banyak tokoh terkemuka dan sekelompok masyarakat di negeri ini. Tokoh-tokohnya pun dengan mudah bisa kita kenali dengan hanya menganalisis idea tau pernyataan yang mereka lontarkan.
Pertanyaannya, apakah benar Negara-negara Barat telah memisahkan agama dan Negara (politik)? Ternyata sama sekali tidak. Pemerintahan mereka, kerap kali berpihak kepada agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk. Lihat saja AS, meski di dalam konstitusnya dinyatan secara tegas adanya pemisahan tersebut.
Ronald E. Theimann dalam bukunya Religion in Public Life, menulis bahwa pemerintah AS dalam mengambil kebijakan, sangat dipengaruhi oleh agama mayoritas penduduknya yakni Kristen Protestan. Misalnya, pada 1 Mei 1789, House of Representatives AS (Dewan Perwakilan Rakyat) , mengangkat William Linn, seorang pendeta Protestan sebagai Chaptain of The House atau pejabat agama untuk DPR.
Kemudian, pada September 1789, DPR AS meminta Presiden George Washington untuk membuat proklamasi Thanksgiving Day.
Seorang Hakim Agung anggota Mahkamah Agung, yaitu Supreme Court Justice, Joseph Story—setelah 40 tahun penulisan First Amandement—mengatakan,” It is impossible for those, who believe in the truth of Crhistianity, as a divine revelation, to doubt, that it is the special duty of government to fosler and encourage it among, all the citizens and subjects. Probably at the time of adoption of the constitution, the general if not the incompalible with the private rights of conscience and the freedom of religious worship.”
Pendapat ini banyak disetujui oleh intelektual terkemuka Barat, termasuk Jean Jacques Rousseau yang mengatakan bahwa agama ada perlunya dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan individual. (Sayyidiman Suryohadiprojo, Republika, 1 Juni 1996)
Trauma Sejarah dan Islamofobia
Anehnya, di negeri ini, diskursus agama (baca: Islam) dan Negara dianggap belum selesai (never ending story). Padahal, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal menjadi bukti shahih kompromi umat Islam. Lucunya lagi, ketika Negara berpihak kepada umat Islam yang mayoritas, maka tudingan diskriminasi, tidak adil, akan dilontarkan oleh sekelompok orang. Mengapa ini terjadi?
Pertama, karena trauma pengalaman Barat pada abad Pertengahan. Rasa trauma itu dikembangbiakkan oleh kaum kolonial, diantaranya melalui Snouck Hurgronye. Padahal, relasi Islam dan Negara sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada masa pertengahan itu. Pemerintahan Islam tidak sama dengan teokrasi di Eropa dulu, tempat di mana adanya kelompok pendeta yang melakukan dominasi tak terhingga dan menegakkan hukum sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya memaksakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat. Sistem tersebut justru lebih bersifat syaitaniyyah daripada Ilahiyah. (Abul Ala al-Maududi,Sistem Politik Islam, 1990). Al Maududi menyebut sistem pemerintahan Islam dengan teo-demokrasi.
Kedua, Islamofobia.
Penyakit ini lahir dari,”Perasaan kurang percaya diri golongan minoritas,” kata Taufik Abdullah. Minoritas yang percaya diri, ujar Taufik, pasti tidak akan takut pada Islam. Mereka akan bergaul dengan siapa saja seperti dalam memperjuangkan demokrasi dan musyawarah. (Politik Demi Tuhan, Pustaka Hidayah, 2000)
Isalmofobia ini lahir karena adanya kecurigaan yang berlebihan. Kecurigaan itu kemudian dibungkus dengan menghembuskan berbagai macam mitos seputar Islam dan keindonesiaan. Salah satu yang begitu gencar ditiupkan adalah mitos tentang disintegrasi bangsa ketika Islam dijadikan sebagai ideologi. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang valid bahwa Islam menjadi sumber perpecahan bangsa. Umur persatuan bangsa, kata Anis Matta, tidak ditentukan oleh ideologi yang dianut suatu bangsa, namun oleh umur keadilan politik, sosial dan ekonomi. (Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara, Penerbit Fitrah Rabbani, 2006)
Timor-Timur yang keluar dari NKRI, bukan karena di sana diterapkan syariat Islam, tapi karena ketidakdilan dalm berbagai bidang. Nanggroe Aceh Darussalam yang “memberontak”, juga bukan karena sytariat Islam, namun karena tak adanya keadilan ekonomi dan sosial. Begitu pula halnya dengan Papua.
Sayangnya, penyakit Islamofobia ini, tak cuma dimiliki oleh kalangan non muslim, tapi juga sebagian muslim. Pertanyaan yang diajukan Komaruddin Hidayat, yang merupakan rektor Universitas Islam Negeri, dan jawaban para cawapres yang notabene beragama Islam, menjadi bukti tak terbantahkan. Mereka menginginkan Islam terpisah dari Negara (politik). Mereka, katanya, ingin menempatkan Islam di atas Negara. Padahal, jika melihat praktek kampanye yang mereka lakukan, alih-alih memuliakan Islam di atas Negara, justru malah merendahkan Islam.
Ya, karena Islam hanya dianggap sebagai vote getter menjelang pemilu. Hanya pendorong mobil mogok.
Yang lebih berbahaya adalah muara dari pemikiran sekuler tersebut. Ketika agama dan politik terpisah, maka Tuhan hanya hadir di masjid dan mushola, serta saat menjelang pemilu. Tuhan tak akan pernah hadir di gedung DPR, Istana Negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Akibatnya, lihatlah potret bangsa kita hari ini: korupsi merajalela, kemiskinan meningkat, pengangguran merajalela, dan skandal amoral melibatkan banyak politis negeri ini.
Mungkin, jika Yusuf Qaradhowi hadir saat debat cawapres lalu, ia akan langsung menjawab pertanyaan Komaruddin Hidayat, persis seperti yang ia tulis dalam bukunya Fiqih Negara (Robbani Press, 1997).”Wahai saudaraku, bila Islam tidak menyentuh masalah politik, sosial, ekonomi, pengetahuan umum, lalu apa yang disentuh Islam itu?”
Erwyn Kurniawan, S.IP; Alumni S1 FISIP Ilmu Politik Universitas Nasional, Pekerjaan sebagai Editor di Maghfirah Pustaka dan Penulis tetap rubrik Sosok di ESQ Magazine online serta Penulis lepas di berbagai media
Karya : Buku Jejak Langkah Menuju Indonesia Emas 2020 (Arga Publishing, Mei, 2008)