Menjelang pilpres 8 Juli besok, saya teringat perbincangan dengan mantan Ketua LIPI Prof Taufik Abdullah, setahun lalu. “Kita krisis kepemimpinan,” kata Taufik saat saya tanya tentang mengapa negeri ini tak juga mampu mensejahterakan rakyatnya. Rakyat, ujar dia lagi, tak punya teladan. Ada jarak antara pemimpin dan yang dipimpin. Akibatnya,” Mereka tak merasakan penderitaan rakyat,” kata Taufik lagi.
Pernyataan tersebut kian terbukti saat debat terakhir para capres, Kamis (2/7) lalu. Ide, gagasan, pemikiran yang dilontarkan Megawati, SBY dan Jusuf kalla penuh dengan bahasa langit; mengawang-awang. Alih-alih merasakan penderitaan rakyat, mereka justru memanfaatkan kemiskinan rakyatnya untuk menaikkan popularitas.
Berbeda dengan Ali bin Abi Thalib yang rela membantu memasak untuk menebus kesalahannya. Itu dilakukan Ali saat berkunjung ke sebuah rumah yang dihuni seorang janda dengan dua anak.
“Tampaknya tidak ada seorang pun lelaki yang membantu. Sekiranya ada, tentu dialah yang menggantikan engkau mengambil air. Kenapakah engkau sampai begini?”
“Suamiku adalah seorang tentara. Dia telah dikirim oleh Ali bin Abi Thalib ke daerah perbatasan. Namun, dia terbunuh di sana,” kata wanita itu.
Ali tentu saja terhenyak. Hari berikutnya, ia datang lagi ke rumah wanita itu, membawa daging, tepung terigu dan kurma. “Semoga Allah meridhaimu dan mengadili antara kami dengan Ali bin Abi Talib,” ujar wanita itu lagi.
Ali kemudian minta izin memasak beberapa potong daging yang ia bawa, dan ia hidangkan kepada anak-anak itu dengan sedikit kurma. Anak-anak itu dia suapi seraya berkata kepada mereka:
Maafkan Ali bin Abi Thalib, kalau dia telah menyia-nyiakan hakmu.”
Ali pun tak menolak ketika disuruh sang perempuan menyalakan tungku api. Api menyala, panasnya menyentuh kulit. “Rasakan panas api. Inilah balasan bagi orang yang lalai terhadap hak-hak para janda dan anak-anak yatim,” ujar Ali dalam hati.
Akhirnya, ada seorang tetanga, masuk ke rumah itu, dan mengenali Ali.
Seketika itu juga, sang janda menghampiri al-imam, memohon maaf. “Tidak, jangan kau meminta maaf. Justru akulah yang meminta maaf kepadamu, karena akulah yang telah menyia-nyiakanmu.”
Ali tentu saja meneladani perilaku kepemimpinan gurunya: Nabi Muhammad saw. “
Tak ada manusia yang mampu membangun peradaban besar seperti yang pernah dilakukan oleh Muhammad,” kata Michael Hart, yang menempatkan Muhammad di posisi teratas dari 100 Tokoh Berpengaruh Dunia.
Penemu ESQ Model Ary Ginanjar menyebut Nabi Akhir Zaman itu sebagai Pemimpin Tingkat Lima, yakni pemimpin abadi. Untuk sampai ke tingkat lima, seorang pemimpin harus terlebih dahulu menjadi pemimpin yang dicintai, dipercaya, menghasilkan kader, dan memiliki kepribadian tangguh. Pemimpin semacam itu, hanya dapat dicapai jika nilai-nilai spiritualitas yang bersumber dari Asma’ul Husna dijalankan, di antaranya: Jujur, Adil, Tanggungjawab, Disiplin, Kerjasama, Peduli, Visioner. Itulah yang disebut Leadership Principle (Prinsip-prinsip Kepemimpinan).
Jim Collins dalam Good to Great mendefinisikan Pemimpin Tingkat Lima sebagai orang yang tidak berhenti berjuang untuk melakukan yang terbaik yang bisa dikerjakan. Mereka tak akan berhenti untuk senantiasa berjuang untuk menghasilkan sesuatu yang paling baik (hebat).
Ada enam karakteristik Pemimpin Tingkat Lima.
Pertama, rendah hati. Jika pemimpin ”biasa” akan berusaha menarik perhatian dunia pada prestasi yang dilakukannya, dan berfokus pada diri sendiri, maka pemimpin tingkat lima melakukan yang sebaliknya. Mereka melakukan yang terbaik untuk banyak orang tanpa banyak bicara. Sedapat mungkin, mereka cenderung mengalihkan topik pembicaraan dari prestasi mereka kepada prestasi dan dukungan orang-orang di sekitar mereka. Berbeda bukan dengan para capres kita yang justru saling berlomba-lomba menyebutkan prestasinya? “Saya yang meresmikan Suramadu,” kata SBY.
Saya lah yang meletakkan batu pertama jembatan Suramadu,” ujar Megawati
Kedua, sederhana. Mereka memilih untuk hidup tak berlebihan. Mereka juga tidak menuntut untuk diperlakukan secara istimewa oleh orang-orang di sekitar mereka. Ken Iverson, CEO dari Nucor, tetap tinggal di rumahnya yang sudah ditinggalinya bersama keluarganya selama bertahun-tahun, ia juga hanya memiliki satu garasi, sesuai dengan kebutuhan keluarganya.
Ketiga, keyakinan kuat. Mereka memiliki keyakinan untuk berhasil. Keyakinan kuat itu memompakan energi dan semangat luar biasa untuk berjuang meraih keberhasilan yang diyakininya tersebut. Masalah, hambatan, kesulitan, bahkan krisis ekonomi sekalipun tidak bisa mematahkan semangatnya untuk meraih keberhasilan.
Keempat, ambisi melakukan yang terbaik. Mereka selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk setiap pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Terbaik di sini tentu saja bukan terbaik untuk dirinya sendiri, melainkan terbaik untuk banyak orang.
Kelima, tegas dalam bertindak. Ketika seorang pemimpin tingkat lima telah memiliki keyakinan untuk berhasil, mereka tidak akan tinggal diam. Mereka akan bertindak untuk bergerak ke arah keberhasilan. Dalam bertindak, mereka tidak segan-segan untuk bertindak tegas, jika memang itu yang diperlukan untuk menyingkirkan akar permasalahan yang mengganggu perjalanan membawa para pendukung menuju sukses.
Keenam, menabur untuk masa depan. Sebuah perusahaan bisa saja menjadi perusahaan terkemuka di satu saat di bawah pimpinan seorang CEO tertentu. Tetapi setelah sang CEO tidak lagi berkarya di sana, maka jatuhlah perusahaan tersebut. Pemimpin tingkat lima, tidak memikirkan keberhasilan sesaat, tetapi keberhasilan yang berkesinambungan. Adakah itu dimiliki oleh para capres dan cawapres yang akan kita pilih pada 8 Juli nanti? Jika tidak, maka kita perlu bersabar dan berdo’a agar pemimpin tingkat lima hadir pada pilpres 2014. Amin.
Erwyn Kurniawan, S.IP; Alumni S1 FISIP Ilmu Politik Universitas Nasional, Pekerjaan sebagai Editor di Maghfirah Pustaka dan Penulis tetap rubrik Sosok di ESQ Magazine online serta Penulis lepas di berbagai media
Karya : Buku Jejak Langkah Menuju Indonesia Emas 2020 (Arga Publishing, Mei, 2008)