Mengapa Kita Tak Bisa Jujur?

September 1971. Kapolri Hoegeng mengumumkan tentang keberhasilannya membekuk penyelundupan mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan oleh Robby Tjahyadi dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu Tien terlibat pula.

Bukan pujian yang didapatnya, melainkan pemecatan dirinya sebagai Kapolri. Sebelum itu, Hoegeng mendapat tawaran untuk menjabat sebagai Duta Besar di Belgia melalui Menhankam Jenderal M. Panggabean.

Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH, diceritakan Hoegeng dipanggil Presiden Soeharto. “Lho bagaimana Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Soeharto. “Saya tak bersedia jadi dubes, Pak. Tapi, tugas apa pun di Indonesia, akan saya terima.” Presiden bilang, “Di Indonesia tak ada lagi lowongan, Mas Hoegeng.” Saya pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja.” Mendengar itu, ia diam. Saya juga diam. Mau ngomong apa lagi? Setelah kurang lebih setengah jam pertemuan, saya pun pamit.

Kejujuran yang dijunjung tinggi, membuat Hoegeng berani pada siapa pun. Pernah, saat memimpin operasi antikebut-kebutan di sekitar Taman Soerapati, awal 1970-an, Hoegeng berkata kepada anak buahnya: “Tangkap saja anak-anak muda yang nakal itu! Kalau bapaknya sok ikut campur, nanti saya yang akan hadapi sendiri!”

Jauh sebelum itu, kejujuran mantan Menteri Negara Urusan Iuran dalam Kabinet Seratus Menteri itu diuji saat ditempatkan di Sumatera Utara. Ketika itu, ia diangkat sebagai Kepala Reserse dan Kriminal di Medan, yang terkenal sebagai tempat pedagang Tionghoa yang punya hobi menyuap pejabat. Namun, Hoegeng tak bisa disuap. Rayuan wanita cantik, dunia judi, korupsi, tak kuasa menjebol benteng kejujurannya.

Nama Hoegeng tiba-tiba saja terlintas di benak saya saat Polri memenjarakan dua pimpinan KPK non aktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. Sejak awal, aroma rekayasa begitu kuat tercium. Orang awam sekalipun akan dengan mudah menyimpulkan bahwa Polri berusaha mengerdilkan KPK. Terlebih dengan adanya dugaan terlibatnya salah satu petinggi mereka dalam kasus Bank Century. Ini membuat Polri sangat berkepentingan melindungi petinggi mereka dari incaran KPK.

Jika kita mau jujur, ketakjujuran Polri pun sebenarnya juga terjadi pada kasus pemberantasan teroris. Dengan mudah kita akan menemukan beragam kejanggalan. (Lihat tulisan saya dalam Jurnalisme Teror I dan II di www.eramuslim.com).

Potret ketidakjujuran Polri sejatinya juga dimiliki oleh para pemimpin kita. Pembelaan membabibuta dari berbagai pihak terhadap penangkapan Bibit dan Chandra kian menegaskan itu. Berbagai komentar dukungan yang sangat menggelikan terlontar, bahkan dari seorang presiden. “Saya tak paham kriminalisasi KPK,” kata SBY. Terserah Anda mau percaya atau tidak, namun satu hal yang pasti kejujuran kian langka di negeri ini. Kejujuran menjadi barang mewah. Tak lagi dimiliki oleh kebanyakan pemimpin kita.

Dulu, dalam sejarah Islam, kita mengenal kisah legendaris tentang Umar bin Khathab. Suatu hari tubuh kekar Umar gemetar. Rasa takut menjalari badannya. Persendiannya terasa lemah. Singa Padang Pasir itu kemudian menangis. Airmata mengalir dari kelopak matanya. Sang Khalifah terharu saat berdialog dengan seorang anak gembala yang dijumpainya dalam perjalanan dari Madinah menuju Mekkah.

Ketika itu, Umar bertanya untuk menguji kejujuran anak tersebut. ’’Wahai anak gembala, jual kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu!’’ ujar Amirul Mukminin. ’’’Aku hanya seorang budak,’’’’ jawab si gembala. Umar bin Khattab berkata lagi, ’’’’Katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala.’’

Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati sang Khalifah: ’’Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?’’

Jujur memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, bukan berarti itu tak mungkin dilakukan. Kuncinya adalah terus-menerus dilatih sehingga akhirnya menjadi kebiasaan. Muaranya, kebiasaan bertindak jujur akan menjadi karakter. Ada sebuah ungkapan bijak yang patut direnungkan:

Pikiranmu adalah ucapanmu Ucapanmu adalah tindakanmu Tindakanmu adalah kebiasaanmu Kebiasaanmu adalah karaktermu

Jujur memang masih sulit dilakukan oleh banyak orang. Namun, sesungguhnya, sifat mulia tersebut dirindukan kehadirannya. Simak, survei yang telah dilakukan oleh sebuah lembaga kepemimpinan internasional yang bernama The Leadership Challenge dengan melakukan survei karakteristik CEO (Chief Executive Officer) pada tahun 1987, 1995, dan 2002 yang dilakukan di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa, dan Australia.

Masing-masing responden diminta untuk menilai dan memilih tujuh karakteristik CEO ideal mereka. Hasil survei tiga tahun berturut-turut itu ternyata menempatkan sikap jujur (honest) pada peringkat pertama (1987: 83 persen, 1995: 88 persen, 2002: 88 persen). Sesudah jujur, antara lain: berpikiran maju (forward looking), kompeten (competent), dapat memberi inspirasi (inspiring), cerdas (intelligent), adil (fair-minded).

Andai Hoegeng masih hidup, mungkin ia hanya bisa menangis sedih melihat negeri ini tak lagi memiliki pemimpin yang jujur.

Profil Penulis :

Erwyn Kurniawan, S.Ip, Alumni FISIP Universitas Nasional dan sekarang sebagai Editor di Maghfirah Pustaka