Selalu sama, tak ada yang berubah. Dari tahun ke tahun, mata kita selalu saja disuguhi kertas koran yang teronggok tak beraturan. Kertas-kertas itu seolah-olah tak bertuan, beterbangan di tiup angin; berceceran di setiap jengkal tanah lapang yang baru saja digunakan untuk bersujud.
Pemandangan itulah yang tersaji seusai kita melaksanakan sholat Idul Adha, pekan lalu. Pemandangan serupa juga akan kita temui sesusai sholat Idul Fitri. Mungkin, bagi banyak orang ini hal sepele. Tapi, sejatinya ini potret paradoks yang menyedihkan.
Sholat, yang salah satunya mengajarkan nilai kedisiplinan, ternyata tak mampu membuat kita berperilaku disiplin. Betapa tidak. Seusai kita mengucapkan salam, menengok ke kanan dan ke kiri, lalu berdo’a, dengan santainya kita pergi. Kertas koran yang dijadikan alas, ditinggalkan. Sholat yang kita kerjakan ternyata tak berbekas sedikitpun, hanya dalam hitungan detik.
Kita tak menjadi disiplin—karena tak membuang sampah pada tempatnya– meski sholat itu sendiri mengajarkan nilai-nilai kedispilinan: harus tepat waktu, mengikuti imam, tertib terhadap rukun-rukunnya dan sebagainya.
Disiplin adalah sikap mental untuk melakukan hal-hal yang seharusnya pada saat yang tepat dan benar-benar menghargai waktu. Meskipun terlihat sangat sederhana, namun agak sulit untuk menerapkan kedisiplinan hingga membudaya dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Jim Rohn, “Anda tidak perlu berubah drastis untuk menyiptakan perubahan besar dalam kehidupan Anda. Tetapi Anda hanya perlu menerapkan sedikit saja kedisiplinan, maka kehidupan Anda akan berubah pada 90 hari mendatang, bukan pada 12 bulan atau 3 tahun mendatang.”
Sayangnya, kita tak bisa melakukan apa yang disarankan Jim Rohn. Manusia, dengan beragam alasan tetap saja tak berperilaku disiplin. “Jalan macet, Pak.” Alasan klise ini kerap kita dengar jika ada rekan atau mungkin kita sendiri yang terlambat tiba di kantor.
Mengapa kita tak mencontoh benda-benda luar angkasa yang patuh, disiplin terhadap perintah Allah. Matahari disiplin terbit dari timur dan terbenam di barat. Bulan hanya mau bersinar di malam hari. Bintang-bintang bekerlip saat gelap. Planet-planet beredar sesuai garis orbitnya.
“Matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Yaasin: 38-40)
Apa yang terjadi jika matahari tak disiplin: muncul dari barat dan tenggelam di timur? Bagaimana pula jika planet-planet tak lagi bergerak sesuai garis edarnya? Dunia berakhir. The end of life.
Itu pula yang terjadi jika manusia tak disiplin. Kita tak akan berkembang. Statis. Jalan di tempat. Tak ada perubahan berarti dalam menjalani hidup. Kita hanya akan menjadi orang biasa-biasa saja. Bahkan, boleh jadi, untuk menjadi orang biasa-biasa saja pun, kita tak mampu.
Kata orang bijak,” Discpline is the bridge between dreams and the achievement. Everybody has dreams, but not many people achieve their dremas. Why? Lack of discipline!
Orang sukses adalah orang yang mampu mendisiplinkan dirinya, seberapa pun berat untuk melakoninya. Tugas yang harus diselesaikan lima hari, maka harus dituntaskan selama itu pula. Tak ada dalih untuk terlambat.
Tubuh manusia terdiri dari dua unsur utama: ruh dan tanah. Ruh, selalu ingin bergerak ke atas, menuju langit. Sedangkan tanah, berada di bawah, kerap kita injak-injak. Sayangnya, banyak di antara kita yang lebih memilih bergerak ke bawah.
Tak heran jika kita tak kunjung sukses. Umat Islam tak juga maju dan selalu tersudutkan dengan isu terorisme. Kita terbiasa kerja melewati tenggat, datang ke kantor terlambat, ceroboh, dan membiarkan kertas koran berserakan, meski kita baru saja menunaikan sholat. Tak bisakah kita berubah?
Erwyn Kurniawan, S.Ip, Alumni FISIP Universitas Nasional dan sekarang sebagai Editor di Maghfirah Pustaka