Bulan lalu, sebuah kabar tak sedap berhembus dari Hongkong. Indonesia menempati posisi teratas dalam klasemen negara terkorup di Asia Pasifik. Peringkat tersebut dirilis berdasarkan survey yang dilakukan oleh “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC). Penilaian didasarkan atas pandangan eksekutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat.
Hasil survei PERC ini menyebutkan, Indonesia mendapat nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup 2010. Angka ini meningkat jika dibandingkan pada 2008 dan 2009 dimana Indoensia masing-masing mendapat nilai korupsi 7,98 dan 8.32.
Berita buruk ini sesungguhnya tak mengejutkan. Ia hanya mengkonfirmasi betapa pemerintah tak pernah bersungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Perlu digarisbawahi, bersungguh-sungguh yang dimaksud adalah memerangi korupsi secara sistematis, berkelanjutan, dan diiringi dengan strategi serta taktik yang tepat. Istilah kerennya: by design; tidak ad hoc; tidak tebang pilih.
Sejauh ini, apa yang telah dan sedang dilakukan pemerintah bersifat parsial, tak terencana. Lihatlah kasus Gayus Tambunan. Kasus ini kian mempertegas tak adanya strategi yang jelas dari pemerintah dalam memberantas korupsi. Pemerintah menggunakan manajamen by accident. Mau bukti?
Kasus Gayus baru menyeruak setelah mantan Kabareskrim Susno Duadji “bernyanyi”. Kata Susno, di rekening Gayus terdapat uang sebesar Rp 28 miliar yang diduga hasil dari mafia pajak. Membayangkan hal ini jadi menggelikan. Betapa tidak, kasus ini tak akan pernah terkuak jika Susno tak bermasalah. Dan itu harus dirunut dari satu tahun ke belakang saat Susno terlibat konflik dengan KPK (Bibit-Chandra), berlanjut pada pencopotannya sebagai Kabareskrim, dan berujung pada “nyanyian” lagu beraroma dendam pada lembaga kepolisian dan hukum lainnya.
Berderet pertanyaan berjejer di belakang. Apakah Susno akan bersuara lantang seperti sekarang jika ia masih sebagai kabareskrim? Mengapa selama ini ia tak pernah mengungkap kasus ini dan lainnya? Lalu kemana institusi PPATK? Bukankah sangat mudah melacak aliran dana mencurigakan? Mengapa selama ini tak terlacak? Jika Susno tak “bernyanyi”, bisa dipastikan nama Gayus tak akan pernah dkenal publik.
Inilah yang saya sebut manajemen by accident. Hanya berbuat ketika telah timbul masalah. Hanya bertindak setelah kasusnya muncul ke publik. Padahal, sudah menjadi rahasia umum jika lembaga Pajak merupakan salah satu tempat bersarangnya tikus-tikus kantor. Betapa banyak pegawai pajak, yang mungkin kebetulan saudara kita kerabat kita, tetangga kita, yang hdupnya sangat berkecukupan melebihi gaji yang mereka dapatkan. Tetapi, mengapa pemerintah tak bergerak? Mengapa KPK diam? Mengapa kejaksaan dan kepolisian membisu? Mengapa PPATK tak mengendusnya?
Hal serupa juga terjadi di Bea Cukai, Kepolisian, Kejaksaan, Pemda, departemen, dan lainnya. Kebetulan saya pernah bertetangga dengan pegawai pajak yang hanya lulusan SMA. Kehidupannya menggiurkan. Punya rumah seharga Rp 250 juta. Belum lagi perhiasan, kendaraan dan lainnya. Dan sejauh yang saya tahu, tak ada bisnis sampingan yang digelutinya. Pun tak ada warisan yang dimilikinya. Darimana semua harta itu didapat?
Potret semacam ini sebenarnya teramat banyak di sekitar kita. Dan kebanyakan mereka adalah para birokrat, pegawai negeri sipil dan penegak hukum. Dengan gaji dan pangkat yang tidak terlalu tinggi, mereka hidup cukup mewah. Begitu juga mereka yang berpangkat tinggi, gaya hidupnya sangat mewah.
Manajemen by accident menyisakan banyak pekerjaan rumah. Pertama, menimbulkan syak wasangka negatif. Dalam konteks Gayus, mengapa sih baru dimunculkan sekarang saat presiden baru saja membentuk Satgas Mafia Hukum? Adakah ini untuk menaikkan citra pemerintah?
Kedua, kesan tebang pilh tak terhindarkan. Mengapa hanya Gayus? Bukankah banyak orang lan yang lebih besar dbandingkan Gayus? Simak apa yang dikatakan Ketua MK Mahfud MD. Kata dia ada orang selain Gayus yang memiliki rekening sampai Rp 100 miliar.
Ketiga, tak menyelesaikan persoalan sampai ke akar-akarnya. Itu karena sifat kerja kita yang ad hoc; insidentil. Manajamen by accident ibarat kejar tayang sinetron. Tergesa-gesa; grasa-grusu; dan bersifat sesaat.
Darimana Harta itu Didapat?
Sedikitnya ada dua cara agar kita bisa meninggalkan manajemen by accident. Pertama, hukum mati para koruptor seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Cina. Jangan biarkan mereka tetap tersenyum, seperti yang sering kita saksikan di media massa. Buat mereka jera karena kejahatan yang mereka lakukan memiliki dampak yang lebih buruk daripada teroris.
Kedua, lakukan pembuktian terbalik. Ini menjadi sangat penting karena menjadi bukti kuat bahwa pemerintah sangat serius memberantas korupsi; tak cuma by accident. Saya yakin, jika pembuktian terbalik diterapkan, banyak orang yang ketar-ketir dan takut korupsi.
Dalam Islam, secara tersirat, pembuktian terbalik itu bisa dilihat dalam sebuah hadits. Saat orang kaya ditanya di Hari Perhitungan nanti, ada dua pertanyaan menyangkut harta yang dimilikinya: Darimana harta itu didapat dan digunakan untuk apa?
Sayangnya, pertanyaan semacam itu tak diajukan oleh para penegak hukum kita, dan diri kta sendiri. Biasanya, setiap kita melihat orang kaya, rumah mewah, dan mobil mahal, yang terlontar kali pertama dari mulut kita adalah kekaguman…ck…ck…ck…Kita tergoda untuk bisa seperti mereka.
Seharusnya, ketika menyaksikan kemewahan, kalimat yang pertama kali terucap adalah: “Dari mana mereka mendapatkannya?” Bukan malah terkagum-kagum.
Kebanyakan diantara kita memang sudah tak mempedulikan bagaimana seseorang bisa menjadi kaya. Bagi kita, kaya itu suatu kewajiban karena menyangkut harga diri, status sosial, dan penghargaan masyarakat. Karena itu, apapun caranya tak penting. Yang penting adalah dengan kaya maka kita akan dihargai dan dihormati orang.
To be or not to be. Sekarang adalah momentum yang tepat untuk mendesakkan hukuman mati dan pembuktian terbalik kepada pemerntah dan DPR. Agar kita tak dijuluki bangsa by accident. Agar negeri ini tak melulu menjadi juara korupsi. Agar suatu saat nanti, PERC menempatkan Indonesia sebagai negara terbersih d Asia Pasifik, bahkan dunia.
Erwyn Kurniawan, Editor Maghfirah Pustaka