Jakarta, 1950-an. Sepasang suami istri terlibat perbincangan tak biasa di sebuah rumah. Sang istri kecewa kepada suaminya. “ Lho, kok dari kemarin tidak bilang kalau ada sanering.” Dengan entengnya, sang suami menjawab, “Itu rahasia negara, jadi tidak boleh diberitahu.”
Sang istri pantas kecewa sebab mimpinya untuk membeli mesin jahit hampir buyar. Hanya untuk membeli mesin jahit, ia harus menyisihkan uang gaji suaminya, selama bertahun-tahun. Sedikit demi sedikit ia menabung dengan harapan suatu saat nanti bisa menghadirkan mesin jahit impiannya di rumah. Namun, kebijakan sanering (pemotongan uang yakni nilai uang Rp 100 menjadi Rp 1) membuat nilai tabungannya menurun, tak mencukupi untuk membeli mesin jahit.
Tahukah Anda jika perempuan yang kecewa itu adalah Rahmi Hatta, istri wakil presiden Mohammad Hatta? Sulit membayangkan, istri yang bersuamikan orang nomor dua di Indonesia, harus menyisihkan uang pemberian suaminya, hanya untuk membeli mesin jahit. Tapi itulah yang terjadi.
Seperti istrinya, Mohammad Hatta juga memiliki mimpi nyang tak terbeli: sebuah sepatu Bally, merek sepatu terkenal dan mahal. Pada tahun 1950-an, Bung Hatta berminat pada sepatu itu. Ia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Ia menabung dari waktu ke waktu untuk dapat membelinya. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi.
abungannya selalu terambil untuk keperluan rumah tangga dan membantu saudaranya.
Hingga akhir hayatnya, sepatu itu tidak pernah terbeli, karena tabungannya tidak pernah mencukupi. Sementara, guntingan iklan sepatu Bally masih tersimpan saat ia wafat.
*************************
Jakarta, 28 Desember 2009. Wajah-wajah sumringah terpancar dari pejabat tinggi negeri ini. Hari itu, mereka mendapat mobil dinas baru: Toyota Royal Saloon 3.000 cc. Harganya Rp 1,3 miliar per buah, menurut pihak Toyota. Namun, Mensesneg Sudi Silalahi membantahnya. “Di bawah Rp 1 miliar,” katanya.
“Sunyi senyap,” ujar Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta saat ditanya kesannya menaiki mobil dinas baru. "Terima kasih kepada Bapak Presiden atas mobilnya," ungkap Gusti (www.detik.com).
"Itu kan bukan punyaku, anggap saja dari rakyat. Numpang pakai punya rakyat masa tidak boleh?" ujar Ketua MPR Tauifik Kiemas, Senin (28/12/2009) yang menganggap mobil tersebut pemberian rakyat.
Ketua DPD RI Irman Gusman menganggap mobil dinas barunya mobil biasa. "Kalau wow itu (dapat) Ferrari atau Mercedes," ujarnya. (www.detik.com)
Menurut Sudi Silalahi, alasan pemerintah mengganti mobil pejabat dari jenis Camry menjadi Toyota Crown Royal Saloon 3.000 cc tidak berlebihan. Sebab, mobil Camry yang dibeli lima tahun lalu sering masuk bengkel.
"Usia pakai kendaraan selama lima tahun sudah menunjukkan ketidakefektifan lagi. Digunakan Camry, kita sering kali masuk bengkel," katanya.
***********************
Indonesian Budget Center (IBC) menganalisis, pengadaan mobil mewah pejabat menyedot APBN sekitar Rp 106 miliar. Harga 1 unit dikabarkan sekitar Rp 1,3 miliar. Sumber lain menyebutkan, mobil mewah yang diadakan melalui APBN-P 2009 itu, untuk 80 unit, beban pajak (PPnBM) yang harus ditanggung negara sekitar Rp 785 juta per mobil atau totalnya sebesar Rp 62,8 miliar (www.depkeu.go.id). Uang tersebut cukup untuk menggratiskan biaya pendidikan sekitar 2.300 siswa setingkat SMP dalam setahun. (Republika)
Kesederhanaan tak lagi dimiliki oleh kebanyakan pemimpin di negeri ini. Berkebalikan dengan Hatta, para pemimpin sekarang justru berlomba-lomba menjadi orang mewah. Dulu, Hatta hanya bisa bermimpi memakai sepatu Bally agar kakinya terasa nyaman saat berjalan. Kini, para petinggi negeri ini tak lagi bermimpi meraih kenyamanan hidup. Kursi empuk Royal Saloon, dengan AC yang sejuk, dan kedap suara, menemani perjalanan mereka, diiringi lagu-lagu favorit dari compact disc dan tayangan tv.
Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang kaya agar bisa memberikan zakat dan infak kepada kaum dhuafa. Agar ekonomi umat maju dan kaum muslimin memimpin dunia. Tapi, kaya dan mewah adalah dua hal yang sangat berbeda. Menjadi kaya adalah keharusan; hasil kerja keras yang tak kenal lelah. Namun, mewah adalah sebuah gaya hidup yang menunjukkan karakter seseorang. Kita harus kaya, tapi tak boleh bermewah-mewahan.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” (At-Takaatsur: 1)
Dalam buku Tafsir Qur’an Per-Kata yang ditulis DR Ahmad Hatta, MA, yang dimaksud dengan “bermegah-megahan” adalah “kesibukan memperbanyak harta dan anak.” Dan yang dimaksud “telah melalaikan kamu” adalah “lalai dari ketaatan kepada Allah.”
Jelas sekali, kemewahan hidup yang kita lakukan hanyalah akan membuat kita lalai kepada Allah. Kita akan terus tergoda untuk bermegah-megahan. Kita akan terus terlena, bahkan, kata Allah, ”Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (At-Takaatsur:2)
Itulah mengapa Rasulullah saw tak hidup dalam gelimang kemewahan, meski ia sosok yang kaya raya. Ya, Nabi Akhir Zaman itu bukan orang miskin. Ketika beliau menikahi Khadidjah, mahar yang diberikan olehnya adalah 70 ekor unta. Bahkan ada yang mengatakan 100 unta. Hanya orang yang kaya raya yang mampu memberikan mas kawin sebanyak itu.
Tahukah kita apa alas tidur Nabi saw? Hanya tikar dan berbantal pelepah daun kurma yang bekas-bekasnya akan terlihat jelas di punggung dan wajah beliau ketika bangun tidur. Di rumahnya pun sering kali tak memiliki makanan sehingga Nabi saw berpuasa.
Kita pernah memiliki konglomerat generasi pertama pada sosok Abdurrahman bin ‘Auf. Ketika ia berkumpul dengan para pembantunya, sulit membedakan mana Abdurrahman bin ‘Auf dan pembantunya. Mengapa? Karena pakaiannya yang sangat sederhana. Ia sadar dunia hanya tempat singgah sebentar saja. Itulah kehidupan generasi pertama Islam: dunia dalam gengamannya tapi mereka tidak mau diperbudak oleh dunia.
Jika kita percaya bahwa kemewahan akan meninggikan harga diri kita, yakinlah itu sama sekali tidak benar. Justru kesederhanaanlah yang membuat orang lain menghargai kita. Ingatkah dengan Mahatma Ghandi? Ia memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri dan terompah lokal yang tak bermerk. Tapi, setiap ia menoleh ke kanan, sebanyak 300 juta rakyat India ikut menoleh ke kanan. Bila ia membaringkan tubuhnya di rel kereta api, mereka pun akan ikut berbaring disana.
Apakah dengan Toyota Royal Saloon para pemimpin negeri ini bermimpi mampu menggerakkan 250 juta rakyatnya? Tak akan bisa. Alih-alih mengikuti, rakyat justru muak dengan parade mobil mewah. Mengutip kata almarhum Rahmat Abdullah dalam bukunya Pilar-Pilar Asasi, rakyat akan berkata "Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku."
Erwyn Kurniawan, S.IP, Editor Maghfiroh Pustaka, Alumni Universitas Nasional