Karnaval Paradoksal


“Jika pohon terakhir telah dijarah,
Jika ikan terakhir telah dicuri,
Jika minyak bumi terakhir telah habis dikuras,
Jika emas terakhir telah dialirkan ke Amerika sana,
Jika uang terakhir telah dirampok para bandit-bandit,
Manusia Indonesia mungkin baru sadar,
Bahwa uang bukanlah segala-galanya,
Jika pemimpin terakhir telah tumbang dibeli uang,
Jika polisi terakhir telah mati menggadaikan harga diri,
Jika hakim terakhir telah terbeli merci,
Jika kampus terakhir telah terkunci mulut dan nuraninya,
Rakyat mungkin baru sadar,
Bahwa perubahan hanyalah utopia
Tanpa darah juang…mahasiswa.”

Membingungkan. Ironi memang. Dalam setiap hal yang tampak apa adanya. Ternyata selalu ada yang tersembunyi dibaliknya. Seringkali kita disuguhkan pada ragam keadaan yang berseberangan dengan sejatinya. Paradoks. Terkadang bahkan diametral. Seolah-olah rumusnya selalu vis a vis. Itulah ironisnya.

Disaat kita berharap hasil yang baik dari sebuah kerja keras. Tapi ternyata yang didapat hanya lelah dan kesal. Disaat kita membutuhkan solusi, terkadang kita tidak berdaya menangkap sesuatu dibaliknya. Alhasil paradoks semakin menjadi.

Paradoksal memang sering kita lihat dalam keseharian. Di negeri kaya ini pun seolah paradoksal sudah menjadi ritme tersendiri. Disatu sisi ada potret paradoksal kelaparan yang sudah menjadi menu tahunan di yahukimo, pada saat yang sama ada cerita tentang menteri negeri impian ini yang meminta gajinya dinaikkan.

Cerita lain tentang seorang Anggodo ”sang kapolri” yang sudah jelas, terang benderang, merekayasa kasus kriminalisasi pimpinan KPK. Tapi sampai sekarang Anggodo masih bebas menghirup udara pagi. Masih disisi yang sama, ada cerita tentang Robert Tantular perampok uang rakyat. Tapi ironisnya hukumannya jauh lebih ringan dengan apa yang sudah dilakukannya. Hanya empat tahun. Itu cerita tentang mereka yang punya uang sehingga “digdaya” dihadapan hukum.

Tapi disisi lain, cobalah tengok cerita tentang mereka yang tak punya uang, sehingga “tak berdaya” dihadapan hukum. Betapa kemudian kasus prita sudah melukai hati rakyat. Prita diputuskan untuk membayar denda uang sebesar 204 juta oleh pengadilan dalam proses banding yang diajukan rumah sakit omni internasional.

Atau cerita tentang nenek minah yang “mencuri” tiga buah kakau yang maksudnya digunakan untuk bibit. Begitu juga cerita khalil dan basar yang “mencuri” satu buah semangka harus tegar menerima tuntutan hukuman mendekam dihotel prodeo selama lima tahun. Ironis memang. Atau justru membingungkan.

Pengadilan terkadang-untuk tidak mengatakan seringnya-juga paradoks. Di lembaga ini kita sudah cukup sulit untuk mendapatkan keadilan. Mungkin benar apa yang disampaikan salah seorang aktivis KOMPAK, bahwa pengadilan hari ini sudah menjadi ladang “pembantaian” keadilan. Jika hakim terakhir sudah terbeli merci, maka rakyatlah yang mengadili.

Disaat pengadilan sudah tidak dipercaya, maka pengadilan jalananlah jawabannya. Maka pengadilan fesbuker, bloggerlah yang menjadi obat kepercayaannya. Ironi memang. Itulah paradoksnya. Dinegeri yang kaya produk hukum. Tapi miskin penegakkan hukum. Begitulah potretnya.

Mega skandal century, inilah potret paradoksal hukum dinegeri ini. Juga menggambarkan betapa paradoksnya sang pemimpin negeri impian SBY. Rupanya SBY lebih suka berkomentar reaktif, daripada aktif menyeret para perampok uang rakyat itu. Disaat kita butuh solusi, yang hadir justru keluh kesah. Itulah paradoksnya. Menjadi lucu dan menggelikan jika seorang SBY hampir dalam setiap kesempatan didepan publik selalu membantah apa yang menjadi kecurigaan publik terhadap dirinya.

Mungkin inilah karnaval paradoksal. Alih-alih SBY selalu mengembar-gemborkan pemberantasan korupsi. Tapi justru malah mengomentari rencana aksi hari antikorupsi pada 9 desember yang akan digelar besar-besaran tersebut, dengan mengatakan berbagai macam kecurigaannya. Inilah ironisnya. Semakin membingungkan memang.

Betapa tidak, dinegeri yang besar ini. Kita minim negarawan. Disaat kita berharap presiden bisa menjadi pemimpin yang arif, berani, dan tegas. Rakyat malah disuguhi aksi-aksi reaksioner yang sejatinya itu bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri dan bagi kemaslahatan rakyat pada umumnya. Negarawan yang kita inginkan. Bukan keluh kesah, apalagi pencitraan bahwa presiden sedang didzalimi. Rakyat sudah tahu apa yang tersembunyi dibalik yang tampak apa adanya itu.

Menghadirkan negarawan

Cerita-cerita tentang paradoks di negeri kita sepertinya sudah menjadi satu rangkaian cerita yang saling bertaut. Berkelindan. Sampai rumit seolah tak terurai. Dalam situasi yang multikompleks, rumit, dan mendesak tentunya yang kita butuhkan adalah solusi. Bukan sikap yang justru malah menambah masalah dan kerumitan.

Ide, gagasan tentang solusi bisa jadi sudah banyak menjadi wacana. Jadi sesungguhnya yang kita butuhkan adalah negarawan. Pemimpin yang bisa mengagregasi solusi dan implementasi. Tapi seorang pemimpin yang negarawan pun belum cukup menjadi alasan bahwa masalah akan selesai. Disisi lain kita juga butuh jiwa negarawan itu termanifestasikan dalam laku keseharian yang dipimpinnya. Rakyat. Atau kita.

Laku yang mengedepankan kepentingan masyarakat dan bangsanya dibanding kepentingan pribadi. Laku yang tergambar dari kepeduliannya untuk berbagi dan memberi. Dengan laku ini, seorang supir angkot, tukang becak atau siapapun itu orangnya bisa menjadi seorang negarawan. Laku negarawan adalah seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu yang menggalang aksi “koin peduli prita”. Itulah laku negarawan.

Dibalik koin, sejatinya ada kepedulian. Terhadap sesama. Terhadap nasib penegakkan hukum dinegeri ini. Lagi-lagi paradoks itu bercerita. Tentang laku negarawan rakyatnya. Mereka telah mengambil peran orang-orang yang mengaku negarawan. Tapi lakunya paradoks dengan apa yang diucapkannya. Begitulah karnaval paradoksal bercerita. Merangkai sketsa. Menghadirkan makna dibalik sebuah fenomena.

Mereka sudah bercerita melawan paradoksal. Agar karnavalnya tak berjalan terus menggerus harapan. Dan mereka hadirkan karnaval harapan dengan kekuatan apa adanya. Begitulah negarawan.

Membingungkan. Ironi memang. Dalam setiap hal yang tampak apa adanya. Ternyata selalu ada yang tersembunyi dibaliknya. Mereka sudah membangun karnaval harapan. Dan kita akan membuktikan, perubahan adalah hal utopia…tanpa darah juang mahasiswa. Insyaallah.[wa]

Profil penulis:
Nama : Erwin Chairil A
.
Sekretaris Umum KAMMI Daerah Malang
Pegiat Majelis Budaya Kader