Tidak terasa, kehidupan pasca masa orde baru telah memasuki tahun kesepuluh. Banyak perubahan telah terjadi dan menghinggapi kehidupan bangsa ini secara menyeluruh. Panggung demokrasi sudah terbuka sangat lebar dan dengan didorong dengan sistem informasi yang semakin mudah didapatkan, maka setiap orang bisa mengapresiasikan keinginannya serta mendapatkan informasi yang diinginkan.
Pasca orde baru, bangsa ini telah melaksanakan dua kali pemilihan umum. Yang pertama adalah pemilihan umum tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai. Pemilu itu menghasilkan anggota DPR/MPR dengan komposisi baru yang sangat berbeda dengan DPR/MPR periode sebelumnya. Kemudian pada tahun 2004, bangsa ini kembali menggelar pemilu. Pada pemilu kali ini, system yang dianut berkembang, pemilu dibagi menjadi 2 tahap yaitu, tahap pertama adalah pemilu legislative untuk memilih anggota DPR dan anggota DPD. Pada pemilu yang kedua adalah pemilu untuk memilih eksekutif dalam hal ini adalah pasangan presiden dan wakil presiden secara langsung.
Seiring berjalannya waktu, saat ini bangsa ini sedang menuju pemilu berikutnya, yaitu pemilu tahun 2009. persiapan – persiapanpun sudah gencar dilakukan. DPR bersama presiden telah merumuskan undang – undang republik Indonesia no.10 tahun 2008 yang akan menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan pemilu mendatang. KPU terus melakukan tugas-tugasnya, walaupun adakalanya, KPU terkesan kurang siap dalam menghadapi pemilu. Partai politik sudah ramai mengiklankan diri di televisi, radio, koran dan sudut jalanan.
Pemberitaan di media, baik itu media televisi, radio maupun dunia maya saat ini sangat didominasi dengan berita – berita politik. Pernyataan tokoh dan lempar melempar opini terus terjadi setiap detik. Sungguh perubahan drastis yang tidak terbayangkan bisa terjadi dalam dekade dua puluh tahunan yang lalu.
Ada yang positif, ada pula yang negatif. Itulah kehidupan. Sebuah tarik menarik antara pelakunya. Ditengah – tengah persiapan persiapan itu, seperti tahun – tahun sebelumnya, muncullah kembali issu golput. Yang direspon dengan sangat tajam oleh otoritas ulama dinegeri ini dengan fatwa golputnya.
Ada beberapa pendapat dalam Islam mengenai pemilu. Ada yang menolak mentah -mentah, ada yang menolak dengan catatan dan ada pula yang menganggap pemilu sangat penting. Ada beragam alasan dan dalil-dalil yang melatar belakangi pendapat mereka.
Kalangan yang menolak pemilu mentah-mentah beralasan pada pemilu atau demokrasi adalah produk barat yang tidak ada dalam Islam. Serta, jika mengikuti pemilu berarti akan duduk satu majelis dengan orang-orang kafir yang dikhawatirkan akan memperolok ayat – ayat Allah.
Hal ini bisa diterima bisa juga tidak. Bisa diterima karena memang pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada bentuk demokrasi seperti yang kita kenal sekarang. Sedangkan bentuk perwakilan telah ada pada zaman itu, pada waktu itu, jika akan memulai langkah-langkah politis, Nabi selalu memanggil perwakilan dari masing – masing kabilah untuk menyusun langkah – langkah yang harus diambil.
Agak keluar dari konteks pemilu. Salah besar jika Islam dan politik adalah dua dunia yang berbeda dan sulit dipersatukan. Michael Hart, seorang Amerika yang membuat peringkat 100 tokoh dunia yang berpengaruh justru menempatkan nabi Muhammad SAW pada urutan pertama karena Nabi Muhammad adalah pemimpin perubahan yang paling sukses, beliau adalah pemimpin spiritual sekaligus pemimpin negara.
Kalangan yang menghalalkan pemilu, lebih melihat kepada azas kemaslahatan. Saat ini Pemilu adalah ajang pertarungan bagi berbagai kelompok dengan berbagai macam kepentingan. Jadi kembali kepada hadist yang paling sederhana yang diriwayatkan Umar Bin Khatab, “Aku mendengar Nabi bersabda, Sesungguhnya diterimanya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Apakah kita sebagai seorang muslim rela jika minuman keras dilegalkan ? Apakah kita rela jika judi dilegalkan dan pelajaran pendidikan agama dihilangkan dari kurikulum sekolah ? apakah kita rela jika tabligh akbar dan majelis ta’lim dibubarkan karena melanggar undang – undang tertentu ? Sesungguhnya hal – hal tersebut bisa terjadi di dalam gedung parlemen. Makanya, agar hal tersebut tidak terjadi, kita sebagai umat Islam harus berperan aktif dalam pemilu dengan memilih orang yang tepat.
Dewasa ini pemberitaan di media diramaikan dengan keluarnya fatwa golput haram dalam pemilu. Setelah fatwa itu keluar pemberitaan di media serta komentar – komentar yang dilontarkan cenderung memojokan MUI. Ada yang mengatakan bahwa fatwa itu melanggar HAM, ada juga yang menyatakan bahwa fatwa itu melanggar kaidah-kaidah dasar agama Islam.
Sesungguhnya fatwa itu bukanlah fatwa haram semata, tetapi jika kita teliti lebih detail, fatwa itu adalah guidence bagi pemilih dan calon pemimpin dalam menghadapi pemilu. Poin empat dalam fatwa itu berbunyi : Memilih pemimpin yang beriman, bertakwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. Artinya, menurut fatwa MUI tersebut, umat Islam dalam pemilu nanti wajib memilih calon imam dan wakil rakyat yang memiliki karakteristik beriman dan bertaqwa, serta karakteristik-karakteristik lainnya. MUI dalam merumuskan fatwa ini berdasarkan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasulnya serta ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada al Qur’an dan Rasul (sunnahny), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. Annisa 59)
Menurut penulis, fatwa ini tidak melanggar HAM karena fatwa ini hanya memberikan tuntunan bagi calon pemilih sekaligus bagi yang akan dipilih untuk mensyaratkan criteria- kriteria yang dimaksud. Juga fatwa ini tidak bersifat politik sesaat karena dalam fatwa ini tidak mencantumkan orang, golongan atau partai politik tertentu.
Diluar dari masih lemahnya sistem dan kinerja penyelenggara serta keterbatasan informasi kita selaku pemilih terhadap track record calon-calon anggota dewan serta sikap pesimisme terhadap kinerja mereka dikemudian hari. Menurut penulis, pada saat ini syitem demokrasi yang ditopang dengan penyelengaraan pemilu yang bersih dan bertanggung jawab masih merupakan solusi terhadap persoalan bangsa. Seperti yang dikatakan oleh KH Ma’ruf Amin
”Dari ribuan calon, masak sih gak ada yang mendekati kriteria baik !”
Pemilu yang bersih dan bertanggung jawab juga merupakan buah dari reformasi kearah yang lebih baik yang telah diusahakan oleh para pejuang demokrasi di negeri ini yang telah memperjuangkannya selama beberapa dekade.
Profil Penulis :
Enjang Anwar Sanusi; Lulusan STM negeri karawang ini adalah pekerja di PT MTM Cikarang, Bekasi. Aktif di Serikat Pekerja Metal Indonesia. Saat ini sedang melanjutkan kuliah di Universitas Islam As-syafi’iyah.