Berbagai tindakan kelompok radikal terus menyerang Indonesia. Seperti serangan bom yang menyerang Indonesia secara intensitas begitu banyak akhir-akhir ini. Dari mulai bom buku yang berskala kecil dan hanya menimbulkan efek ketakutan, hingga bom bunuh diri yang berskala besar seperti yang terjadi di Masjid Malporesta Cirebon saat sholat jumat (15/04).
Lalu kasus yang kedua adalah pengkaderisasian Negara Islam Indonesia (NII) KW 9 dengan cara melakukan pencucian otak. Puluhan orang yang telah menjadi korbannya mengaku didoktrin untuk taat kepada pemimpin mereka dan mematuhi apa saja yang diperintahkan kepada mereka. Para korban NII KW 9 kerap menjadi sapi perah bagi gerakan mereka (NII). Tak urung setiap mereka yang telah bergabung dengan NII diwajibkan menyetorkan sejumlah uang sebagai bukti ketaatan pada amir. NII pun menghalalkan segala cara untuk memperoleh dana, termasuk melalui indoktrinasi lewat hipnotis.
Kedua kasus di atas akhirnya banyak menimbulkan Pro dan Kontra di kalangan orang awam maupun para ahli. Berbagai statement dikeluarkan, dari mulai yang hanya bersifat dugaan hingga yang ilmiah. Media-media pun memfasilitasi ajang pro kontra tersebut. Hampir semua media cetak maupun elektronik tidak ada yang absen membahas tentang ini.
Rohis tempat subur radikalisasi???
Tapi di balik kasus pro kontra tersebut, yang perlu dicermati adalah masalah pembentukan opini publik yang menyebutkan bahwa gerakan keislaman radikal ini digerakkan oleh banyak kaum muda. Atau juga kasus terungkapnya kader NII yang kebanyakan pelajar dan mahasiswa ini.
Sorotan publik pun berarah ke kegiatan keislaman di lingkungan sekolah seperti ekstrakulikuler Kerohanian Islam (Rohis). Ekstrakulikuler yang bergerak dalam bidang pembinaan keislaman pelajar ini ditengarai menjadi sarana perekrutan kelompok radikal.
Hal ini pun didukung oleh pernyataan beberapa pakar, seperti pernyataan Azyumardi Azra, guru besar UIN Syarif Hidayatullah yang memperingatkan pengelola pendidikan untuk mewaspadai kegiatan ekstra kurikuler keagamaan yang dikelola siswa serta kegiatan di masjid-masjid sekolah. Kedua kegiatan tersebut ditengarai sebagai salah satu pintu masuk paham pendukung kekerasan yang disusupkan pada anak-anak.
Atau pernyataan Sidney Jones, pakar terorisme internasional yang mengatakan kegiatan di lembaga Rohis bisa menjadi pintu masuk virus terorisme karena itu pemerintah harus mengawasi jaringan terorisme masuk ke wilayah SMP atau SMA melalui kegiatan di lembaga tersebut.
Sidney juga menyebut kini gerakkan teroris sudah bisa dikatakan gerakan yang sangat kuat, gerakkan teroris juga bisa tumbuh lewat studi-studi kajian islam di kalangan pemuda,seperti rohis di sekolah menengah atas.
Ketakutan ini juga berujung dari beberapa pernyataan pihak pemerintah. Sebagai contoh pernyataan Menteri Agama, Suryadharma Ali yang dimintai Wakil Presiden Budiono untuk meningkatkan kulitas program keagamaan sekolah untuk menangkal gerakan radikal. (26/04)
Teror Sesungguhnya Terhadap Rohis
Karena ketakutan berlebih yang disebabkan dugaan sementara dan pengambilan opini secara parsial mengenai Rohis banyak pihak yang akhirnya mulai antipati dengan Rohis, termasuk masyarakat. Masyarakat kini sebagian besar bisa dikatakan termakan opini tadi. Sehingga terkadang masyarakat juga ikut ketakutan dan melarang anaknya untuk mengikuti rohis.
Jelas ini sangat memprihatinkan. Karena bagaimana pun, Rohis jika dilihat dari konsep pembentukannya, justru salah satunya bertujuan untuk membendung gerakan radikal ini. Rohis menanamkan perbaikan moral para pelajar dengan pemberian pemahaman keagamaan yang benar. Lalu, pembentukan karakter kepribadian pelajar juga dibentuk di Rohis dengan pemberian alternatif kegiatan keorganisasian.
Seperti yang dikutip dari salah satu alumnus Pondok Pesantren Modern Gontor yang juga anggota komisi I DPR RI, Hidayat Nur Wahid, bahwa sesungguhnya pernyataan dan opini tersebut adalah teror bagi Rohis.
Kita pun juga harusnya sepakat dengan apa yang dikatakan Mentri Pendidikan Nasional saat ini, M Nuh yang menjelaskan bahwa sampai sekarang Rohis masih mengajarkan siswa-siswi di sekolah menengah atas (SMA) kepada sikap toleransi dan pluralitas Karena itu, ia meminta para pakar harus hati-hati menyimpulkan jika rohis menjadi pintu masuk dari akar kekerasan berlatarbelakang agama.
Perbaikan Citra Rohis
Harus ada kejelasan sikap di sini, di mana jangan sampai kebanyakan masyarakat tergeser opininya, yang dulunya menganggap Rohis adalah tempat para pelajar baik-baik yang mempelajari agama menjadi tempat para pelajar yang dibina untuk radikalisasi.
Para pakar dan pemerintah harusnya yang mampu meluruskan opini ini dan mengembalikan citra Rohis di mata masyarakat. Jangan sampai memberikan pernyataan-pernyataan yang bertentangan dengan kondisi lapangan.
Rohis yang merupakan satu-satunya ekstrakulikuler yang mengajarkan agama islam haruslah ditanggapi positif oleh berbagai pihak. Jangan malah Rohis dianggap macam-macam sehingga nantinya Rohis tidak mampu berkembang dan memiliki kinerja yang baik dalam memperbaiki moral dan keilmuan pelajar di bidang keagamaan.
Rohis juga harusnya malah menjadi ‘alat’ untuk mampu membendung radikalisme itu sendiri. Tapi, tidak dengan cara pengaturan yang berlebih, melainkan dengan pengawasan yang berimbang.
Elam Sanurihim Ayatuna; Penulis adalah Ketua Divisi Operasional Forum Silaturahim Rohis (FORTRIS) Jakarta dan sekitarnya. Masih aktif bersekolah di SMA N 112 kelas XII. Pernah menjadi Ketua Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia (KAPMI) Daerah Jakarta Barat dan Ketua Rohis SMA N 112.