Operasi militer Israel di Jalur Gaza yang terjadi selama hampir sebulan masih menyisakan kepedihan dan duka yang mendalam bagi kaum muslimin di sana. Aroma kegetiran masih nampak jelas di wajah-wajah mereka. Ujian dan cobaan silih berganti menimpa bangsa Palestina, terutama yang ada di Gaza.
Ujian dan cobaan (bala’) adalah sejarah dan kisah panjang sejak diturunkannya kalimat tauhid ke muka bumi. Para nabi dan orang-orang saleh silih berganti menerima ujian dan bala’. Oleh karena itu, siapa saja yang bertekad secara tulus untuk memikul kalimat La ilaha illallah dan membela serta ingin menegakkannya di muka bumi, maka ia harus mau menebus status mulian ini dengan menanggung beban berat, baik kelelahan, keletihan dan bala’.
“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-‘Ankabut: 2-3)
Rasulullah menyatakan, “Demi Allah, sesungguhnya Allah benar-benar menimpakan bala’ kepada orang mukmin, Allah tidak menimpakan bala kepadanya selain memuliakannya. Dan sungguh ia memiliki kedudukan yang tidak bisa ia gapai dengan amal apapun yang ia miliki, selain dengan ditimpakannya bala.”
Tak pelak, cobaan serta ujian yang dihadapi warga Gaza merupakan bentuk kecintaan Allah kepada mereka. Dalam makalahnya berjudul Wa Kadzalika Ar-Rusul, Tubtala Tsumma Takunu Lahum Al-‘Aqibah, Asy-Syahid Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi menyatakan, ditimpakannya cobaan adalah takdir Allah untuk semua makhluknya. “Yang membedakan adalah, untuk orang-orang pilihan, ujian itu akan semakin keras dan berlipat ganda dari orang-orang biasa. Pasalnya, mereka adalah orang-orang yang diperhatikan Allah. Terlebih lagi bagi mujahidin, tidak bisa tidak, mereka harus mengenyam pendidikan di madrasah bala’. Keimanan dan jiwa mereka harus digembleng,” tulisnya.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan, dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling dahsyat ujiannya?” Rasulullah bersabda, ”Para nabi, setelah itu orang-orang saleh, setelah itu yang berikutnya dan berikutnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya. Jika agamanya kuat, cobaannya pun bertambah. Jika kadar agamanya tipis, cobaannya diringankan. Dan orang beriman akan terus ditimpa cobaan sampai ia berjalan di muka bumi tanpa sedikitpun ada kesalahan pada dirinya.”
Pun demikian, tertundanya kemenangan juga menjadi tanda cinta Allah kepada hamba-Nya yang mukmin. Mengutip pernyataan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Zadul Ma’ad, tertundanya kemenangan merupakan cara Allah untuk mengidentifikasi orang-orang beriman, kafir dan munafik. Begitu cintanya Allah, sampai-sampai Dia memilah, mana saja kaum mukmin dan mana saja kaum kafir serta munafik. Dia tak ingin kaum mukmin berbaur dengan kaum munafik apalagi kafir, sehingga akidah Islam yang benar menjadi ternoda.
Masih menurut Ibnu Qayyim, seandainya Allah selalu memberi kemenangan dan kekuasaan kepada kaum beriman, tentu jiwa mereka akan melampaui batas, sombong dan angkuh. Sebagai bentuk rasa cinta, Allah menimpakan kebahagiaan sekali waktu dan kesedihan di waktu lainnya. Bahkan, rasa aman, kenyamanan, kemenangan dan kekayaan berpotensi memicu penyakit “wahn”, yaitu cinta dunia dan takut mati. Jelas, saking cintanya, Allah tak ingin para hamba-Nya terkena penyakit tersebut.
Terlebih lagi, konflik berkepanjangan antara kaum muslimin Palestina dengan Zionis Israel adalah representasi proses pertarungan antara al-haq dan al-bathil, yang senantiasa terjadi sepanjang masa. Kesedihan, luluh-lantaknya tempat tinggal kaum muslimin Palestina, dan segenap fenomena kekalahan yang menimpa mereka belumlah menjadi hasil akhir pertarungan itu. Karena, jauh-jauh hari Allah memberi sinyalemen bahwa – jika bersabar – hasil akhir pertarungan dimiliki kaum kaum muslimin. Allah berfirman, “Maka bersabarlah, karena sesungguhnya hasil akhir yang baik adalah milik orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
Yakinlah, janji Allah tidak akan pernah meleset. Kemenangan yang Allah berikan tidak berwujud kemenangan lahiriyah atau materi yang nampak secara kasat mata. Kemenangan bisa berbentuk lain, seperti yang nampak dari fenomena anak kecil dalam kisah Ashabu Al-Ukhdud. Secara lahiriyah, anak tersebut kalah, karena dirinya binasa di tangan raja yang kafir. Namun sejatinya, anak tersebut menang, karena seluruh rakyat beriman karenanya. Anak kecil itu berhasil meneguhkan panji tauhid, kemenangan terbesar.
Dengan demikian, jika yakin bahwa cinta Allah begitu besar kepada para hamba-Nya yang sedang menghadapi ujian dan melaluinya dengan penuih kesabaran, maka sekarang saatnya untuk bangkit. Karena, ujian kekalahan harus memicu tekad untuk meraih harga diri dan kemenangan. Nampaknya Allah hendak mengingatkan bahwa kelemahan dan kehinaan mesti menjadi batu loncatan untuk menang. Sebagaimana yang difirmankan-Nya terkait pasukan muslimin di Perang Badar, “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Perang Badar, padahal kamu ketika itu adalah orang-orang yang lemah.” (Ali ‘Imran: 123). Jadi sekarang saatnya bangkit dan melawan!
Profil Penulis :
Ganna Pryadharizal; Staf editor Pustaka Al-Kautsar, alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir. Bisa dihubungi di nomor 0817787524 atau email: [email protected]