Amerika krisis, dunia juga krisis. Aneh memang, tapi begitulah adanya. Hancurnya perekonomian negara adidaya tersebut berimbas bukan dalam negeri mereka saja, negara lain juga merasakan pahitnya. Entah sampai berapa lama krisis ini akan berlangsung. Yang pasti selama krisis ini belum bisa diatasi, maka negara-negara berkembanglah yang paling menderita. Pasalnya, jumlah manusia dengan usia bekerja terus bertambah namun lapangan pekerjaan terbatas. Alih-alih ingin membangun perusahaan baru, yang sudah ada aja telah mengurangi karyawannya.
Banyak pengamat mengatakan, krisis moneter kali ini merupakan peluang ekonomi syariah untuk tampil sebagai lokomotif. Apalagi di eraglobalisasi seperti sekarang, apa yang disebut pasar bebas membuka peluang bagi sistem ekonomi syariah baik yang berbentuk finance maupun trading bisa lebih berani melakukan ekspansi. Sebab perekonomian dibidang sektor ril lebih aman dan menjanjikan.
Saya tidak bicara soal ekonomi islam. Sebab ekonomi islam perbankan syariah kah ia atau yang lain, lebih banyak digeluti oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dalam mengelolahnya. Bagi mereka-mereka ini, pastilah sudah memahami benar tentang konsep syariah yang akan diberlakukan. Tinggal mereka mulai merealisasikan. Dengan begitu mereka turut andil dalam menyelesaikan krisis moneter. Khususnya yang terjadi di negara kita.
Tentu kita sebagai anak bangsa, apapun statusnya, juga punya andil yang sama. Krisis bukan masalah orang miskin saja. Karena sebenarnya orang kaya juga bertanggung jawab. Dan yang paling bertanggung jawab disini adalah alim Ulama, tuan guru, mahasiswa dan semua umat islam. Kitalah yang seharusnya saling memberitahu, dan saling menasehati agar bisa keluar dari kondisi kering duit ini.
Bagaimana mungkin, masyarakat yang mayoritas muslim dengan penduduk lebih dua ratus jiwa, kebingungan menghadapi krisis. Tingginya manusia dengan usia kerja dan terbatasnya lapangan pekerjaan, ditambah lagi pengangguran akibat PHK, mengharuskan kita untuk merapatkan barisan dalam bingkai ukhuwah. Juga memulai menjalankan apa yang ditawarkan Islam sebagai solusi kemiskinan.
Dalam salah satu bukunya yang berjudul “ Musykilat al Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al Islam”, Dr.Qaradawi memaparkan secara gamblang gagasan konkrit bagaimana Islam memandang kemiskinan. Secara umum ada enam cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi angka kemiskinan. Dan ini layak untuk diterapkan dalam kondisi
Pertama; Kerja
Ini cara paling umum yang dilakukan kebanyakan orang untuk meningkatkan taraf hidup. Orang bisa kaya karena ia bekerja. Semakin optimal kerjanya maka semakin besar pemasukannya. Hanya saja, jika kondisinya seperti ini, kebanyakan masyarakat kita bekerja sebagai pegawai, tentu menjadi kendala. Bagi mereka yang “dirumahkan” serasa putus harapan. Kebutuhan hidup yang begitu tinggi, dan sangat terbatasnya lapangan pekerjaan, membuat mereka hanya bisa pasrah diam dirumah.
Putus hubungan kerja bukan kiamat. Karena kita masih diberikan kesempatan untuk memakmurkan bumi. Dan kalau diterjemahkan dalam bahasa ekonomi, kesempatan ini menyuruh kita agar mengembangkan jiwa entrepreneur. Tuntutan agar kita lihai megelola bumi ini sampai menghasilkan uang. (Al a’raf:10 dan Al Isra’:70)
Cobalah berjalan ke pasar, perhatikan toko-toko yang ada lalu catat. Lihat kembali catatan itu, lalu tentukan satu jenis usaha yang bisa ditiru. Dan mulailah dengan bismillah. Insya Allah, keuangan anda akan menjadi lebih baik.
Kedua; Memberdayakan sanak famili
Cara ini semacam asas manfaat. Bagi anda yang memiliki sanak famili banyak, beruntunglah. Sebab pada dasarnya ikatan emosional keluarga lebih kental dari yang lain. Oleh karenanya disini diberlakukan kewajiban memberi nafkah bagi anggota keluarga yang mampu kepada yang tidak mampu.
Mungkin kita mengira yang wajib dinafkahi dalam hidup hanya keluarga (suami, isteri, anak-anak). Sebenarnya, Islam memerintahkan untuk berbuat baik (memberi nafkah) pada orang-orang yang masih ada hubungan darah. (Al isra:26 dan Ar rum:38). Perintah itu juga dijelaskan dalam hadis sebagai salah satu indikasi keimanan seseorang. Kalau kita benar beriman, maka hendaknya sering silaturahmi.
Masalahnya, kita sering silaturahmi, tapi hanya sekedar temu kangen. Padahal diantara tujuan silaturahmi itu untuk mengetahui kondisi orang yang kita kunjungi. Bagaimana kesehatannya, cukupkan kebutuhan sehari-harinya dan lain sebgainya.
Dari sinilah bisa difahami, bagi kita yang berkecukupan seringlah bersilaturahmi. Siapa tahu diantara sanak famili kita membutuhkan pertolongan. Dan sebagian harta kita itu adalah hak mereka. Dan bagi kita yang membutuhkan tidak perlu pula enggan bersilaturahmi. Karena kewajiban mereka lah membantu sesema keluarga. Karena rasul juga menyebutkan paman, bibi, kakek, nenek, setelah ibu , bapak , adik dan kakak. Sepanjang masih memiliki garis keturunan dari bapak atau ibu, maka kita diperintahkan untuk memberikan bantuan.
Ketiga; Mengoptimalkan sumber daya Zakat
Semua tahu zakat itu wajib. Bahkan masa sahabat, Abu bakar sempat mengirim pasukan kedaerah yang penduduknya tidak membayar zakat. Beliau berjanji; akan memerangi orang islam yang mendirikan shalat tapi tidak membayar zakat. Karena zakat salah satu devisa negara ketika itu. Sampai-sampai pada masa Khalifah Umar bin Abdul aziz tidak ditemukan lagi orang miskin karena zakat telah berjalan maksimal.
Dalam kondisi sekarang, justru zakat memiliki fungsi yang besar. Untuk mengimbangi kemiskinan yang terus bertambah, kini lembaga zakat harus lebih giat mengumpulkan zakat. Bukan cuma zakat fitrah, kalau bisa semua jenis zakat harta juga dikumpulkan.
Dari sini, peran ulama dibutuhkan. Bagi mereka yang faham tentang zakat, bisa membentuk badan amil layaknya amil zakat fitrah menjelang Idul fitri. Andai ini diterapkan di setiap daerah, dengan berkoordinasi oleh Pemda setempat, insya Allah warga yang ekonominya lemah bisa tercukupkan.
Keempat; Memberikan subsidi dari kas negara
Negara adalah rumah tangga rakyat. Layaknya sebuah rumah tangga, seorang kepala rumah tangga harus menunaikan kewajibannya dalam membei nafkah. Masyarakat adalah anggota keluarga, dan pemerintah adalah orang tuanya. Tentu orang tua yang baik selalu tanggap pada apa yang dibutuhkan anggota keluarganya. Dan negara yang baik akan cepat tanggap memberikan bantuan dana kepada rakyatnya.
Kelima; Menyalurkan hak harta selain zakat
Harta yang kita miliki, jika berlibih maka ada hak orang lain didalamnya. Diantara sara penyaluran hak ini biasa diterapkan dalam bentuk zakat. Akan tetapi zakan bukan satu-satunya cara menyalurkan hak itu. Selain zakat ada jua cara lain; berbuat baik kepada tetangga, hewan qurban, kafarat (denda) orang yang melanggar sumpah, kafarat zihar, fidyah.
Semua penyaluran tersebut kalau diorganisr dengan baik pasti sangat berguna. Kalau ada instansi pengumpul harta-harta yang disebutkan tadi, itu akan menjadi income suatu daerah. Dan dari sini bisa digunakan untuk membantu warga yang membutuhkan.
Keenam; memberdayakan shadaqah dan wakaf
Kedua hal ini memiliki potensi yang lumayan besar. Jika masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi terhadap shadaqah dan wakaf, akan terkumpul dana-dana kebajikan. Selanjutnya dana tersebut bisa dijadikan modal untuk usaha-usaha yang menghasilkan profit. Khususnya wakaf tunai, sistem ini menawarkan pada pelakunya bukan hanya pahala yang terus menerus (prinsip amal jariah) bahkan, harta yang dijadikan modal juga bisa diperoleh kembali dalam kurun waktu yang ditentukan.
Enam cara ini patut kita coba. Khusus dua cara terakhir diperlukan manajemen yang baik serta pengorganisiran yang bagus. Sebab cara tersebut masih tergolong jarang atau tidak pernah ada di lingkungan kita. Di sini para alim ulama dituntut untuk menanamkan pemahaman yang dalam kepada masyarakat berkenaan hal tersebut. Cara-cara di atas layaknya sebuah produk yang ingin dijual. Maka darri segi marketing, ulama lah yang bertugas memasarkannya. Agar cara-cara tersebut bisa optimal berjalan.
Profil Penulis
Fery Ramadhansyah asal Medan, alumni MAN 2 Medan jurusan Keagamaan, sekarang dibangku kuliah S1 Fakultas Syariah Islamiah (Islamic Jurisprudence), Universitas Al Azhar Cairo-Mesir. Koordinator Dept Ta’lim PII-Mesir.
e-mail: [email protected]