Mungkin di antara kita ada yang masih beranggapan bahwa seorang presiden bisa disamakan dengan seorang khalifah, memang benar keduanya sama-sama seorang pemimpin sebuah Negara, tetapi fungsi keduanya sebenarnya sangat berbeda. Seorang Khalifah dipilih untuk menjalankan Syariah, tetapi seorang presiden dipilih untuk menjalankankan sistem sekuler karena seorang presiden memang dilahirkan melalui sebuah sistem sekuler.
Jadi, ketika kita menyikapi janji Allah Swt tentang urutan fase umat Islam yang tertuang dalam hadist dibawah ini, langkah-langkah yang nantinya kita akan tempuh untuk menjemput janji Allah ini, haruslah tidak keluar dari konteks hadist ini. Pemahaman yang salah dalam mengartikan kedudukan seorang presiden dan khalifah dapat berakibat kesalahan pula dalam menentukan tujuan dan metode (thariqoh) perjuangan bagi para pengemban dakwah.
“Periode an-Nubuwwah (kenabian) akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya, setelah itu datang periode khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah (kekhalifahan atas manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’aala mengangkatnya, kemudian datang periode mulkan aadhdhon (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa, selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’aala, setelah itu akan terulang kembali periode khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam,”(HR Ahmad 17680).
Saat ini kita hidup dalam fase yang ke-4 yaitu fase/periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak), jadi janji Allah Swt yang belum kita alami adalah munculnya fase ke-5 yaitu kembalinya khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah (kekhalifahan yang sesuai dengan manhaj kenabian). Sebuah kekhilafahan tentunya dipimpin oleh seorang khalifah dan bukannya seorang presiden karena kekhilafahan (khilafah) dan sebuah institusi yang berfungsi menegakkan hukum Allah Swt yaitu syariat Islam. Jadi jika ada sebuah wadah perjuangan Islam (Harakah Islamiyah) yang mempunyai tujuan untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam koridor NKRI itu adalah sebuah tujuan yang salah konteks.
Khilafah Bukanlah Negara Republik ataupun Kerajaan
Kekhilafahan bukanlah negara republik dan bukan pula kerajaan, kekhilafahan adalah institusi yang unik yang berlandaskan dari sumber-sumber hukum Islam. Negara republik adalah bentuk badan hukum sebuah negara sekuler, syariat Islam selamanya tidak akan dapat dilaksanakan secara kaffah melalui bentuk negara ini. Kita bisa lihat salah satu faktanya, banyak berdiri bank-bank yang mengaku syariah tetapi sebenarnya masih setengah syariah bahkan terkesan labelisasi semata, sampai kapanpun bank-bank tersebut tidak akan bisa murni syariah selama badan hukumnya (Perseroan Terbatas) masih bersifat kapitalistik.
Untuk merubah badan hukum dari bank-bank tersebut dibutuhkan sebuah keputusan politik dari sebuah legal sistem yang bersumber dari ideologi yang dianut oleh negara tempat bank-bank tersebut berada. Sedangkan negara republik adalah negara yang ber-ideologi sekuler, jadi selamanya tidak akan sinergis dengan instrument-instrument syariah yang dilaksanakan di negara itu. Sama halnya jika kita beranggapan bahwa syariah Islam bisa ditegakkan didalam koridor negara komunis.
Syariah Akan Timpang Jika Diterapkan Secara Parsial
Penerapan sistem Islam secara parsial malah akan menimbulkan ketimpangan di masyarakat, misalnya sistem Islam dalam hal peradilan dan sanksi hukum akan timpang ketika sistem ekonomi belum sesuai dengan syariah, padahal sistem ekonomi syariah juga tidak bisa tegak secara kaffah ketika ideologi negara yang dianut masih bersifat sekuler. Ujung-ujungnya semua berpulang pada masalah ideologi, dan ideologi itulah yang menentukan negara itu disebut negara republik, komunis ataupun Daulah Khilafah Rasyidah. Ijinkan saya mengutip beberapa kalimat dari sebuah buku yang berjudul “Pengenalan Sistem Islam dari A sampai Z” yang sungguh menarik untuk dicermati.
"…… penerapan sistem Islam secara parsial atau gradual (bertahap) merupakan sesuatu kekeliruan, dan tidak mampu memberikan keamanan dan keadilan kepada masyarakat. Sistem hukum Islam dapat ditamsilkan seperti sebatang pohon yang memiliki cabang yang sangat banyak. Sekalipun masing-masing sistem mirip sepotong cabang yang bersifat unik, namun semua sistem tersebut merupakan bagian dari suatu bangunan yang lebih besar, yaitu pandangan hidup Islam yang lengkap."
Dari tujuan yang tidak sesuai konteksnya dengan yang telah dijanjikan Allah Swt, maka kesalahan itu akan menjalar pada penentuan metode (thoriqoh) yang dipakai oleh wadah perjuangan Islam.
Dengan beranggapan bahwa syariat Islam bisa ditegakkan secara kaffah dengan bermula menyentuh hal-hal yang bersifat parsial saja, tetapi melupakan masalah pokok yaitu ideologi sekuler yang masih dianut oleh negara ini, maka metode (thariqoh) yang ditempuh oleh sebuah wadah perjuangan Islam tersebut tidak akan bisa menyentuh persoalan-persoalan fundamental yang berhubungan dengan aqidah, tetapi malah hanya terlalu fokus pada sisi moralitas belaka dan bersifat parsial.
Mereka akan bangga ketika berhasil menempatkan kader-kadernya dalam pemerintahan sekuler, tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka hanya “tamu” dalam sistem tersebut, “tuan rumah” tentunya para pengusung sekulerisme. Sebagai “tuan rumah” yang tidak mau “rumah”-nya dirongrong dari dalam, tentunya akan menciptakan aturan-aturan yang harus disetujui sang “tamu” sebagai syarat jika ingin masuk dalam “rumah” para pengusung sekulerisme agar sang “tamu” tidak bisa meng-obok-obok hal-hal yang bersifat fundamental. Kondisi ini membuat sang “tamu” akhirnya hanya bisa menyentuh hal-hal yang bersifat parsial saja, sehingga ketimpangan-ketimpangan di masyarakat tetap terjadi. Masyarakat tetap tersiksa, dan tetap jauh dari kondisi ketika sistem Islam pernah ditegakkan secara kaffah.
Kembalilah pada Thariqoh Rasulullah saw.
Oleh karena itu, ikutilah thariqoh Rasulullah saw yang tentunya atas tuntunan Allah Swt, yang tidak tergoda akan capaian-capaian parsial yang kelihatannya menjanjikan, tetapi sebenarnya masalah membuat tujuan menjadi membias dan bahkan mandul.
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran” (TQS. Al-A’raf : 3)
Thariqoh dimana tidak diambilnya jalan yang membuat perjuangan harus berlindung pada sistem kufur dan menyetujui apa-apa yang menjadi syarat untuk masuk dalam sistem itu. Lihatlah ketika Rasulullah saw ditawari harta, wanita bahkan kunci ka’bah (kekuasaan) oleh pamannya, Abdul Thalib, tetapi ternyata beliau menolaknya, karena tawaran itu diberikan dengan syarat agar Rasulullah menghentikan dakwah ideologisnya.
Akhir kata, dakwah ideologis harus disampaikan dengan apa adanya tentunya dengan cara yang ma’ruf, jangan sampai terjebak oleh capaian-capaian parsial yang sebenarnya bersifat semu belaka, tetapi malah membuat kita tidak bisa jujur dalam menyampaikan apa yang sebenarnya kita usung sehingga kesadaran umat akan Islam tidak bisa tercapai. Dakwah ideologis akan membangkitkan pemikiran masyarakat, dibantu oleh para Ahlul Quwah insya Allah kebangkitan umat ini akan segera terjadi, maka kekuasaan yang sejati dan janji Allah itu juga akan segera tercapai. Amin.
Budi Kristyanto; Karyawan swasta sebuah perusahaan di kawasan Mega Kuningan Jakarta.
HP : 08561648432