Memahami Chaos
Chaos dapat diartikan sebagai ketidakteraturan, kekacauan, keruwetan dan sebagainya. Dalam Islam, chaos timbul ketika hukum Allah sang Maha pengatur mulai dicampakkan dan dipisahkan dari kehidupan yang biasa kita kenal dengan sebutan sekulerisme. Hukum yang paripurna yaitu syariat Islam dan datang dari Zat yang Maha mengetahui, Maha benar dan hanya memiliki satu kepentingan, yaitu menginginkan manusia agar tetap pada fitrahnya.
Manusia menganggap bahwa hukum Allah Swt hanya berfungsi dalam ibadah ritual belaka. Manusia akhirnya membuat hukumnya sendiri yang sebenarnya muncul dari banyak kepentingan, kepentingan yang hanya mementingkan beberapa orang atau kelompok saja. Disamping itu manusia adalah mahluk yang serba terbatas dan lemah yang menyebabkan produk hukumnya pun penuh dengan kelemahan yang tentu akhirnya hanya akan menimbulkan ketimpangan dan kesengsaraan, yaitu kesengsaraan di dunia maupun di akhirat karena telah menolak hukum Allah.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (TQS Al maa-idah: 49)
“Telah tampak kerusakan (fasad) di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. Ar-Rum [30]:41)
Inilah Chaos
Lihatlah bagaimana kondisi negri ini yang kian terpuruk dalam tumpukan persoalan. Sebanyak 84% produksi minyak dan gas bumi (Migas) ternyata dikuasai asing. Menurut Walhi (2008) sebanyak 329 blok migas berada di tangan asing. Sisanya yang kebanyakan sumur tua dikelola oleh Pertamina.
Padahal sebagai muslim seharusnya kita mengerti bahwa memberikan kepemilikan umum pada pihak asing adalah haram hukumnya, dan seharunya kita bisa menjaga aset ini untuk kepentingan rakyat. Tidak berfungsinya penggunaan kepemilikikan umum sebagai mana mestinya, adalah salah satu bukti dari bahwa chaos sedang terjadi.
Manusia itu berserikat dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api. (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Utang luar negri, kemiskinan, pengangguran dan kerusakan moral juga menjadi persoalan-persoalan yang tak kunjung berakhir di Indonesia. Jumlah kewajiban (outstanding) utang luar negri Indonesia terus meningkat dari Rp1.275 triliyun (tahun 2004) menjadi Rp1.667 triliyun (tahun 2009). Pada APBN 2009, pembayaran cicilan pokok utang luar negri mencapai Rp61,6 triliyun. Ini sudah lebih besar ketimbang pinjaman baru yang jumlahnya Rp52,2 triliyun. Hutang pemerintah keseluruhan sudah mencapai 35% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB), dimana 16% adalah hutang luar negri dan 19% adalah hutang dalam negri (dalam bentuk surat utang Negara, obligasi dan sebagainya) (Manifesto HTI, 2009).
Jumlah orang miskin tahun 2008 menurut pemerintah adalah 34.96 juta jiwa (15.42% penduduk). Sementara jumlah pengangguran sebesar 9,4 juta jiwa, yang 4,5 juta diantaranya adalah lulusan SMA, SMK, program diploma dan universitas. Jumlah anak putus sekolah ada 20 juta jiwa (ANTV, 2 Mei 2009). Kerusakan moral dapat dilihat dari hasil penelitian Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia yang menunjukkan 62,7% remaja usia 13-18 tahun terjadi 2,6 juta kasus aborsi. Sebanyak 700 ribu pelakunya adalah remaja di bawah 20 tahun (Kompas, 4 Juli 2009).
Kita juga melihat bagaimana kebutuhan pokok yang semakin meningkat tajam, sehingga kebanyakan orang menghabiskan waktu dan energinya hanya untuk mencari uang, hampir tidak ada waktu lagi untuk belajar keislaman, apalagi untuk berdakwah.
Sehingga terciptalah masyarakat yang kapitalistik – individualistik yang jauh dengan pemikiran Islam, sedangkan paham demokrasi malah kita adopsi dengan dilegitimasi ayat-ayat Alqur’an agar terlihat sejalan dengan Islam . Di sisi lain kesulitan hidup yang kian tak terbendung, membuat kebanyakan dari umat Islam berfikir untuk bertahan hidup dengan segala cara, tak dihiraukan lagi dengan cara yang halal ataupun haram, membuat kejahatan semakin merajarela dan kecurangan di mana-mana. Mulai dari penjualan produk haram tetapi dikemas seakan-akan halal ataupun makanan yang tak layak dikonsumsi tetapi didaur ulang agar terlihat layak dikonsumsi. Begitu pula transaksi-transaksi yang semakin tidak jelas kesyar’iannya, tetapi demi meraih nasabah, mereka terburu nafsu untuk menyematkan label syar’i dalam berbagai transaksi, padahal debu-debu riba masih jelas terlihat.
“Akan datang pada manusia suatu saat di mana seseorang tidak peduli dari mana hartanya didapat, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR Ahmad dan Bukhari)
“Akan datang pada manusia suatu waktu, setiap orang tanpa kecuali akan makan riba, orang yang tidak makan langsung, pasti terkena debu-debunya.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi)
Anak-anak bersekolah diorientasikan hanya untuk mencari uang bukan untuk beramal sholeh sebesar-besarnya. Pada sekolah-sekolah umum, sistem pendidikan tidak berasaskan pada aqidah Islam, bahkan paham-paham yang bertentangan dengan aqidah Islam disisipkan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang semakin jauh dari fitrahnya sebagai seorang muslim.
Dalam masyarakat global kita juga melihat bagaimana bumi palestina dikoyak-koyak oleh zionis Israel, tetapi yang dilakukan negri-negri kaum muslimin hanyalah memberikan bantuan bagi para korban tanpa pernah berani mengirimkan tentaranya untuk mengusir dan menghancurkan zionis Israel. Hal ini juga sangat bertentangan dengan fitrah kita sebagai seorang muslim yang seharusnya bisa menjaga harta dan nyawa saudara seimannya.
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (TQS Al Hujuraat : 10)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (TQS. At taubah : 71)
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang lalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (TQS. An nisa : 75).
Dan banyak lagi kerusakan (fasad) yang terjadi akibat sekulerisme yang tidak dapat dituliskan semuanya di dalam tulisan ini. Pada intinya dari kondisi-kondisi yang ada hingga saat ini kita bisa simpulkan bahwa kebanyakan manusia telah keluar dari fitrahnya sebagai manusia maupun sebagai seorang muslim. Inilah chaos, dan sedang terjadi sampai saat ini.
Munculnya Mental Pecundang
Tetapi, saat ini banyak dari kalangan umat Islam yang beranggapan bahwa chaos adalah kondisi layaknya sebuah peperangan, perang saudara, kerusuhan massal dan lain sebagainya. Pendapat tersebut tidaklah salah, tetapi pendapat tersebut adalah bukti nyata bahwa sebagain besar umat Islam telah mengalami degradasi nilai dalam memahami keadaan chaos, sehingga mereka tidak menganggap bahwa keadaan saat ini yang sangat carut marut dan menyebabkan umat Islam keluar dari fitrahnya sebagai seorang muslim sebagai sebuah chaos.
Pemahaman seperti ini mengakibatkan sulitnya untuk membangkitkan sebuah semangat yang tinggi demi perubahan secara fundamental. Mereka berpendapat bahwa kondisi saat ini sudah final, seperti ketika mereka menyatakan bahwa NKRI (bentuk Negara sekuler) sudah final. Sehingga yang perlu dilakukan hanyalah memperbaiki atau menghiasi sesuatu yang sudah ada tanpa perlu merubahnya secara fundamental, yaitu perubahan ideologi Negara yang menyebabkan berubahnya bentuk sebuah Negara.
Pemahaman tersebut disebabkan karena umat Islam telah lama tidak hidup dalam rumah sejatinya yaitu Daulah Khilafah Islamiyah, dimana umat yang di bawah naungan institusi ini dijaga agar tetap pada kondisi dalam fitrahnya sebagai manusia dan sebagai seorang muslim. Ketiadaaan institusi ini yang sudah berlangsung semenjak tahun 1924, membuat kita sulit untuk membandingkan antara kondisi chaos dan tidak, walaupun tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam era mulkan aadhdhon (raja-raja yang menggigit), yaitu paska era khulafa’ur rasyiddin, banyak penyelewengan (chaos) secara parsial yang telah terjadi, tetapi setidaknya di era itu, sistem Islam/Khilafah masih bisa dirasakan keberadaannya dan penerapannya. Karena ketiadaan referensi pembanding yang tepat serta terpengaruh oleh paham kufur seperti demokrasi, nasionalisme, liberalisme, dan pluralisme yang selalu digaung-gaungkan Barat sampai saat ini dan bahkan sudah menjadi paham bagi kebanyakan kaum muslim, mereka mulai menganggap bahwa peradaban Barat yang sekuler lah yang pantas dijadikan sebuah referensi kondisi kehidupan yang ideal. Bahkan tidak sedikit dari umat Islam yang sudah terlalu silau dengan peradaban Barat yang terlihat megah, padahal kemegahan itu hasil dari penjajahan gaya baru yang dilakukan terhadap Negara-negara pengekor ideologinya.
Akibatnya munculah orang-orang yang bermental pecundang, yang selalu tersenyum sinis jika melihat sebagian umat muslim yang selalu bersikukuh bahwa Islam is The Only Solution, karena mereka menilai bahwa peradaban Islam adalah masa lalu yang sudah tidak cocok lagi dengan kondisi saat ini. Mereka menganggap bahwa membahas jaman keemasan Islam, hanyalah tindakan romantisme belaka. Mereka bahkan tidak lagi mempunyai keyakinan penuh bahwa Islam adalah solusi tunggal tanpa harus disandingkan dengan ideologi-ideologi buatan manusia, sehingga mereka tega berkata, “Islam tidak mungkin lagi bangkit dan menyaingi Barat, jadi lebih baik kita bergabung dengan ideologi Barat, lebih baik kita nikmati saja keadaan seperti ini.”
Sistem Islam Sang Penjaga Fitrah
Seorang sejarahwan, Will Durrant, di dalam bukunya yang berjudul ‘The Story of Civilization’ mengungkapkan, “ Para Kholifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Kholifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka ”.
Di bidang pemerintahan, kita dapat melihat begitu apiknya sistem check and balances yang diterapkan dalam sistem Khilafah. Rakyat, walaupun hanya seorang, dapat mengadukan seorang khalifah atau seorang pemimpin kepada mahkamah mazhalim tentang kesewenang-wenagan/pelanggaran syariat yang telah dilakukan pemimpin tersebut. Hanya karena seorang rakyat, seorang pemimpin harus rela menarik kembali peraturan yang dibuatnya atau bahkan harus mundur dari jabatannya.
Umar bin Khattab saat menjadi khalifah pernah menegur keras Amr bin Ash yang saat itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Teguran keras itu dikarenakan Amr bin Ash bertindak sewenang-wenang terhadap seorang Yahudi tua yang tidak terima di atas tanahnya didirikan sebuah masjid. Teguran tersebut akhirnya membuat Amr bib Ash harus memerintahkan bawahannya untuk merubuhkan masjid yang sudah hampir jadi, walaupun akhirnya dicegah oleh Yahudi tua itu karena kagum dan terharu akan keadilan Islam, bahkan sang Yahudi tua merelakan tanahnya untuk pembangunan masjid dan ia pun masuk agama Islam, subhanallah.
Hal diatas sangat berbeda jika kita bandingkan dengan sistem presidensial yang diterapkan di negri ini. Walaupun ribuan atau bahkan jutaan rakyat mengecam peraturan/kebijakan pemimpinnya yang tidak berpihak kepada rakyat, tetapi kenyataannya celah untuk melakukan proses hukum sangatlah sulit dilakukan, apalagi ketika pemimpin tersebut masih berkuasa. Sistem kufur ini menempatkan seorang pemimpin dalam posisi yang ‘untouchtable’. Bahkan sudah menjadi hal yang mustahil untuk melakukan pemakzulan seorang presiden.
Menkumham, Patrialis Akhbar menyatakan. “Banyak persyaratan yang dipersyaratkan konstitusi, itu satu pun tak terpenuhi. Dalam UUD, prinsip dasarnya dalam sistem presidensial, presiden itu tak bisa dijatuhkan di tengah jalan, karena dia dipilih melalui pemilihan umum,” (Republika, 10 Februari 2010). Lalu bagaimana dengan nasib rakyat? Mereka hanya bisa gigit jari dan terpaksa tetap mengenakan helm yang sudah sejak lama mereka ingin buang yang bertuliskan “Merana Lagi” sampai kepemimpinan presiden tadi berakhir.
Lantas apakah setelah kepemimpinan itu berakhir apakah masalah menjadi selesai? Tentu tidak, karena hakikatnya seorang pemimpin yang dipilih melalui sistem kufur tentunya mengemban tugas untuk melaksanakan ideologi yang diemban oleh sistem itu.
Jadi siapapun pemimpinnya tidak akan jauh berbeda keadaannya, berapapun terjadi pergantian presiden, keadaannya akan relatif sama, karena asas sekulerisme memang bertentangan dengan fitrah manusia dan hanya akan menghasilkan kesengsaraan dan ketimpangan, yang artinya chaos akan terus terjadi sampai kita sadar dan mau merubah ideologi sekuler menjadi ideologi Islam, tentunya dibangun melalui metode (thoriqoh) Islam, bukan metode sekuler seperti menggunakan demokrasi berlandaskan asas manfaat.
Dalam bidang ekonomi, Islam lebih menitik beratkan pada upaya distribusi yang efektif atas harta kekayaan dan sumberdaya, bukan menimbun harta dan sumberdaya tersebut dalam tumpukan yang tidak berguna. Jadi, pemuasan atas berbagai kebutuhan pokok-makanan, pakaian dan tempat tinggal-bagi seluruh warga Negara, muslim maupun non-muslim, menjadi prioritas utama.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (TQS. At taubah : 34)
Islam melarang segala bentuk praktek riba, yang terang-terangan maupun yang terselubung. Oleh karena itu segala transaksi keuangan tersentralisasi melalui baitul maal dan dilarang adanya bank karena akan memicu terjadinya praktek riba secara terang-terang maupun yang terselubung.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (TQS. Al-baqarah : 275)
Islam sangat tegas dalam pembagian bentuk kepemilikan individu, umum, dan Negara. Oleh karena itu tidak diijinkan terjadinya privatisasi, karena kepemilikan umum adalah milik rakyat yang akan dikelola oleh Negara dan hasilnya akan dikembalikan ke masyarakat berupa pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh masyarakat. Itulah mengapa sistem ekonomi Islam sangat memicu kesejahteraan rakyat. Pemerintah menjamin seluruh kebutuhan pokok seperti pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, dan sebagainya, sehingga segala bentuk bisnis asuransi tidak akan bisa diterapkan karena memang rakyat tidak memerlukannya lagi. Negara tidak boleh menjual kepemilikan umum pada pihak asing, karena itu pelanggaran syariat yang sangat fatal.
Bahkan di masa menjelang kehancuran kekhilafahan Ustmaniyah, Khalifah Hamid II masih bisa bersikap tegas terhadap Theodore Hertzl yang memimpin delegasi kaum Zionis untuk menawarkan bantuan kepada Khalifah, pada saat Khilafah mengalami kesulitan keuangan, dan sebagai gantinya mereka menuntut Khalifah mengizinkan orang-orang
Yahudi membangun pemukiman di Palestina. Tapi Khalifah Abdul Hamid II tegas menolak menemui delegasi tersebut seraya menyatakan:“Aku tidak dapat menyerahkan, walau hanya sejengkal, tanah Palestina. Karena, tanah itu bukan milikku, tetapi milik umat Islam. Umatku telah berjuang demi tanah ini, dan menyiraminya dengan darah mereka. Maka biarlah Yahudi menyimpan harta mereka. Akan tetapi, jika suatu saat nanti
Khilafah dihancurkan, mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya.”
Masih banyak sekali penjabaran bagaimana syariah Islam mengatur segala sisi kehidupan yang tidak mungkin semuanya bisa dijabarkan dalam satu tulisan saja, tetapi setidaknya pemikiran yang harus dipegang adalah secara keimanan kita harus meyakini bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam yang datang dari Zat yang Maha Tahu dan Maha Pencipta, yang artinya juga mengetahui apa-apa yang sebenarnya dibutuhkan bagi ciptaanNya.
Umat Terbaik Bukan Untuk Menikmati Chaos
Sungguh, apa yang kita rasakan dan kita saksikan saat ini benar-benar membuktikan bahwa kita sekarang hidup dalam The Darkest Ages of Islamic History sehingga umat Islam jauh dari keadaan fitrahnya sebagai muslim yang merambah ke seluruh sisi kehidupan, yang tidak bisa dilihat hanya sebagai masalah yang parsial saja, tetapi masalah sistemik yang bersumber dari adopsi ideologi yang salah. Sungguh sangat menyedihkan dan menyayat hati ketika umat ini semakin terpuruk, bahkan untuk menghukum penghina Rasulullah saw. pun kita tidak bisa, yang kita lakukan hanya mengecam, berdemo tanpa ada satu pun institusi yang dapat menghukum langsung para pelakunya. Semoga kita segera sadar bahwa inilah chaos, yang sungguh menyakitkan bagi umat Islam bahkan seluruh umat di dunia, yang seharusnya mulailah kita melakukan pergerakan untuk perubahan secara fundamental yang didasari oleh akidah Islam yang murni yang tidak ternodai oleh ideologi filsafat buatan manusia seperti demokrasi, nasionalisme, sosialisme dan sebagainya.
Hanya anehnya ketika kita ditimpa masalah yang tak kunjung habis ini, solusi yang diambil selalu tidak mau lepas dengan demokrasi yang termasuk turunan dari sistem sekuler, hal ini malah mengakibatkan sekulerisme semakin kokoh berdiri. Akhirnya sebagian besar umat Islam mengalami kebingungan memilih mana lagi jalan yang seharusnya ditempuh, seharusnya kebingungan itu tidak perlu terjadi ketika tidak selalu menghindari jalan Islam. Kemudian muncullah orang-orang yang berpaham pragmatis akut yang berkata, “ya sudahlah kita nikmati saja keadaan ini, yang penting kita masih bisa makan dan melakukan ibadah ritual, janganlah bermimpi yang aneh-aneh”.
Tidak saudaraku, kita dilahirkan sebagai umat yang terbaik yang diturunkan Allah untuk mengembalikan seluruh umat manusia kembali pada fitrahnya, bukan chaos yang malah kita nikmati. Allah telah menunjukkan jalan dengan guidance yang jelas dan dicontohkan oleh Rasulullah saw., tetapi kebanyakan manusia masih ragu dan suka berlaku fasik.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (TQS Ali-imran:110)
Wallâh a’lam bi ash-shawâb
Budi Kristyanto
Structural Engineer di sebuah perusahaan Engineering Consultant, Jakarta
HP : 08561648432 ; email: [email protected]