Perbedaan ideologi serta kepentingan kepentingan politis tidak bisa dipisahkan dari sejarah sebuah bangsa, termasuk juga bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya, sebenarnya bangsa ini tidak hanya berhadapan dengan kekuatan kekuatan luar, namun juga perbedaan perbedaan kepentingan diantara tokoh atau figure figure yang berpengaruh pada bangsa ini.
Presiden Soekarno, pada masa pemerintahannya dikenal sebagai seseorang yang berseberangan dengan tokoh tokoh islam seperti A. Hasan, Agus Salim dan M Natsir. Tokoh tokoh islam tersebut lebih menginginkan sebuah negara yang berdasarkan syari’at islam, berbeda dengan Soekarno lebih cenderung mempraktekkan ideologi nasionalis sekulernya yang menginginkan perpisahan negara dengan agama. Pertarungan ini tidak hanya sebatas pada cara berpikir mereka, namun juga ke praktek perpolitikan di lapangan.
Pertarungan ideologi dan pemikiran ini terus berlangsung hingga Soekarno berkuasa dan semakin terlihat kental ketika Soekarno dengan kekuatan rezimnya “memaksakan” konsep Nasakom menjadi dasar perpolitikan di Indonesia. Hal ini di bantah keras oleh tokoh tokoh islam tersebut di atas, karena dengan konsep itu Presiden Soekarno memberikan ruang yang sangat besar bagi berkembangnya ideologi komunis dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Setelah penetapan doktrin Nasakom ini dan semakin jauhnya pemerintahan Soekarno dari penerapan syari’at islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menyebabkan semakin derasnya pertentangan pertentangan dari tokoh tokoh umat islam yang sejatinya menuntut janji soekarno untuk memberikan ruang bagi mereka dalam memperjuangkan penegakkan syar’iat islam menjadi dasar negara.
Sudah menjadi permainan politik, bahwa dalam mengalahkan lawan lawan politiknya, para penguasa biasanya menggunakan kekuatan kekuasannya. Hal itulah yang terjadi pada pemerintahan Soekarno, kekuatan islam semakin dilemahkan dengan menutup kesempatan tokoh tokohnya dalam mengkampanyekan ide ide mereka. Hal ini terlihat jelas ketika Soekarno memutuskan untuk membubarkan partai Masyumi, sebuah partai yang merupakan corong umat islam untuk menyampaikan aspirasinya.
Hingga berakhirnya rezim soekarno dengan konsep Nasakomnya aspirasi perpolitikan umat islam serta tekat mereka untuk menjadikan syari’at islam sebagai dasar negara tidak terjaring dengan baik. Sampai naiknya Jendral Soeharto sebagai presiden Indonesia yang sebelumnya di warnai dengan kudeta dan pertikaian berdarah, umat islam memiliki cita cita untuk kembali memperjuangakn aspirasi politiknya.
Terlebih lagi, pada awal orde baru, pemerintah dan umat islam bekerja sama dengan sangat baik untuk melenyapkan ideology komunisme dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dari hubungan dan kerjasama yang baik itu, tokoh tokoh umat islam seperti kembali membangun cita cita politik mereka dengan menuntut rehabilitasi partai Masyumi yang telah di bubarkan pada saat rezim soekarno.
Namun pertarungan ideology dan kepentingan politik kembali tidak dapat dihindarkan dalam hal ini. Sebuah kepentingan ideologi berbeda dapat bersatu jika mereka menghadapi musuh bersama, namun ketika musuh bersama itu telah berhasil di tumpas, perbedaan diantara kedua politik itu kembali muncul di permukaan, membawa kepentingan dan cita cita masing masing. Hal yang pernah terjadi di rezim sebelumnya kembali terjadi lagi di rezim yang baru. Soeharto, tentu saja dengan kroni kroninya, akhirnya juga menggunakan kekuatan kekuasaannya untuk meredam ide ide lain yang dia anggap berseberangan dengan ideologinya. Termasuk menolak berdirinya partai Masyumi serta mengekang permusi, sebuah partai baru yang didirikan untuk kembali menampung aspirasi umat islam. Disini kembali umat islam di khianati.
Dulu umat islam menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan serta mempertahankannya dari rongrongan penjajah, hingga akhirnya bangsa ini mampu menjadi bangsa yang merdeka dan bebas dalam menentukan arah perjalanannya. Namun dalam perjalanan itu, ketika benturan dengan penjajah berhasil di singkirkan, umat islam kembali terbentur dengan kepentingan kepentingan dan keputusan keputusan pemerintah orde lama sehingga cita cita mereka yang di bangun pada masa perjuangan terpaksa di tunda untuk diwujudkan. Ketika masa peralihan rezim, umat islam kembali menjadi garda terdepan dalam “menumpas” gerakan dan paham komunis yang pada waktu itu menggerogoti kehidupan berbangsa di Indonesia . Namun ketika cita cita itu kembali akan di wujudkan, kembali, sekali lagi, berbentur dengan kepentingan kepentingan pemerintah yang dengan kekuatannya menjadikan sejarah kembali berulang dan umat islam harus mengikhlaskan cita cita mereka untuk kembali tertunda.
Berkenaan dengan semua itu, dalam rangka memperingati hari pahlawan tanggal 10 November sebuah partai politik yang mengaku berasaskan islam, mengeluarkan sebuah iklan yang menampilkan para pahlawan dan guru bangsa. Dalam iklan itu, tokoh tokoh yang dalam sejarahnya merupakan sosok yang berseberangan dalam pemikiran dan kepentingan yang tercermin dari konsep yang diperjuangkannya, ditampilkan secara bersamaan. Memang merupakan hak setiap orang untuk menganggap siapa saja pahlawannya, namun dalam takaran public, sosok yang menjadi pahlawan itu bukanlah anggapan dari satu atau dua orang. Bisa jadi seseorang yang kita anggap pahlawan namun bagi orang lain dia adalah seorang pengkhianat.
Sebagai umat islam, kita harus meyakini bahwa wahyu Allah lah yang dapat dengan sangat baik mengatur kehidupan kita baik secara pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun dalam praktek di lapangan, semua ini tidak serta marta di pahami oleh semua pihak. Maka butuh perjuangan ekstra untuk menjadikan agama ini sesuai dengan fungsi yang semestinya. Dalam perjuangan itu tokoh tokoh umat ini, tanpa lelah memperjuangkannya yang sering kali berbenturan dengan kepentingan kepentingan figur lain yang memang memiliki ideology, buah pemikiran dan kepentingan yang berbeda.
Memang harus dipertanyakan mengapa sebuah corong aspirasi umat islam, baik itu partai maupun ormas, menjadikan seseorang yang dalam sejarahnya merupakan benturan terbesar umat islam dalam memperjuangkan aspirasi politiknya merupakan seorang pahlawan.
Sudah seharusnya umat ini tahu, siapakah sebenarnya pahlawan mereka, sehingga dapat mereka jadikan contoh atau tauladan untuk kembali dapat mengusung kembali cita cita mereka yang hingga kini dan entah sampai kapan masih tertunda. Agar umat ini kembali memperjuangkan cita cita yang dulu pernah diusung oleh tokoh tokoh umat yang kesemua itu demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Bagaimana seseorang itu dapat belajar dari sejarahnya, sedangkan sejarah itu kembali di kaburkan hanya demi kepentingan kepentingan politik semata. Atau memang politik memiliki norma norma dan metode tersendiri yang terlalu riskan dan terkesan lucu jika dijadikan sarana untuk sebuah pembelajaran. Wallahualam Bishawab.
Profil Penulis
Imanuddin Rahman, mahasiswa FMIPA UI. alamat, jl Rawapule No 24 kukusan beji, depok. Kalau ada kritikan dan saran atau “hal hal yang perlu dibenarkan“ bisa dikirim ke [email protected].