Pada pagi hari yang dingin, Februari, enam belas tahun yang lalu, seorang dokter Yahudi kelahiran Brooklyn, New York berumur 38 tahun datang mengenakan seragam tentara ke dekat masjid Ibrahim, Hebron, Palestina.
Ia menyamar menjadi komandan pasukan Israel yang berjaga di masjid dan lalu diizinkan masuk ke pelataran. Karena bulan itu adalah ramadhan, sekitar 500 muslim palestina memenuhi masjid. Setelah muadzin mendengungkan adzan, 500-an muslim palestina shalat shubuh dalam syahdu, tanpa mengetahui bahwa bagi sebagian mereka, ini adalah shalat shubuh yang terakhir.
Ketika jamaah sedang khusyu itulah, Goldstein – seorang Yahudi fanatik pengikut ajaran rabi Kahane, mengendap ke dalam masjid. Goldstein, yang tak tahan dengan sikap pemerintah yahudi di jerusalam dan menentang perdamaian dengan PLO kala itu, menggenggam senapan mesin di tangannya.
Dengan hanya beberapa puluh senti dekatnya, ia menembak, menembak dan menembak, sampai tiga hower peluru, ke saf-saf jamaah itu, lalu melemparkan tiga biji granat ke barisan muslim Palestina yang tanpa bisa membalas atau mempertahankan diri. Darah menggenang di sajadah, tilawah imam terhenti dan mayat para syuhada bergelimpangan.
Hingga akhirnya seorang menghantam kepala Goldstein dengan alat pemadam kebakaran –satu-satunya senjata yang dipunyai orang palestina di masjid itu. 54 muslim palestina syahid, dan Goldstein mengakhiri riwayat kekejamannya dengan kehinaan.
Namun apakah cerita berhenti sampai disini? Tentu saja tidak.
Sesaat setelah itu, di kantornya di Jerusalem, Perdana Menteri Rabin membela kehormatan Israel dengan menyebut Goldstein “sakit jiwa” dan merupakan sebuah hal yang dimaklumi bagi seorang yang terkena gejala psikopatologis melakukan hal itu.
Lalu tiga hari setelahnya, seseorang rabi berpidato dalam upacara penguburan mayat Baruch Goldstein yang dihadiri rekan-rekannya dengan hormat, sambil berapi api dalam pidato itu Sang Rabi mengatakan “Sejuta orang Arab tak seberharga sepotong kuku jari tangan orang Yahudi”
Mungkin kita menganggap ini sebagai kekonyolan yang jarang terjadi. “Hanya sekali-kali saja…” mungkin begitu. Baiklah. Anda benar jika anda mencoba menutup mata dari kenyataan yang hadir berhari-hari setelahnya, mengiringi perjalanan Palestina –sampai pembantaian di Gaza akhir tahun lalu, sampai pembantaian kapal Mavi Marmara akhir bulan lalu, dan mungkin yang juga masih terjadi hari ini, besok, lusa. Anda benar jika menutup mata dari itu semua. Namun apakah anda memang benar?
Kenyataannya, Anda salah, dan hati memang tidak pernah berbohong! Palestina, dan segala benang kusut pembantaian yang melibatkan muslim sebagai korban, adalah bagian dari Derita Besar Islam yang ditulis Karen Armstrong dalam bukunya* sebagai Islam hari ini yang “menjadi bahan cemoohan dunia”.
Islam tertinggal ratusan tahun, dengan peradaban, teknologi, politik, yang berada di belakang, yang hanya mengekor, yang hanya menjadi penikmat –bagi mereka yang bisa menikmati, atau tertindas –bagi yang mencoba melawan. Miris! Dunia Islam bahkan tidak akur, terpecah belah. Di saat Muslim Palestina dibantai, muslim di Dubai pergi ke Diskotek. (dan apa pula yang dilakukan muslim di Jakarta, atau sudut kota kita?).
Dunia Islam dipaksa mengakui, bahwa Yahudi memiliki saham di hampir semua perusahaan besar multinasional. Mereka menyetir politik dunia, mengatur perdagangan, mempengaruhi dunia dengan produk budaya, dan bermain-main dengan teknologi. Mereka menciptakan peradaban barat modern hari ini.
Maka menjadi mustahil bagi siapapun menginterupsi mereka, bahkan bagi pemerintah negara besar dengan rakyat muslim terbesar di dunia –indonesia. Ini adalah hak bagi pemenang, dan Palestina adalah konsekuensi bagi yang kalah. Begitu mungkin bunyi logika yang bermain.
Palestina mungkin hanya tamsil, tentang dunia hari ini yang timpang. Ia seperti air bah yang memberi tahu kita bahwa ada ketidakberesan di pangkal bendungan. Jika memang ada pemenang dunia, seharusnya ia berlaku seperti Umar, ketika seribuan tahun yang lalu mengetuk pintu Jerusalem bersahaja dan mendatangi masjid Al Aqsho, membersihkannya dari sampah-sampah dengan tangannya sendiri, tanpa ada darah, tanpa ada perang.
Atau seperti Saladin, yang masuk Palestina bersama ribuan pasukan dengan pedang tersarung. Atau seperti Muhammad yang masuk Makkah pada hari dimana sebelumnya ia dicaci maki, namun hari itu ia tersenyum dan memberi maaf.
Namun, ah, kita memang belum menjadi pemenang. Pada akhirnya kita sendiri yang memilih, apa langkah kita, apa yang kita lakukan dengan tamsil itu. Apakah mengambil pelajaran, memendam kegelisahan, mengucap doa lalu bertindak –belajar giat, mencoba menguasai apapun yang menjadi pekerjaan kita, dan mencoba menjadi yang terbaik.
Atau malah menjadi bagian dari ketidakadilan itu –mencurangi nurani, mencoba membunuh kegelisahan untuk sebatas membuat kondisi sekitar kita terasa aman saja. Atau mengalihkannya dengan kegelisahan lain, seperti : berita pornografi dua artis dan hingar bingar pesta bola. Ah sudahlah. Silahkan pilih sendiri! (fathnan)
*) Islam : The Short History, Bab 5
Profil Penulis:
Ashif Aminulloh Fathnan, Mahasiswa Fakultas Teknik Elektro UGM, E-mail: [email protected]