Peristiwa Isra Mikraj sesungguhnya sarat makna. Peristiwa ini tidak boleh direnungkan sebagai peristiwa tersendiri yang terpisah dengan rangkaian sirah Rasulullah. Ia harus direnungkan sebagai satu kesatuan dengan sirah Rasul saw.
Peristiwa Isra Mikraj terjadi setelah Rasul saw. bersama para sahabat beliau telah menempuh waktu sebelas tahun perjalanan dakwah dalam menyerukan Islam ke tengah-tengah masyarakat.
Pada tiga tahun pertama kenabian, Rasul saw. membina para sahabat agar memiliki kepribadian islami dan keimanan yang kokoh, mampu memikul beban dakwah, dan sanggup mengorbankan apapun untuk menyerukan Islam dan menjadikannya sebagai sistem yang mengatur kehidupan umat manusia.
Tahun-tahun berikutnya, beliau bersama para sahabat berinteraksi di tengah-tengah masyarakat dengan membawa risalah agung ini, Islam. Beliau melakukan pergolakan pemikiran dengan menyerang akidah dan pemikiran rusak seraya menjelaskan kerusakan dan keburukannya, kemudian menjelaskan akidah Islam yang lurus dan jernih sekaligus manusiawi. Beliau mendorong umat agar mengambil akidah dan pemikiran Islam itu sebagai solusi bagi semua permasalahan kehidupan mereka.
Beliau melakukan perjuangan politik dengan menentang segala bentuk penjajahan, kezaliman para penguasa, serta kekufuran sistem mereka. Beliau menyingkap kejahatan, makar, dan tipudaya busuk mereka. Beliau menjelaskan kepada umat hakikat para penguasa yang justru mengekploitasi umat demi keuntungan dan kebanggaan sendiri.
Hanya karena berdakwahlah beliau para sahabat mendapat siksaan dengan segala macam bentuknya. Mereka disiksa, dipukuli, dijemur di bawah terik matahari, dilempari batu dan kotoran ternak. Di antara mereka bahkan ada yang meninggal karena siksaan. Beliau juga berhadapan dengan propaganda buruk, kampanye hitam, dan pembunuhan karakter. Beliau dicap sebagai dukun, orang gila, atau tukang sihir. Risalah Islam dicap sebagai syair masa lalu dan jiplakan dari perkataan seorang Nasrani.
Kehidupan mereka dipersempit. Lapangan pekerjaan mereka dipersulit. Perdagangan mereka dirusak. Harta kekayaan mereka dirampas. Beliau bersama kaum Muslim dan kerabat dekat beliau dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib bahkan diboikot; mereka tidak bisa berjual beli, tidak disapa dan sapaan mereka tidak dijawab; tidak dinikahi dan tidak bisa menikahi. Persediaan bahan makanan menjadi sangat sulit dan kalaparan luar biasa mendera mereka. Bahkan tulang unta harus mereka rebus menjadi bubur untuk sekadar mengganjal perut.
Berbagai penderitaan dan siksaan itu dijalani oleh beliau dan para sahabat dengan penuh kesabaran. Sebab, itulah yang diperintahkan Allah SWT:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلاَ تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ
Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari golongan para rasul dan janganlah trergesa-gesa atas mereka. (QS al-Ahqaf [46]: 35).
Beliau dan para sahabat terus melanjutkan perjuangan dengan penuh kesabaran dan keyakinan, bahwa suatu waktu pertolongan Allah pasti datang. Beliau tetap istiqamah dan tidak kepincut untuk bersikap pragmatis meskipun penderitaan dan siksaan terus mendera. Bahkan beliau menolak berbagai tawaran Quraisy yang sangat menggiurkan.
Beliau pun menolak berkompromi. Tawaran Quraisy untuk menjadi orang paling kaya, menjadi raja, tanpa persetujuannya Quraisy tidak akan melakukan apapun, dan dijamin kesehatannya, beliau tolak.
Beliau tidak bersiasat—atas nama ‘strategi’ dakwah—menerima tawaran itu dan menggunakannya untuk menerapkan Islam. Pertanyaan, apakah Islam laku dijual ke masyarakat atau tidak, juga tidak pernah menjadi pertimbangan beliau. Beliau terus meningkatkan intensitas seruan dan perjuangannya meskipun beliau sangat paham, bahwa siksaan dan penderitaan akan semakin keras menimpa beliau dan para sahabat.
Begitu lepas dari pemboikotan, paman beliau, Abu Thalib, meninggal. Dua atau tiga bulan kemudian istri beliau, Khadijah, yang selama ini menjadi penunjang semangat dan dana bagi dakwah beliau, juga wafat. Hal ini menyebabkan Rasul sangat berduka. Di tengah-tengah kedukaan ini, siksaan dan perilaku buruk kaum Quraisy terhadap beliau dan para sahabat justru bertambah kuat dan ganas.
Setelah itu, beliau diperintah Allah untuk menawarkan diri kepada kabilah-kabilah Arab lain. Hal itu beliau awali dengan pergi ke Bani Tsaqif di Thaif. Beliau mendapat jawaban yang buruk. Beliau diusir dan dilempari batu oleh orang awam dan anak-anak Thaif akibat hasutan pemuka mereka sampai beliau berdarah.
Sepulang dari Thaif, beliau melanjutkan upaya mencari nushrah (pertolongan) dengan mendatangi kabilah-kabilah Arab, yaitu Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Bani Hanifah, Bani Muharib bin Khashafah, Bani Fazarah, Bani Ghassan, Bani Murrah, Bani Sulaim, Bani ‘Abs, Bani Nadhar, Bani al-Baka’, Bani Kindah, Bani Kalb, Bani al-Harits bin Ka’ab, Bani Udzrah, Bani Hadhramah, Bani Syaiban, dan Bani Hamdan. Namun, semuanya tidak memenuhi seruan Rasul.
Semua itu menjadikan beliau merasa sangat sempit. Beliau memandang, bahwa dakwah beliau sampai saat itu masih terhenti pada orang-orang yang mengikuti beliau saja, sementara tidak ada harapan keislaman dari Quraisy. Sikap Quraisy malah semakin bengis dan ganas. Pada saat yang sama, kabilah selain Quraisy menolak seruan beliau, dan hanya menonton apa yang dilakukan Quraisy kepada beliau dan para sahabat.
Sekalipun demikian, beliau dan para sahabat tetap istiqamah berdakwah; tidak menyimpang sedikitpun; tidak bersikap pragmatis; tidak pernah tergiur mencari solusi, ide, dan sistem selain Islam.
Dalam kondisi inilah Allah menghendaki untuk meng-Isra Mikraj-kan beliau dalam rangka menunjukkan kepada beliau tanda-tanda kekuasaan-Nya:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Mahasuci Allah Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS al-Isra’ [17]:1).
Peristiwa Isra Mikraj ini menjadi berita gembira yang membesarkan hati Rasul dan kaum Muslim. Di dalamnya, selain diturunkan kewajiban shalat lima waktu, juga sarat dengan isyarat Allah, bahwa tidak lama lagi pertolongan (nushrah) Allah akan datang; bahwa sudah datang saatnya umat Islam memegang kendali atas dunia.
Sesudah peristiwa ini, benih pertolongan segera datang ketika enam orang penduduk Yatsrib masuk Islam, lalu mendakwahkan Islam di Madinah. Setahun berikutnya, sejumlah 12 orang Madinah datang dan melaksanakan Baiat Aqabah I. Mereka kembali disertai Mush’ab bin Umair untuk bersama-sama mereka mendakwahkan Islam di Madinah.
Setahun berikutnya, sebanyak 75 orang dari mereka, sebagai wakil penduduk Madinah, datang berhaji dan melaksanakan Baiat Aqabah II, baiat penyerahan kekuasaan kepada Rasul saw. Tiga bulan kemudian beliau hijrah ke Madinah dan berdirilah Negara Islam, yang selanjutnya meluas dan menjadi negara super power, yang menebarkan rahmat dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia.
Renungan untuk Masa Sekarang
Umat Islam sekarang mengalami berbagai macam kesulitan. Umat terperangkap dalam kemunduran dan keterpurukan. Mereka juga diekpsloitasi dan dizalimi. Para aktivias dakwah banyak yang diawasi, disiksa secara fisik, dipersempit kehidupannya, dipotong sumber penghidupannya, dipenjarakan, diasingkan, dan lain-lain.
Dari luar, umat ini selalu ditekan dan dijajah; dituduh sebagai teroris, sumber kerusakan, tidak beradab, barbar, anti kemajuan, dan sebagainya. Kondisi ini tidak berbeda dengan kondisi Rasul dan para sahabat pada masa lalu.
Menghadapi semua itu, tidak lain kita harus mencontoh Rasul dan para sahabat dengan mengambil sikap yang sama dengan sikap mereka. Sikap itulah yang akan mengundang datangnya pertolongan Allah.
Oleh karena itu, kita harus mengambil Islam sekaligus menyerukannya kepada masyarakat agar mereka menerapkannya sebagai sistem aturan yang mengatur kehidupan. Kita harus tetap berpegang teguh dengan metode Islam; tidak menoleh ke metode, ide, aturan, solusi dan sistem aturan selain Islam. Kita harus membuang semua yang tidak berasal dari Islam.
Kita tidak boleh bersikap pragmatis, sebagaimana Rasul tidak pernah bersikap pragmatis, baik dengan alasan ‘strategi’, ‘kemaslahatan’, atau alasan apapun. Sebaliknya, beliau tetap istiqamah serta terus menyerukan dan memperjuangkan Islam.
Kita harus menolak solusi dan penerapan sistem Islam secara parsial, sebagaimana Rasul menolak penerapan Islam secara parsial yang ditawarkan Quraisy.
Kita juga tidak boleh tertipu oleh pertimbangan apakah seruan Islam dan syariatnya ini laku dijual ke masyarakat atau tidak, sebagaimana pertimbangan itu tidak pernah terlintas dalam benak Rasul. Sebaliknya, kita harus meningkatkan intensitas dan kualitas seruan Islam. Hal itu didasarkan pada keyakinan bahwa sistem Islam buatan Allah ini adalah sangat sesuai dengan semua masyarakat, kondisi, dan waktu.
Keyakinan mengharuskan kita untuk membuang nasionalisme, liberalisme, sosialisme, kapitalisme, demokrasi, HAM, serta semua ide dan sistem selain Islam. Kita harus istiqamah dan berpegang teguh dengan Islam. Kita hanya mengambil Islam secara keseluruhan.
Hendaklah kita selalu ingat akan peringatan Allah SWT:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah (ketentuan) Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS an-Nur [24]: 63).
Hendaklah kita terus melanjutkan dakwah dan perjuangan ini dengan penuh kesabaran, keistiqamahan, dan keyakinan. Kita harus yakin, satu waktu pertolongan Allah pasti datang sebagaimana yang dijanjikan-Nya:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan akan menukar keadaan mereka—sesudah mereka berada dalam ketakutan—dengan rasa aman. (QS an-Nur [24]: 55).
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []
Arief B. Iskandar, Redaktur Majalah Al-Wa’ie