Mukadimah
Bulan Ramadhan adalah bulan turunnya al-Quran. Dalilnya adalah firman Allah SWT berikut:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةُ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada malam Lailatul Qadar (QS al-Qadar [1]: ).
Al-Quran tentu merupakan sesuatu yang sangat sakral (suci) sekaligus agung. Kesucian dan keagungan al-Quran didasarkan pada kenyataan bahwa ia merupakan firman Allah (kalamullah), Tuhan Pencipta manusia dan seluruh alam ini. Ia tidak bisa dibandingkan dengan ‘kalam’ manusia, betapapun tingginya kualitas ‘kalam’ manusia itu, dan betapapun ia berasal dari manusia yang paling agung sekalipun. Kenyataan ini sangat disadari oleh generasi Muslim awal, baik dari kalangan para sahabat, tâbi‘în, maupun tâbi‘ at-tâbi‘în.
Namun, tampaknya tidak demikian dengan saat ini. Bahkan di tengah Peringatan Nuzulul Quran seperti saat ini, banyak kaum Muslim bukan saja abai dan tak hirau terhadap kalam Allah itu, di antara mereka bahkan banyak yang memperlakukan al-Quran tak lebih seperti layaknya buku-buku lain, yang layak dikritisi bahkan digugat sekalipun. Pada gilirannya, upaya desakralisasi al-Quran saat ini tampaknya sudah menjadi gejala yang cukup meluas di kalangan kaum Muslim.
Tulisan ini sekadar ingin mengungkap fakta lebih jauh tentang bagaimana kaum Muslim saat ini berinteraksi dengan—sekaligus—memperlakukan al-Quran, sebagai kitab suci yang sakral dan agung.
Fakta-fakta Desakralisasi al-Quran
Jika kita cermati, gejala desakralisasi al-Quran banyak dilakukan kaum Muslim—baik secara sadar ataupun tidak—dari berbagai level. Pertama, pada level masyarakat Muslim yang awam (kebanyakan), baik di kalangan bawah maupun kalangan menengah, kita sudah lama menyaksikan bagaimana al-Quran sekadar disimpan di rak-rak buku tanpa pernah dibaca, apalagi dikaji isinya; apalagi diamalkan dalam realitas kehidupan.
Masyarakat lebih tertarik dan bersemangat untuk membaca koran atau rajin menonton TV, misalnya, ketimbang membaca al-Quran. Kalaupun dibaca, biasanya sekadar pada bulan Ramadhan. Karena jarang dibaca, otomatis al-Quran pun jarang dikaji isinya.
Masyarakat kita tampaknya lebih bersemangat mengkaji buku-buku ilmiah ketimbang mengkaji isi al-Quran. Karena jarang dikaji, otomatis pula al-Quran pun jarang diamalkan isinya. Lalu bagaimana al-Quran bisa diamalkan jika tidak dipahami akibat jarang atau bahkan tidak pernah dikaji isinya? Wajar jika kemudian mereka, misalnya, lebih gandrung dengan apa yang dipropagandakan oleh koran atau TV, yang notabene lebih banyak mengusung gagasan-gagasan atau pesan-pesan yang bersumber dari akidah sekularisme ketimbang gagasan-gagasan yang berasal dari al-Quran.
Dalam tataran pemikiran, hal ini dapat dibuktikan dengan penerimaan sebagian besar masyarakat yang lebih gandrung dengan demokrasi, HAM, kebebasan, emansipasi, nasionalisme, patriotisme, dll ketimbang gagasan-gagasan dan pesan-pesan Islam seperti penerapan syariah Islam secara total. Dalam tataran kehidupan praktis, hal ini dapat diindikasikan dengan gandrungnya sebagian besar masyarakat terhadap gaya hidup Barat yang cenderung bebas dan permissif. Kaum wanita Muslim, misalnya, banyak yang lebih suka berpakaian ala Barat yang mempertontonkan sebagian (bahkan sebagian besar) auratnya ketimbang menutup auratnya dan berjilbab.
Kedua, pada level kaum intelektual Muslim, kita juga menyaksikan bagaimana al-Quran diperlakukan secara ‘semena-mena’; sesekali dikritisi, bahkan tak jarang digugat—meskipun tentu tidak secara terang-terangan alias dibungkus dengan berbagai istilah dan jargon, seperti ‘reaktualisasi’ ataupun ‘reinterpretasi’ al-Quran.
Munculnya sikap ‘kritis’ terhadap al-Quran tidak lain karena didasarkan pada praanggapan bahwa al-Quran—meskipun dipandang suci—hakikatnya adalah kumpulan teks, yang sama dengan teks-teks lain. Nashr Hamid Abu Zayd, misalnya, dalam Mafhûm an-Nash; Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân, secara tegas menyatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks. Artinya, perlu adanya penakwilan dan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai kemanusiaan.
Sebab, yang berkembang selama ini hanya penafsiran yang mengunggulkan aspek transendensi dan sakralitas, tetapi mengenyampingkan aspek sosiologis yang menyapa realitas kemanusian dengan santun dan elegan.
Seolah memberikan penegasan, Burhanudin (2003) dalam artikelnya, “Membangun Pluralitas Alquran,” mengatakan, “Dalam studi tentang teks, kita mengenal tiga teori besar: dunia penulis (the world of the author), dunia pembaca (the world of the reader) dan dunia teks sendiri (the world of the text). Ketika teks “dibakukan” dalam bentuk buku, misalnya, ia akan melepaskan diri dari “jeratan” penulisnya. Ia akan bebas melanglangbuana sesuai dengan kehendaknya sendiri. Alquran adalah sebuah teks yang kaya akan simbol dan metafor, dan karenanya menjadi multiinterpretasi. (Islamlibcom).
Hal yang sama dilakukan oleh Taufik Adnan Kamal (2001), juga salah seorang kontributor JIL (yang memang rajin mengkritisi al-Quran) yang pernah menulis artikel dengan judul, “Alquran Edisi Kritis” (JIL, 28/10/2001), meskipun yang dipersoalkan bukan ‘isi’-nya, tetapi lebih pada aspek penulisan al-Quran, di samping juga aspek historisitasnya. Ia, misalnya, mengganggap sejarah pengumpulan al-Quran lebih banyak mitosnya ketimbang sebagai sebuah realitas; demikian juga berkaitan dengan stabilitas teks al-Quran. (Taufik Adnan Kamal, “Al-Quran Antara Fakta dan Fiksi,” (Islamlibcom).
Dalam artikelnya, “Membongkar Teks Ambigu,” Sumanto al-Qurthubi (2003) juga mengatakan bahwa teks-teks agama dalam tradisi Islam, Kristen dan Yahudi di atas harus didekonstruksi dengan menggunakan pendekatan sosio-historis. Pendekatan “sosio-historis” ini menuntut setiap umat untuk menanggalkan sejumlah asumsi yang selama ini mempengaruhi kognisi kolektif umat. Premis dasar yang dimaksud adalah keyakinan bahwa “Kitab Suci”-nya (Alkitab atau Alquran) sebagai “firman Tuhan” yang bersifat supra-historis, firman yang “mengatasi” sejarah. Jika keyakinan ini belum bisa dilepaskan, maka upaya membongkar dimensi historisitas Alkitab dan Alquran menjadi sia-sia. Dengan pendekatan kesejarahan ini pula, kita akan tahu bahwa teks yang kini disucikan oleh umat itu sebetulnya bersifat profan, tidak sakral, temporal, bukan permanen. Ada proses historis yang begitu panjang dan rumit sehingga teks ini pada akhirnya menjadi semacam “scientia sacra” yang disucikan dan dimitoskan. (Islamlib.com).
Sebagai contoh, menurut mereka, ketika Islam menyatakan, bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, itu hanya cocok untuk komunitas Arab yang dulu kaum perempuannya memang sangat bergantung pada laki-laki. Jilbab juga demikian; hanya pas diterapkan atas masyarakat yang tingkat penghargaannya kepada perempuan masih sangat rendah sebagaimana halnya masyarakat Arab dulu. Demikian seterusnya.
Di kalangan mereka, juga ada yang menyatakan, bahwa al-Quran merupakan kitab suci yang terbuka bagi siapapun yang ingin menginterpretasikannya; bahwa al-Quran yang kita miliki sekarang tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bisa diterima begitu saja, karena itu memang belum final, tidak pernah final, dan mungkin tidak perlu final. Oleh karena itu, masyarakat harus dibebaskan untuk menafsirkan al-Quran.
Prinsip inilah yang sebenarnya mendasari anggapan, bahwa al-Quran harus direkonstruksi secara terus-menerus berdasarkan rasionalitas manusia agar bisa terus mengikuti perubahan zaman.
Pada akhirnya, di antara mereka bahkan ada yang menyatakan bahwa tidak ada metode tafsir yang benar-benar obyektif, penafsiran al-Quran tidak pernah final, tafsir-tafsir yang ada terlampau atomistik, kitab suci ini terkungkung oleh kultur Arab abad ke-7 sehingga harus dibaca dari sisi ‘konteksnya’, bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran—seperti halnya bahasa-bahasa lain—memiliki keterbatasan selain konteks kultural tertentu, sehingga pada titik tertentu bisa dikatakan membatasi konteks keuniversalan al-Quran, dan sebagainya.
Dalam tataran konsep, sebagai sumber hukum dan legislasi Islam, al-Quran juga sering dijadikan ‘bulan-bulanan’. Dengan nada halus, Fazlur Rahman pernah menyatakan bahwa semangat atau elan vital al-Quran adalah semangat moral. Hukum moral adalah abadi, ia adalah hukum Allah. Al-Quran terutama sekali adalah prinsip-prinsip dan seruan-seruan keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen legal. Karenanya, keabadian kandungan legal spesifik al-Quran terletak pada prinsip-prinsip moral yang mendasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan harfiahnya.
Dalam bukunya, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Masdar F. Mas’udi juga mengembangkan gagasan bahwa kesempurnaan al-Quran bukan terletak pada tataran teknis—yang bersifat detail, rinci, dan juz’iyyah—dan operasionalnya, melainkan pada tataran prinsipil dan fundamental. Ajaran-ajaran prinsipil yang dimaksud dalam al-Quran adalah ajaran spiritualitas dan moral, ajaran tentang mana yang baik dan mana yang buruk.
Menurutnya, kita tidak bisa membayangkan kesempurnaan al-Quran itu dibuktikan dari kemampuannya dalam menjawab semua persoalan juz’iyyah (partikular), apalagi yang bersifat teknis operasional, karena penjelasan moral atau etik yang tersedia dalam al-Quran tidak selalu bersifat terapan pada semua kasus etik yang terjadi dalam kehidupan kita.
Masdar kemudian menegaskan, bahwa ajaran yang bersifat universal dan mampu mengatasi dimensi ruang dan waktu itulah yang disebut muhkamah atau qath‘î (pasti/tegas), sedangkan ajaran yang bersifat juz’iyyah (partikular dan teknis operasional) yang terkait ruang dan waktu disebutnya sebagai mutasyâbihah atau zhannî (tidak pasti/tidak tegas). Masdar lebih jauh memaparkan, bahwa zhannî secara harfiah berarti persangkaan atau hipotesis, yaitu ajaran petunjuk agama (al-Quran dan Hadis Nabi saw.) yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang muhkamah/qath‘î.
Ajaran ini, menurutnya, tidak mengandung kebenaran atau kebijakan pada dirinya serta terikat oleh ruang dan waktu, situasi, dan kondisi. Contoh-contohnya adalah sistem pemerintahan, hukum potong tangan, hukuman rajam, prosentase pembagian waris, monopoli hak talak pada suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan lain-lain.
Nadirsyah Hosen (2003), salah seorang kontributor Jaringan Islam Liberal (JIL), juga pernah menyatakan, “Klaim kesempurnaan syariah Islam juga menimbulkan paradoks. Jika benar segala sesuatu telah terdapat dalam syariah Islam, maka bagaimana kita meletakkan ijtihad dalam masalah ini? Ijtihad justru diperlukan karena syariah Islam tidaklah "sempurna". Masih banyak problematika umat yang tidak diatur secara tegas, pasti, dan jelas dalam al-Quran dan Hadis.
Di sinilah perlunya kreativitas umat untuk memanfaatkan potensi akalnya….Syariah Islam sesungguhnya hanya mengatur hal-hal yang pokok semata (ushûliyah) dan selebihnya adalah penafsiran, termasuk penafsiran yang lebih kontekstual, humanis, plural, dan liberal.” (Islamlib.com).
Secara lebih tegas, Khoirul Muqtafa (2003), dalam artikelnya, “Menafsir Teks secara Kritis,” menyatakan bahwa desakralisasi sebagai cara pandang terhadap teks maupun pemikiran keagamaan layak dikedepankan sebagai upaya mendobrak sakralisasi (al-taqdis) yang sekian lama menghegemoni kesadaran umat beragama. (Islamlib.com).
Sementara itu, dalam tataran implementasi dan praktis, banyak sikap miring terhadap kelayakan al-Quran sebagai sumber legislasi jika secara legal-formal diterapkan, baik yang sangat meragukan atau bahkan menolak sama sekali maupun yang setengah hati menerimanya.
Pihak yang sangat meragukan atau bahkan menolak sama sekali, misalnya, berpendapat bahwa pemberlakuan hukum-hukum al-Quran (syariah Islam) akan mengancam kebebasan atau HAM golongan tertentu. Ini, paling tidak diwakili, oleh Muslim Abdurrahman ketika ia menyatakan bahwa, “Korban pertama dari penerapan syariah adalah perempuan.” (Lihat tulisan Dr. Muslim Abdurrahman dalam Seri Islam Liberal, Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jaringan Islam Liberal, Jakarta, 2002, hlm. 121).
Sikap yang kurang lebih sama juga bisa kita lihat baru-baru ini ketika sejumlah kalangan mempersoalkan pasal delik zina hanya karena pasal itu dianggap berbau Islam dan terlalu mencampuri urusan pribadi.
Ada juga kalangan yang setengah hati menerima (hukum-hukum) al-Quran. Boleh jadi karena pemahaman kalangan ini terhadap al-Quran sepotong-sepotong, tidak utuh. Contohnya adalah kalangan yang pro penerapan syariah Islam, tetapi tetap dalam koridor negara sekular, misalnya melalui otonomi daerah, sebagaimana yang terjadi di Aceh dan beberapa daerah lain; itu pun hanya sebagian kecil, biasanya hanya menyangkut hukum-hukum privat, atau paling banter sebagian hukum hudûd.
Ketiga, pada level penguasa, upaya desakralisasi al-Quran sesungguhnya lebih kentara lagi. Bagaimana tidak? Selama ini, al-Quran nyaris tidak dilirik, bahkan cenderung dicampakkan.
Enggannya penguasa untuk menerapkan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran dan malah lebih rela melakukan legislasi hukum warisan bangsa penjajah adalah bukti nyata dari tindakan mereka melakukan desakralisasi al-Quran dan sebaliknya mensakralkan hukum-hukum warisan kolonial Barat. Bahkan, yang lebih tragis, pejuang syariah Islam diperlakukan oleh penguasa—secara langsung ataupun karena tekanan Barat (baca: AS) sebagai teroris, atau paling tidak, sebagai ancaman; seolah-olah memperjuangkan tegaknya syariah Islam lebih jahat daripada tindakan kriminal seperti korupsi, misalnya.
Akar Persoalan
Mengapa gejala desakralisasi al-Quran demikian marak dan nyaris merata dalam berbagai level? Tidak lain karena gagasan-gagasan yang bersumber dari ideologi kapitalisme-sekular telah demikian menguasai benak kaum Muslim dari berbagai level.
Pada level masyarakat kebanyakan, Islam telah lama dikenalkan hanya sebagai agama ritual dan spiritual belaka, terutama di dunia pendidikan sejak level dasar hingga level perguruan tinggi. ‘Islam politik’ atau ‘Islam ideologi’, bukan saja kalah pamor ketimbang ‘Islam ritual’ dan ‘Islam spiritual’, tetapi juga cenderung dijauhkan dan bahkan dicurigai.
Di sisi lain, ide-ide turunan sekularisme seperti pasca modernisme yang menjadikan relativisme dan pluralisme sebagai paradigma berpikir telah berpengaruh dalam cara berpikir sebagian kalangan intelektual Muslim modernis-liberalis yang telah ter-Barat-kan.
Dengan ide-ide tersebut mereka memustahilkan adanya kebenaran absolut, termasuk dalam agama Islam sekalipun. Karena itu, wajar jika mereka intens menyerukan upaya desakralisasi al-Quran maupun al-Hadits. Bagi mereka, siapapun layak mengeksplorasi gagasan-gagasan al-Quran dan Hadis Nabi saw. berdasarkan perspektif yang diinginkannya.
Pada level penguasa, kita melihat bahwa mereka lebih banyak bergantung dan cenderung mengabdi pada kepentingan Barat ketimbang pada kemaslahatan umat. Sikap islamophobia di kalangan penguasa tentu saja tidak lepas dari tekanan negara-negara Barat. Keberpihakan mereka dalam perang melawan terorisme yang dicetuskan AS belakangan ini, yang pada dasarnya perang melawan kaum Muslim (termasuk para pejuang syariah) adalah salah satu indikasinya.
Khatimah
Mencermati fakta-fakta di atas, kita akan mudah menyimpulkan, bahwa gejala desakralisasi al-Quran sebetulnya telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan. Memang, secara fisik, orang masih mensakralkan al-Quran, bahkan pada kalangan tertentu al-Quran tidak jarang dijadikan ajimat. Akan tetapi, kandungan al-Quran sudah banyak diabaikan, dan tidak jarang berusaha disingkirkan. Itulah yang dapat kita simpulkan dari uraian di atas.
Walhasil, ideologi kapitalisme-sekular memang sudah saatnya dicabut hingga ke akar-akarnya—apalagi sudah terbukti bahwa ia telah banyak menimbulkan banyak hal destruktif bagi Islam dan kaum Muslim—untuk kemudian digantikan dengan Islam.
‘Alâ kulli hâl, sebagai penutup, marilah kita merenungkan kembali firman Allah Swt.:
]الم .ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ[
Ali lâm mîm. Kitab ini (al-Quran), tidak mengandung sesuatu yang meragukan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 1-2).
Wamâ tawfîqî illâ billâh. []
Arief B. Iskandar, Redaktur Majalah Al-Wa’ie