Alhamdulillah, sudah selayaknya kita banyak bersyukur kepada Allah SWT, karena kita telah berhasil melewati hari-hari Ramadhan hingga memasuki bagian akhir bulan yang penuh berkah ini. Kini kita pun menyambut satu hari yang indah, Idul Fitri. Namun, kita pun sepatutnya banyak beristigfar, karena boleh jadi—meski ini jelas tidak kita harapkan—ibadah shaum pada hari-hari Ramadhan yang kita lewati itu tidak mengantarkan kita untuk meraih derajat takwa sebagai hikmah dari kewajiban puasa yang telah Allah titahkan kepada kita sepanjang bulan suci ini.
Karena itu, sejatinya kita banyak bertafakur dan melakukan muhâsabah (instrospeksi diri): Layakkah kita bergembira merayakan Idul Fitri, yang sering dimaknai sebagai ‘kembali ke fitrah’ dan juga sebagai ‘hari kemenangan’? Pertanyaan ini penting kita jawab dengan jujur, agar kita meninggalkan bulan Ramadhan ini tanpa kesia-siaan serta merayakan Idul Fitri nanti tanpa kehampaan.
Kembali ke Fitrah
Idul Fitri sering diterjemahkan sebagai ‘kembali ke fitrah’. Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia. (Jamaluddin al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463).
Karena itu, secara bahasa Idul Fitri bisa diterjemahkan sebagai ‘kembali ke naluri/pembawaan yang asli. Di antara naluri/pembawaan manusia yang asli adalah adanya naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada dirinya. Dengan naluri ini, setiap manusia pasti merasakan dirinya serba lemah, serba kurang dan serba tidak berdaya sehingga ia membutuhkan Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan.
Karena itulah, secara fitrah, manusia akan selalu membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar. Itulah Islam sebagai satu-satunya agama dari Allah, Tuhan yang sebenarnya. Konsekuensinya, sesuai dengan fitrahnya pula, manusia sejatinya senantiasa mendudukkan dirinya sebagai hamba di hadapan Tuhannya, Allah SWT, Pencipta manusia.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kembali ke fitrah—sebagai esensi dari Idul Fitri—adalah kembalinya manusia dalam kedudukannya sebagai seorang hamba di hadapan Allah sebagai Tuhannya. Menurut Imam Ja’far ash-Shadiq, seorang Muslim yang mengklaim sebagai hamba Allah, mesti menyadari bahwa: (1) apa yang ada pada dirinya bukanlah miliknya, tetapi milik Allah; (2) tunduk, patuh dan tidak pernah membantah setiap perintah Allah; (3) tidak membuat aturan sendiri kecuali aturan yang telah Allah tetapkan untuk dirinya.
Membuang Sekularisme: Wujud Kembali ke Fitrah
Dengan memaknai kembali ke fitrah sebagai ‘kembali pada kesadaran sejati sebagai seorang hamba’, sudah sepatutnya kaum Muslim yang ber-Idul Fitri membuang jauh-jauh sekularisme. Mengapa? Sebab, sekularisme justru menjauhkan diri manusia dalam kedudukannya sebagai seorang hamba Allah. Bahkan sekularisme menempatkan manusia sejajar dengan Tuhan. Pasalnya, sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang hanya mengakui Tuhan dari sisi eksistensi (keberadaan)-Nya saja, tidak mengakui otoritas (kewenangan)-Nya untuk mengatur manusia.
Dengan kata lain, sekularisme hanya mengakui keberadaan agama, tetapi menolak kewenangan agama untuk mengatur kehidupan. Dalam pandangan sekularisme, hak mengatur manusia atau hak membuat aturan bagi kehidupan manusia mutlak ada pada manusia itu sendiri, bukan pada Tuhan/agama. Hak ini kemudian mereka wujudkan dalam demokrasi, yang menempatkan kedaulatan manusia (kedaulatan rakyat) di atas kedaulatan Tuhan.
Dari sini lahirlah ideologi Kapitalisme, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Saat ini, justru Kapitalismelah—dan bukan Islam—yang diterapkan di tengah-tengah kehidupan umat Islam saat ini, termasuk di negeri ini.
Padahal fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, banyak kerusakan, dan banyak kekacauan. Itulah yang terjadi seperti saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada manusia (rakyat) melalui mekanisme demokrasi. Mahabenar Allah yang berfirman:
]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).
Karena itu, perayaan Idul Fitri—yang dimaknai sebagai kembali ke fitrah itu—sudah sepatutnya dijadikan momentum untuk membuang sekularisme karena memang menjauhkan manusia dari fitrahnya yang hakiki sebagai hamba Allah.
Hari Kemenangan
Idul Fitri juga sering disebut sebagai hari kemenangan. Artinya, kaum Muslim yang telah berhasil melaksanakan ibadah shaum selama Ramadhan dianggap sebagai kaum yang meraih kemenangan. Persoalannya, shaum seperti apa yang bisa mengantarkan kaum Muslim menjadi kaum yang menang? Tentu shaum yang berkualitas, sebagaimana yang dilakoni oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat.
Shaum Rasulullah saw. dan para Sahabat tidak hanya memberikan kemenangan kepada diri mereka secara individual dalam melawan hawa nafsu dan setan selama bulan Ramadhan, tetapi juga memberikan kemenangan kepada kaum Muslim secara kolektif dalam melawan musuh-musuh Islam. Mereka dan generasi gemilang sesudahnya, misalnya, justru sering mencatat prestasi yang gemilang pada bulan Ramadhan. Beberapa peperangan yang dimenangkan kaum Muslim seperti Perang Badar, Fath Makkah, atau Pembebasan Andalusia terjadi pada bulan Ramadhan.
Kemenangan Perang Badar telah memperkuat posisi kaum Muslim di dunia internasional saat itu, terutama di Jazirah Arab; bahwa negara baru yang dibangun kaum Muslim, Daulah Islam, adalah negara kuat yang tidak bisa disepelekan. Kondisi ini tentu memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara Daulah Islam.
Bandingkan dengan kondisi kaum Muslim saat ini. Negeri-negeri Islam terpecah-belah menjadi beberapa negara kecil yang lemah. Kondisi ini membuat musuh-musuh Allah dengan gampang dan sombong membantai dan membunuh kaum Muslim serta mengekspolitasi kekayaan alamnya dengan rakus; tanpa ada pelindung sama sekali.
Perang Badar juga secara internal telah membuat pihak-pihak di dalam negeri Daulah Islam—orang-orang Yahudi, musyrik dan munafik—takut untuk berbuat macam-macam terhadap Daulah Islam. Bandingkan dengan keberadaan orang-orang kafir dan antek-antek Barat saat-saat ini di Dunia Islam. Mereka berbuat makar dan kekejian seenaknya. Di negeri-negeri Islam, orang-orang kafir yang didukung oleh para penguasa yang menjadi antek-antek penjajah, membuat berbagai kebijakan yang merugikan rakyat.
Futûhât juga telah memberikan kebaikan yang luar biasa bagi umat manusia. Lewat futûhât ini dakwah Islam diterima dengan mudah oleh manusia. Futûhât ini juga telah menjadi jalan bagi diterapkannya syariah Islam di seluruh kawasan dunia. Lewat penerapan syariah Islam inilah seluruh warga negera Daulah Islam, baik Muslim maupun non-Muslim mendapat kebahagian, kesejahteraan, dan keamanan. Peradaban Islam pun kemudian menjadi peradaban unggul.
Karena itu, ada beberapa hal yang wajib kita teladani dari shaum generasi Sahabat ini. Pertama: para Sahabat tidak hanya melakukan tadarus al-Quran (baik di bulan Ramadhan maupun di luar itu), tetapi juga mengamalkannya. Sebab, para Sahabat memahami, bahwa membaca al-Quran adalah sunnah, sementara menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup mereka adalah wajib. Mereka sangat menyadari bahwa al-Quran harus menjadi dasar konstitusi kaum Muslim.
Kedua: para Sahabat tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang diharamkan oleh Allah. Tidak berdusta, tidak berbuat batil, tidak membuat kerusakan, dan tentu saja tidak berhukum pada selain hukum Allah Swt. Mereka tidak seperti kaum Muslim saat ini, yang justru masih berhukum pada perundang-undangan dan sistem kufur yang bersumber dari sekularisme.
Terakhir: para Sahabat telah nyata-nyata menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat. Tobat mereka adalah tawbah nasûhâ, tobat yang sebenar-benarnya. Cirinya: menyesali segala dosa yang dilakukan, tidak mengerjakannya lagi, dan beramal salih untuk menghapus dosa yang lalu.
Seharusnya saat ini pun kaum Muslim, yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat, tidak lagi melakukan maksiat meski Ramadhan telah berlalu. Maksiat terbesar yang harus segera ditinggalkan kaum Muslim saat ini adalah ketika mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan akibat ketiadaan Daulah Khilafah Islam di tengah-tengah mereka. Ketiadaan Daulah Khilafah juga berarti umat ini tidak memiliki pelindung dari musuh-musuh Allah.
Karena itu, dalam momentum Idul Fitri ini, yang berarti kembali ke fitrah, sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali menerapkan semua aturan-aturan Islam (syariah)—yang memang sesuai dengan fitrah manusia—dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya, sudah selayaknya kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan kufur yang berasal dari sekularisme, yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan umat manusia. Mahabenar Allah yang berfirman:
]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).
Karena itu, pada Hari Kemenangan ini, sudah sepatutnya pula kita berjanji kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslim untuk mengerahkan segenap upaya, secara damai, demi tegaknya Khilafah dan syariah Islam. Kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT agar menolong kita untuk mewujudkan hal ini sehingga kaum Muslim merasakan kegembiraan yang hakiki karena meraih kemenangan yang juga hakiki, sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya:
]وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ$بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ[
Pada hari (kemenangan) itu bergembiralah kaum Mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (QS ar-Rum [30]: 4-5).
Arief B Iskandar, Redaktur Majalah Al-Wa’ie