Kasus pembunuhan masih menjadi kejahatan yang paling sering terdengar di negeri ini. Bahkan, belakangan pembunuhan telah mengalami improvisasi berupa mutilasi. Tak jarang pula pembunuhan itu disertai perampokan, dan terkadang di’bumbui’ pemerkosaan. Sudah begitu banyak pembunuhan terjadi di negeri ini dengan berbagai latar belakang, sehingga bisa dikatakan setiap hari ada saja nyawa melayang karena penganiayaan oleh sesama manusia.
Berbagai factor jadi pemicunya, ada yang dibunuh oleh pembunuh bayaran, ada yang dirampok oleh mantan pembantunya, ada pula karena cinta ditolak pisau bertindak. Tapi muaranya satu, bahwa pembunuhan sangat gampang dilakukan dan banyak orang merasa pembunuhan adalah jalan paling aman menuntaskan sakit hati.
Di negeri yang menggunakan hukum manusia seperti Indonesia ini, hukum sangat terasa tidak berpihak kepada korban atau keluarganya. Mereka harus menanggung kesedihan karena ditinggal mati sanak saudara, yang bisa jadi adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Sementara pelaku, sudah aman tak bisa diganggu oleh siapapun, terutama keluarga korban yang mungkin ingin membalas dendam, sambil menunggu ketok palu hakim.
Dalam KUHP sebenarnya sebuah pembunuhan bisa saja dikenai hukuman mati. Tapi system hukuman yang berlaku dalam undang-undang yang dipakai di Indonesia ini menyatakan bahwa hukuman yang disebut dalam dictum UU adalah hukuman maksimal. Artinya, seorang hakim bisa saja menjatuhkan hukuman yang lebih ringan berdasarkan berbagai pertimbangan.
Akibatnya, tak jarang kasus pembunuhan disertai perampokan atau pemerkosaan hanya dijatuhi hukuman penjara. Ada yang seumur hidup, 20 tahun, 15 tahun, 10 tahun, 5 tahun, bahkan ada pula yang selesai dengan selesainya masa penahanan.
Setelah menjalani hukuman penjara, narapidana juga akan mendapatkan remisi setidaknya dua kali, yaitu pada setiap tanggal 17 Agustus dan salah satu hari besar keagamaan narapidana bersangkutan, misalnya kalau dia orang Islam maka dia akan mendapat remisi pada hari raya Idul Fitri. Akhirnya, masa hukuman akan semakin pendek, karena tak jarang remisi itu berjumlah cukup banyak misalnya saja 6 bulan pemotongan masa hukuman. Tak heran kalau Tomi Suharto yang divonis 10 tahun penjara bisa bebas –kalau tidak salah- hanya dalam waktu lima tahun sejak dia dimasukkan ke dalam kerangkeng.
Sementara keluarga korban hanya bisa pasrah dan bersabar, karena memang tak ada pilihan lain. Tak ada ganti rugi materi dan non materi yang bisa mereka dapatkan dari hukuman atas diri pelaku pembunuhan keluarga mereka.
Bila kita hitung secara ekonomi hukuman penjara sebenarnya tidak memberikan efek jera, malah merugikan keuangan negara. Hitunglah berapa biaya akomodasi untuk setiap narapidana yang harus ditanggung oleh negara. Katakan saja misalnya biaya makan seorang pembunuh plus pemerkosa atau perampok ini adalah Rp.7500 perhari, berarti untuk hukuman selama lima tahun saja negara harus mengeluarkan uang sebesar 7500 x 365 x 5 = Rp.13.687.500. Itu belum termasuk biaya pemondokan di penjara yang tentu saja memerlukan berbagai fasilitas seperti listrik, air, perawatan dan lain-lain. Bagaimana kalau pembunuh yang dipenjara itu ada puluhan ribu orang. Berarti angka di atas tinggal ditambahkan empat nol di belakangnya sehingga mencapai angka ratusan milyar.
Dengan demikian bisa jadi seorang ayah dari anak wanita yang telah dibunuh plus diperkosa oleh pelaku memberi makan gratis untuk pembunuh plus pemerkosa anaknya ini. Caranya adalah ketika dia membayarkan pajak, bukankah salah satu penggunaan dana pajak adalah untuk membiayai tanggungan negara termasuk masalah memberi makan narapidana.
Tapi memang inilah kenyataan, sehingga setiap orang yang merasa beriman di negeri ini wajib memberi andil demi terciptanya hukum dan undang-undang yang benar sesuai dengan petunjuk ilahi yang tertuang dalam kitab suci. Paling tidak, semua kita sudah harus merasakan ketidakadilan hukum buatan manusia dan mendesak untuk diberlakukannya hukum buatan Tuhan. Sebab, Tuhanlah yang menciptakan manusia, sehingga Dia pula yang maha tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk manusia itu sendiri.
Andai yang berlaku hukum Islam maka yang paling diperhatikan dalam kasus ini adalah keluarga korban. Hukuman bagi pembunuh diserahkan kepada keluarga korban, bukan hakim. Mereka boleh memilih antara melakukan qishash, menuntut diyat (ganti rugi materi) maksimal seharga seratus ekor unta (mungkin sekitar satu milyar) untuk satu nyawa, atau memaafkan begitu saja. Cukup adil bukan?!! Bukan, justru itulah keadilan satu-satunya dan tak ada yang adil selain itu!!
Ini baik untuk keluarga korban, pelaku dan negara, karena tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk memberi makan seorang penjahat. Secara psikologis dipastikan hukum ini akan membawa efek jera, karena seorang pembunuh dieksekusi di depan umum membuat orang lain berpikir seribu kali bila ingin membunuh tanpa alasan yang benar.
Maha benar Allah yang telah berfirman, ”Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179).
Sangat ironis ketika setiap acara keagamaan terutama maulid dan Isra` Mi’raj para pembesar negeri ini selalu berpidato, ”Marilah kita mengikuti teladan Rasulullah SAW”, padahal ada teladan utama yang mereka tinggalkan yaitu teladan dalam penerapan hukum. Di akhir acara biasanya ada kiyai yang berdoa, ”Ya Allah berikanlah kami bimbingan untuk memimpin bangsa ini…bla…bla… dst.” Bimbingan apa lagi yang diminta, bukankah bimbingan Allah itu sudah tertuang semua dalam Al-Qur`an dan Sunnah?!! Persoalannya, adakah kemauan para pemimpin negeri ini menerapkan bimbingan Allah itu, salah satunya penerapan hukum pidana dan perdata Islam?!!
Ketika Allah memberikan bimbingan itu kita malah membuangnya dan lebih memilih pedoman hukum buatan Belanda. Seolah para pemimpin negeri ini mengatakan, ”Maaf ya Allah, bimbingan-Mu berupa penerapan hukum kami tolak, karena kami punya hukum yang lebih baik, yaitu buatan Belanda yang sesuai dengan kehidupan kami yang berbineka tunggal Ika. Silahkan bawa bimbingan hukum ini kepada tempat agama ini berasal saja, yaitu kepada orang-orang Wahhabi di Arab Saudi sana, mungkin mereka mau menerima.” Astaghfirullah!! Wa laa hawla walaa Quwwata illaa billaah!!
Menerapkan syariat di negeri ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tulisan ini hanyala upaya sederhana mengajak setiap orang yang mengaku beriman untuk berpikir betapa pentingnya penerapan hukum Allah di negeri tercinta ini, tanpa memaki-maki atau mengeluarkan kata-kata yang malah membuat orang makin takut dengan dakwah Islam.
Paling tidak, semua kita mulai menyadari pada tingkat kesadaran yang tinggi, lalu mensosialisasikannya kepada mereka yang belum sadar. Bila semakin banyak orang yang sadar, insya Allah bisa dilaksanakan gerakan sosial yang mengawal pelaksanaan hukum Allah ini secara pelan tapi pasti.
Profil Singkat :
Anshari Taslim; Alumni Fakultas Syariah LIPIA lulusan tahun 2005; Pengalaman organisasi : Aktifis Himpunan Mahasiswa Islam Antar Kampus (HAMMAS) Indonesia 1998 – 2003e-mail dan facebook: [email protected]; site : http://alponti.multiply.com