Pesta kelulusan ujian nasional (UN) siswa SMA/MA/SMK yang terjadi secara serentak di seluruh Indonesia, pada hari Senin (26/4) dirayakan secara tak lazim. Kejadian yang terus berulang setiap tahun saat merayakan kelulusan dengan himbauan untuk tidak corat-coret baju dan turun jalan saat merayakan kelulusan nampaknya tak dihiraukan beberapa pelajar Indonesia.
Di beberapa kota, para pelajar justru tetap mengadakan aksi corat-coret, bahkan terbilang diluar kewajaran dengan aksi membuka jilbabnya hingga ada sejumlah siswa yang merayakannya dengan mabuk minuman keras, penjarahan hingga aksi mesum yang dilakukan sesama pelajar.
Contohnya adalah aksi merayakan pengumuman kelulusan pelajar Pamekasan dengan membuka jilbab mewarnai konvoi kelulusan siswa/siwi SMA/MA dan SMK di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, hari Senin. Siswi yang biasanya diharuskan menggunakan jilbab, saat konvoi tidak lagi menggunakan jilbab. Bahkan jilbab para siswi ini dijadikan bendera sambil berboncengan dengan teman laki-laki mereka. Para siswi ini juga merayakan kelulusan dengan menggunting rok.
Selain itu aksi konvoi siswa sejumlah SMA dan SMK merayakan kelulusan berujung pada tindakan penjarahan terhadap pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang Jalan Trunojoyo. Para pelajar tersebut langsung mengambil berbagai jenis makanan ringan dan minuman yang dijual PKL di sepanjang jalan tersebut.
Demikian halnya yang terjadi di Surabaya, aksi konvoi sejumlah siswa yang berakhir di kawasan wisata Pantai Kenjeran, Surabaya, tempat wisata yang selama ini sudah dikenal sebagai area perbuatan mesum dijadikan tempat untuk perbuatan maksiat.
Hal ini terlihat sejumlah siswa masih menggunakan baju yang dicorat-coret duduk berpasang-pasangan berpegangan tangan dan berciuman tanpa malu. Begitu juga di Taman Bungkul, Surabaya. Sejumlah pelajar tampak menutupi seragamnya dengan jaket. (suarakarya-online 27 April 2010).
Fakta tersebut sejatinya memberikan gambaran bahwa pendidikan di Indonesia belum mampu menghasilkan siswa yang berkepribadian Islam. Lalu apa masalah mendasar dalam pendidikan Indonesia saat ini?
Masalah Mendasar : Sekulerisme Sebagai Paradigma Pendidikan
Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.
Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shalih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama dan pesantren yang dikelola oleh Kementerian Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional.
Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Kemendiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama.
Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.
Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.
Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam.
Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang pandai yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqâfah Islam.
Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqâfah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik.
Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.
Jadi, pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korupsi. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular.
Menggagas Sistem Pendidikan Islam
Sistem pendidikan Islam merupakan solusi mendasar untuk mengganti sistem pendidikan sekuler saat ini. Tujuan Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni:
Pertama, berkepribadian Islam. Ini merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam. Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw, yaitu:
- Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
- Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
- Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
- Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw, Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
- Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimia, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.
Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
Demikianlah tujuan dari pendidikan dalam Islam, sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim sudah seharusnya Indonesia mengambil Islam sebagai aturan bernegara termasuk di bidang pendidikan bukan menerapkan sistem sekulerisme-liberalisme dalam bidang pendidikan yang terjadi saat ini.
Karenanya sudah saatnya negeri ini menerapkan sistem pendidikan Islam sehingga akan lahirlah generasi yang beriman & bertaqwa serta memiliki kemampuan dalam bidang sains dan teknologi (IPTEK) untuk kemajuan umat dan negeri ini. Semoga!
Andi Perdana Gumilang
Ketua umum Majelis Ta’lim Al-Marjan FPIK IPB 2007-2008, (Bendahara Umum Lembaga Dakwah Kampus Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (LDK BKIM) IPB 2006-2007, Tim laboratorium dakwah Syiar Kampus IPB 2010), web: http://almarjan.wordpress.com/ email: [email protected]