Beberapa tahun yang lalu saat berbicara di depan mahasiswa Universitas Indonesia di Jakarta, Dr. Tariq Ramadhan sempat menyinggung tentang sikap umat Islam kontemporer yang sering bersikap berlebihan terhadap orang-orang Yahudi. Banyak yang secara sadar atau tidak telah menisbatkan berbagai persoalan yang menimpa kaum Muslimin kepada orang-orang Yahudi.
Setiap kali mendapati simbol yang berbau Yahudi maka mereka merasa ada konspirasi Yahudi di baliknya. Bahkan terhadap sebuah kotak makanan sederhana yang dipenuhi motif bintang segi enam barangkali akan menyebabkan kita merasa catering yang menyiapkan makanan tersebut telah terlibat gerakan Yahudi internasional, demikian kurang lebih penjelasan cucu Hasan al-Banna ini.
Bulan lalu, tepatnya tanggal 12 Desember 2009, dalam sebuah diskusi tentang Leopold Weiss atau Muhammad Asad di Kuala Lumpur, beliau juga sempat menyinggung hal yang sama. Leopold Weiss merupakan seorang Yahudi Eropa yang masuk Islam dan kemudian melibatkan diri dalam gerakan revivalis Islam.
Tariq Ramadhan menjelaskan bahwa banyak umat Islam yang ketika mendengar seorang Yahudi masuk Islam dan mereka menyukai keislamannya, maka mereka akan berseru dengan gembira, ”He is a Jew.” Tapi saat mereka tidak setuju dengan pemikirannya maka mereka akan mencurigai seluruh motif yang dimilikinya, ”Be careful, he is a Jew.” Padahal seharusnya kita menjauhi sikap semacam ini.
Mungkin Tariq Ramadhan betul, kita seringkali terlalu berlebihan dalam menganggap persoalan-persoalan yang terjadi pada diri kita sebagai perbuatan yang direkayasa oleh orang-orang Yahudi.
Secara tidak sadar kita telah ikut menciptakan sebuah gambaran tentang kedigdayaan Yahudi yang begitu hebat dan tak tertandingi. Bahkan pada tingkat tertentu, terutama saat berbicara tentang teori konspirasi, kita ikut mendukung citra orang-orang Yahudi yang nyaris bisa berbuat apa saja untuk mengendalikan dunia. Seolah mereka itu Tuhan yang bisa mengendalikan perjalanan sejarah sekehendak hati mereka.
Tentu saja kami tidak bermaksud mengabaikan banyaknya kerusakan yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, khususnya oleh mereka yang tergabung dalam zionisme internasional dewasa ini. Mereka memang telah melakukan berbagai kerusakan dan rekayasa yang merugikan kaum Muslimin dan kemanusiaan secara umum. Tapi kita toh tidak bisa selalu menyalahkan orang lain untuk persoalan yang menimpa diri kita. Sumber masalah sebenarnya tidak terletak di luar sana, tetapi ada pada diri kita sendiri. The problem is not out there …, it is within ourselves.
Mungkin banyak penceramah dan ustadz selama ini telah bersikap kurang arif saat menyampaikan kepada khalayak ramai tentang kejahatan yang dilakukan segolongan Yahudi. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman yang serius di kalangan sebagian kaum Muslimin. Sampai-sampai, seperti yang dikatakan seorang kawan, ”sekiranya ada dua ekor ikan berkelahi di laut, mungkin kita akan mengatakan bahwa orang-orang Yahudi-lah yang menjadi penyebabnya.” Seolah Yahudi merupakan akar dari segala jenis kejahatan dan merupakan virus untuk segala jenis penyakit yang menimpa umat. Dan karenanya kita memerlukan sejenis salep anti-Yahudi untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang ada pada diri kita.
Dalam hal ini kita jadi seperti orang tua yang tidak mendidik anak-anak kita dengan baik. Setiap kali anak jatuh karena berlari dan melompat-lompat tanpa kendali, maka kita akan berkata, ”Kenapa Nak? Kamu jatuh? Hmm, lantai ini memang nakal karena telah membuat kamu jatuh. Sini biar ayah pukul lantainya.”
Jelas bukan lantainya yang salah, tapi sikap si anak yang tidak berhati-hati dalam bermain. Mengapa tidak kita jelaskan duduk persoalannya dengan lebih jujur, agar anak tadi bisa bersikap lebih dewasa dan karenanya lebih mampu untuk menjaga diri dari terjatuh ke dalam persoalan yang sama?
Sikap yang tidak tepat ini telah menciptakan perasaan yang tidak kondusif di tengah masyarakat Muslim. Kita jadi merasa takut dan benci secara berlebihan terhadap orang-orang Yahudi. Bahkan tanpa sadar barangkali sebagian dari kaum Muslimin telah merasa kagum secara berlebihan atas ’kehebatan’ komunitas Yahudi. Hal ini sempat diceritakan oleh seorang ustadz yang merasa kesal dengan komentar tamunya yang memuji kecerdasan anak ustadz tadi sambil berkata, ”Pintar sekali anak ini, seperti Yahudi saja.” Ustadz tersebut menjawab dengan nada jengkel, ”Apakah di dunia ini hanya orang-orang Yahudi saja yang pintar, sementara orang-orang lainnya bodoh?”
Sebetulnya kesan semacam inilah yang terus-menerus coba dibentuk oleh masyarakat Yahudi, bahwa mereka adalah orang-orang yang cerdas, brilian, powerful, dan pada akhirnya tak tertandingi. Mereka telah berhasil menanamkan kesan ini kepada masyarakat dunia, dan juga kepada kaum Muslimin. Sampai-sampai ada seorang ’intelektual Muslim’ Indonesia yang pergi ke Israel belum lama ini dan menyatakan kekaguman yang luar biasa terhadap masyarakat Yahudi di sana. Dengan nada takjub ia mengatakan bahwa dari ”setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas.” Kata-kata orang ini sama sekali tidak perlu dipertimbangkan, karena ia jelas tidak bisa berhitung dan karenanya memiliki tingkat kecerdasan dan pemahaman yang meragukan.
Setiap kali kita membahas persoalan-persoalan dunia yang ditimbulkan oleh orang-orang Yahudi kita perlu berhati-hati agar jangan sampai menimbulkan kesan semacam ini di tengah umat. Sebetulnya orang-orang Yahudi tidak sehebat dan sekuat yang kita bayangkan. Kalaupun pada hari ini mereka berkuasa, maka itu karena mereka mau belajar, bekerja keras, dan menyatukan langkah mereka. Sementara kita kalah karena kelalaian kita sendiri, bukan karena kesalahan pihak lain. Kita telah terlalu lama berkubang dalam kebodohan, kemalasan, dan kesenangan berkonflik dengan saudara sendiri. Dan yang terpenting, kita telah menjauhkan diri dari sumber dan akar kita sendiri, yaitu Kalamullah dan suri tauladan Nabi.
Al-Qur’an tidak pernah mengajarkan pada kita bahwa persoalan utama kita disebabkan oleh musuh-musuh di luar sana. Al-Qur’an memang menjelaskan upaya-upaya makar yang dilakukan musuh, tetapi ketika umat Islam tergelincir dan kalah, maka kesalahan utamanya ada pada diri mereka sendiri, bukan pada pihak lain. Ketika kaum Muslimin kalah di Perang Uhud, al-Qur’an tidak menyatakan bahwa hal itu disebabkan oleh makar musuh, melainkan kekalahan itu telah disebabkan oleh kelalaian sebagian kaum Muslimin sendiri (QS 3: 152-154).
Tulisan ini sama sekali tidak menganjurkan agar para penulis dan peneliti yang mendalami tema-tema freemasonry, zionisme internasional, dan teori konspirasi untuk menghentikan upaya mereka. Tetapi mereka perlu menghindarkan diri dari hal-hal yang secara tidak langsung akan ikut mendukung kepentingan zionis sendiri, seperti pencitraan kedigdayaan Yahudi sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Kajian-kajian ini perlu dikembangkan untuk memahami kelebihan dan kelemahan musuh serta strategi yang mereka gunakan, serta memberikan informasi kepada umat tentang ancaman yang menghadang mereka. Sementara pada saat yang sama perhatian yang lebih besar perlu ditujukan untuk mempelajari kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan sehingga menyebabkan keterpurukan seperti sekarang ini. Kemudian berangkat dari sana kita memperbaiki diri dari berbagai kesalahan yang ada, mulai dari yang paling serius hingga ke masalah-masalah internal yang lebih ringan.
Pada akhirnya, kita perlu menyadari bahwa orang-orang Yahudi tidak sehebat yang kita bayangkan. Mereka juga memiliki persoalan mereka sendiri. Komunitas zionis internasional berkuasa karena umat Islam lemah dan tidak mau bangkit. Mereka berhasil mempertahankan kekuasaan mereka antara lain dengan terus menerus mengupayakan agar kaum Muslimin tertidur lelap dalam kelalaiannya. Ini memang kepentingan dan pekerjaan mereka. Masalahnya adalah mengapa kaum Muslimin mau dilalaikan dan mengapa mereka membiarkan diri mereka terus merosot dalam kemunduran. Pada saatnya kaum Muslimin sadar dan berhasil mengatasi persoalan yang ada di dalam diri mereka, maka pada saat itu umat akan kembali unggul dan menang, tanpa mampu dihalangi oleh kepintaran Yahudi manapun.
Jadi, kita tidak memerlukan salep anti-Yahudi untuk mengatasi berbagai penyakit dan keterpurukan kita. Yang kita perlukan adalah obat keikhlasan, pemahaman yang benar, serta amal yang sungguh-sungguh, yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi, untuk setiap sikap anti-Islam yang ada di dalam diri kita. Wallahu a’lam.
Kuala Lumpur,
3 Muharram 1431/ 20 Desember 2009
Alwi Alatas, Mahasiswa PhD International Islamic University Malaysia