Sudah setengah abad lebih al-Quds dikuasai musuh ketika kaum Muslimin di Syria baru saja dipersatukan oleh seorang pemimpin yang shalih: Nuruddin Zanki. Ya, Nuruddin baru saja memenangkan hati masyarakat di sebagian besar wilayah Syria lewat kepemimpinannya yang lembut dan komitmen jihadnya yang teguh. Ia berhasil menaklukkan Damaskus melalui proses diplomasi dan strategi militer yang sangat manis. Untuk pertama kalinya sejak lebih dari lima puluh tahun, dua kota terpenting Syria, yaitu Aleppo dan Damaskus, berada di bawah kendali seorang pemimpin. Kini, perhatian ditujukan pada pembebasan al-Quds. Segala sesuatunya tengah dipersiapkan untuk membebaskan kota itu ketika peristiwa alam itu hadir secara tiba-tiba.
Gempa bumi!
Itu terjadi pada tahun 1157. Banyak korban yang berjatuhan karenanya. Ibn al-Qalanisi menceritakan terjadinya peristiwa itu dalam Chronicle-nya.
Pada hari Rabu malam, 19 Safar (552H), sebuah gempa besar mengguncang di waktu fajar … diikuti gempa lainnya pada hari Kamis malam … dan gempa besar lainnya setelah shalat Jum’at pada keesokan harinya. Sejumlah laporan diterima dari Utara (Syria) tentang dampak yang luar biasa dari gempa ini, baik yang awal maupun yang setelahnya, di kota Shayzar, Hamāh, Kafr Tāb, Afāmiya dan sekitarnya hingga ke tempat-tempat di provinsi Aleppo.
Ma’arra, Homs, Beirut, Tripoli, dan Tyre juga termasuk kota-kota yang terkena gempa. Dampak gempa ini sangat serius. Gedung-gedung hancur, tembok-tembok kota runtuh, dan korban yang mati tak terhitung jumlahnya. Di Aleppo, menara-menara pada tembok kota tersebut runtuh. Sementara di kota Harran, tanah terbelah begitu dalam hingga sisa-sisa kota kuno di bawahnya terlihat.
Dari semuanya, dampak terburuk terjadi di kota Hamāh dan Shayzar. Ada sebuah kisah menyedihkan yang terjadi di kota Hamāh. Seorang guru pergi keluar meninggalkan kelas beberapa saat sebelum gempa terjadi. Karena berada di tempat terbuka, maka ia selamat saat terjadi gempa. Namun saat kembali, ia mendapati seluruh bangunan sekolah sudah runtuh dan semua murid mati terkubur di dalamnya. Ia terduduk di depan reruntuhan sekolah, tak tahu harus bilang apa pada para orang tua murid. Namun, tak ada satu pun orang tua murid yang datang untuk menanyakan keadaan anak-anak mereka. Mereka semua juga mati akibat gempa tersebut.
Di Shayzar, seluruh keluarga kerajaan sedang berkumpul di istana untuk merayakan acara khitan putera penguasa kota itu. Seluruh anggota keluarga sultan hadir di sana, begitu juga dengan para pembesar kota. Pada saat itulah gempa terjadi. Bangunan runtuh dan menimpa semua yang hadir. Keluarga istana Shayzar habis dalam seketika, mereka semuanya mati, kecuali yang kebetulan sedang tidak berada di kota itu pada saat gempa terjadi. Dalam sekejap mata, istana kesultanan Shayzar beralih menjadi kuburan massal.
Nuruddin sendiri dan para pendukungnya tidak sampai menjadi korban gempa. Ia segera memerintahkan perbaikan kota-kota serta bantuan terhadap masyarakat yang menjadi korban gempa. Keadaan kembali membaik setelah itu.
Gempa memang bisa terjadi dimana saja, kapan saja. Ia juga bisa menimpa orang-orang yang beriman dan shalih.
Kita juga ikut merasakan duka yang mendalam dengan terjadinya gempa bumi berkekuatan 7,6 SR di Sumatera Barat pada hari Rabu 30 September 2009 lalu. Hingga kini proses evakuasi dan perbaikan masih terus berlangsung. Jumlah korban yang berjatuhan sangat banyak. Bahkan ada kampung yang habis tertelan longsor, semuanya hilang tertimbun tanah dalam hitungan menit.
Gempa Sumatera ini menambah daftar panjang musibah yang terjadi di Indonesia; membuat sebagian dari kita mungkin berpikir tentang berbagai bencana yang seolah tiada habisnya ini: setelah ini apa lagi? Masih hangat dalam ingatan kita gempa yang terjadi di Tasikmalaya beberapa waktu yang lalu, begitu juga Tsunami di Aceh sekitar lima tahun yang lalu, ataupun musibah-musibah lainnya. Semuanya menyisakan kepedihan. Bahkan kadang muncul pertanyaan, mengapa gempa-gempa ini mesti terjadi di bumi yang masyarakat Muslimnya dikenal relijius?
Mungkin kita tidak akan pernah benar-benar mengetahui hikmah di balik musibah-musibah ini. Yang jelas, saat menghadapi musibah kita diperintahkan untuk bersabar. Bagi kaum Muslimin yang tidak terkena musibah dan memiliki kemampuan, maka mereka wajib untuk membantu saudara-saudara mereka yang sedang kesusahan. Adapun yang mengalami musibah, maka obatnya hanya satu: kesabaran.
Betapa pun beratnya musibah, jauhkan diri dari mencela atau mempertanyakan ketetapan-Nya. Kembalikan semuanya pada Allah, minta pada-Nya agar diberi ganti yang lebih baik, dan segera bangkit kembali untuk menyambut kebaikan yang lebih besar di masa depan. Karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam sudah menjelaskan hal ini, dan kita tidak perlu meragukannya.
“Tidaklah seorang Muslim mendapatkan musibah kemudian ia mengucapkan apa yang diperintahkan Allah kepadanya, ’Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. (kemudian ia berdoa) Ya Allah, berilah pahala atas musibahku dan berilah ganti untukku yang lebih baik daripada musibah tersebut.’ Melainkan Allah memberinya ganti yang lebih baik daripada musibah yang menimpanya.” (HR Muslim)
Semoga kita dianugerahkan kesabaran dan optimisme di tengah berbagai bencana yang melanda ini. Dan mudah-mudahan negeri ini menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
Jakarta, 5 Oktober 2009
Alwi Alatas, Mahasiswa PhD International Islamic University Malaysia (IIUM) dan penulis buku