Pada akhir Ramadhan 492 H (bertepatan dengan bulan Agustus 1099M), Abu Sa’ad al-Harawi, Qadi Damaskus, tiba di Baghdad bersama serombongan pengungsi Yerusalem. Kurang lebih sebulan sebelumnya, kota Yerusalem jatuh ke tangan tentara Salib setelah dikepung selama empat puluh hari. Tidak berbeda dengan kekejian yang berlaku di kota-kota lain yang ditaklukkan pasukan Salib, Yerusalem juga menerima nasib yang sama. Kota itu tenggelam dalam pesta pembunuhan selama satu minggu penuh.
Puluhan ribu Muslim dikabarkan mati karena pembantaian ini, tak seorang pun tersisa. Banyak diantaranya, seperti disebutkan Ibn Athir, merupakan para imam, ulama, orang-orang shalih, dan kaum sufi. Orang-orang Yahudi serta kaum Kristen setempat yang dianggap menyimpang oleh para penakluk dari Eropa Barat ini juga menerima nasib yang buruk.
Sebagian kaum Muslimin yang berhasil meloloskan diri dari Yerusalem diterima dengan baik oleh saudara-saudara mereka di Damaskus. Bersama para pengungsi inilah al-Harawi pergi ke pusat peradaban Islam dengan membawa sebuah misi penting: menjeritkan kepedihan yang baru dialami kaum Muslimin di Yerusalem dan sekitarnya ke jantung peradaban Islam dengan harapan seluruh umat tergerak untuk bangkit membela.
Al-Harawi memimpin rombongannya menuju ke Masjid Jami’ Baghdad pada hari Jum’at 19 Agustus 1099M. Ketika orang-orang mulai ramai hadir di masjid, al-Harawi makan secara terang-terangan di depan orang banyak. Kaum Muslimin yang sedang berpuasa di bulan Ramadhan tersebut tentu saja menjadi marah melihat perbuatan al-Harawi. Mereka mulai mengerubunginya. Bahkan tentara mulai datang untuk menangkapnya.
Qadi dari Damaskus ini kemudian berdiri dengan tenang dan bertanya kepada mereka, mengapa mereka begitu marah saat melihat sebuah kewajiban Islam (puasa di bulan Ramadhan) dilanggar (padahal al-Harawi tidak melanggarnya karena ia seorang musafir dan boleh tidak berpuasa), tapi mereka tidak bersikap sama saat mendengar darah saudara-saudara mereka Syria ditumpahkan dan kehormatan Islam dicabuli.
Orang-orang yang tadinya berkerumun dengan marah itu kini terdiam. Al-Harawi kemudian mendeskripsikan dengan rinci dan bahasa yang menyentuh bencana yang telah menimpa saudara-saudara mereka di Yerusalem dan kota-kota Syria lainnya berupa pengepungan dan pembunuhan yang tak berperikemanusiaan. Orang-orang mulai menangis mendengar penjelasan tersebut.
Al-Harawi tidak berhenti sampai di situ. Ia terus pergi ke istana dan menjumpai Khalifah al-Mustazhir Billah beserta pembesar-pembesarnya. Di hadapan khalifah berusia 20-an tahun yang memimpin seluruh dunia Islam secara simbolis itu ia menjeritkan suara hati umat yang terluka. ”Alangkah beraninya kalian bersantai-santai di bawah bayang-bayang keamanan dan kesenangan! Menjalani hidup tak berguna seperti bebungaan di taman, sementara saudara-saudara kalian di Syria tidak memiliki tempat tinggal yang aman selain punggung unta-unta mereka.
Darah telah tertumpah! Gadis-gadis muda telah dipermalukan, yang membuat mereka terpaksa menyembunyikan wajah-wajah mereka di balik telapak tangan mereka! Apakah orang-orang Arab yang pemberani telah tunduk pada penghinaan, dan orang-orang Persia yang tak kenal takut kini menerima pelecehan?”
Khalifah dan orang-orangnya terdiam mendengarkan. Namun sebagai jawabannya, khalifah yang tidak memiliki kekuasaan riil ini hanya mengirimkan beberapa orang terpelajar untuk berangkat menyelidiki keadaan, yang mereka itu bahkan segera kembali ke Baghdad sebelum sampai di tempat tujuan mereka dan mereka kembali tanpa membawa hasil apa-apa.
Umat Islam memerlukan suatu tindakan nyata untuk menolong keadaan mereka yang tertindas, tetapi mereka sama sekali tidak mendapatkannya walaupun setelah berjalan jauh dan meneriakkan penderitaan mereka dengan sangat gamblang.
Para pemimpin Muslim pada masa itu masih sibuk dengan urusan mereka sendiri-sendiri dan asyik bercakaran dengan sesama mereka daripada menghadapi musuh yang nyata di depan mata. Banyak pemimpin di Timur Tengah ketika itu justru bekerja sama dan memberikan bantuan kepada pasukan Salib demi menjaga kepentingan mereka masing-masing. Sebagai akibatnya, kaum Muslimin masih harus menunggu selama lebih dari setengah abad sebelum negeri mereka dibebaskan dan mereka kembali bisa bernafas lega.
Pada akhir Ramadhan 2009 ini pun keadaan kaum Muslimin tidak lebih baik dibandingkan apa yang dialami saudara-saudara mereka sembilan abad silam. Sebagian negeri mereka (Palestina, Iraq, Afghanistan, dll) diduduki penjajah. Banyak korban sipil tak berdosa berjatuhan karena muntahan misil-misil yang salah sasaran (atau mungkin juga sengaja diarahkan pada mereka). Sementara pada saat yang sama, para pemimpin Muslim diam seribu bahasa, sibuk dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Sebagian kaum Muslimin juga lebih suka bermusuhan dengan sesama saudara seiman sambil bergandeng tangan dengan pihak yang semestinya merupakan musuh mereka.
Di akhir Ramadhan ini, kita tidak mendapati orang seperti al-Harawi yang berteriak lantang di hadapan para pemimpin Muslim agar mereka segera bertindak dan bangkit dari tidurnya. Kalaupun ada yang meneriakkan penderitaan umat ini, tidak ada tanda-tanda kalau umat dan para pemimpinnya akan benar-benar bertindak.
Malah sebagian besar umat juga belum tentu peduli jika ada Muslim yang terang-terangan makan atau minum di siang bolong di bulan Ramadhan. Banyak kaum Muslimin sekarang ini lebih suka mengurus kepentingan mereka sendiri-sendiri atau malah berkolaborasi dengan musuh-musuhnya demi mendapatkan secebis kesenangan duniawi. Maka umat ini pun terus saja tenggelam dalam penindasan dan kehinaan.
Entah berapa puluh tahun lagi kita harus menunggu sebelum keadaan berubah dan umat kembali terbebas dari kerendahan dan ketakberdayaan.
Jakarta, 15 September 2009
Alwi Alatas; mahasiswa PhD jurusan Sejarah dan Peradaban Universiti Islam Antarabangsa Malaysia