Baik orang-orang Palestina dan Israel yang ditemui oleh Misi (tim pencari fakta) secara berulang-ulang menekankan bahwa operasi-operasi militer yang dilakukan Israel sejak 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009 secara kualitatif berbeda dengan aksi-aksi militer Israel sebelumnya di wilayah pendudukan Palestina (Richard Goldstone dkk, Report of the United Nations Fact Finding Mission on the Gaza Conflict, hlm. 622, poin 1677)
Apa yang terjadi baru-baru ini terkait dengan diterimanya laporan Richard Goldstone oleh PBB mungkin bisa dianggap sebagai suatu hal yang istimewa. Istimewa karena laporan itu terkait dengan suatu negara yang selama ini paling tak tersentuh hukum internasional. Unik, karena negara yang selalu dilindungi Amerika Serikat dan negara-negara kuat lainnya itu kini menjadi tertuduh utama dalam hal kejahatan perang. Negara yang dalam laporan Goldstone dkk disebut sebagai the Occupying Power itu kini harus menanggapi laporan setebal 570 halaman lebih dalam waktu enam bulan ke depan, atau mereka akan terpaksa duduk di kursi pesakitan dalam pengadilan Internasional sebagai penjahat perang.
Negara itu, sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, adalah Israel. Sejak berdirinya pada tahun 1948, bahkan sejak beberapa dekade sebelumnya, bangsa ini telah berkali-kali melakukan kejahatan dan kezaliman terhadap bangsa Palestina yang wilayahnya mereka duduki. Dan negara-negara Barat yang memimpin peradaban dunia modern mengamini semua yang dilakukan oleh negeri Yahudi ini.
Apa yang terjadi pada akhir tahun 2008 lalu di Gaza, hanya dua hari setelah masyarakat Kristiani mengisi hari raya mereka, telah membuat seluruh dunia tercengang. Israel selama tiga minggu penuh memborbardir wilayah Gaza dengan berbagai senjata berat. Sementara masyarakat di berbagai belahan dunia menyambut tahun baru 2009 dengan berbagai harapan serta kegembiraan, penduduk Gaza melewatinya dengan ketakutan, kehilangan, serta ketidakpastian hidup. Banyak korban berjatuhan dan jumlah yang lebih besar lagi mengalami luka parah dan trauma. Gedung-gedung runtuh, rumah sakit luluh lantak, sekolah-sekolah dan masjid-masjid hancur berantakan; tak ada tempat yang aman, semua jadi sasaran bom Israel. Dan dunia diam seribu bahasa. Sekiranya tidak ada inaugurasi Obama di White House pada akhir Januari 2009, barangkali perang di Gaza masih akan terus berlanjut selama beberapa waktu setelahnya.
Barulah setelah dua setengah bulan perang berhenti, Human Rights Council (HRC) PBB mengambil langkah konkrit. Sebuah misi pencari fakta atas konflik di Gaza dibentuk pada tanggal 3 April, dengan dikepalai Justice Richard Goldstone, seorang mantan hakim Afrika Selatan, dan dibantu oleh Prof. Christine Chinkin, Ms. Hina Jilani, serta Kolonel Desmond Travers. Tim pencari fakta ini diberi mandat untuk ”menginvestigasi semua bentuk pelanggaran terhadap HAM serta kemanusiaan yang mungkin telah dilakukan pada waktu mana saja dalam konteks operasi-operasi militer yang dilakukan di Gaza pada periode 27 September 2008 hingga 18 Januari 2009, baik (pelanggaran itu) terjadi sebelumnya, pada masa tersebut, atau setelahnya.”
Goldstone dan timnya kemudian memulai misi pencarian fakta dengan cara mewawancarai para saksi mata, melakukan pertemuan umum (public hearing), mengumpulkan berbagai laporan dan bukti-bukti berupa gambar dan lain sebagainya. Semua itu kemudian disusun dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pada pertengahan September lalu untuk mendengar respon dan masukan dari berbagai pihak. Pada akhir September, laporan tersebut dibacakan oleh Goldstone dalam sidang Human Rights Council PBB.
Misi Goldstone bukannya tanpa halangan. Sebagaimana dijelaskan Goldstone sendiri, sejak awal pembentukannya misi tersebut telah menghadapi tantangan utama berupa penolakan pemerintah Israel untuk bekerja sama. Misi pencari fakta tidak diberi ijin oleh Israel untuk memasuki wilayah Gaza. Mereka bisa masuk ke Gaza atas bantuan pemerintah Mesir. Seorang penduduk Tepi Barat bernama Muhammad Srour yang ikut memberi kesaksian bagi misi Goldstone di Jenewa juga telah ditangkap oleh militer Israel saat ia kembali ke Palestina. Namun semua itu tidak menghalangi misi pencari fakta dalam menunaikan tugas yang mereka emban.
Keseriusan tim tersebut bisa dilihat dari muatan laporan yang sangat detail dan upayanya yang sungguh-sungguh dalam membuat investigasi yang netral dan obyektif. Untuk menghasilkan laporan tersebut, mereka telah melakukan wawancara dengan 188 orang, mempelajari 10.000 halaman dokumentasi serta mengamati 1200 foto, gambar satelit, dan juga rekaman video.
Laporan tersebut mendapat sambutan positif dari para pembela HAM dan kemanusiaan. Kendati demikian, pihak-pihak yang pro-Israel telah menuduh misi tersebut tidak netral dan bermuatan politis. Bahkan ada yang menuding misi tersebut telah menggiring opini publik untuk melihat apa yang (menurut si penuding) merupakan ’hak Israel dalam membela diri’ menjadi bermakna suatu kejahatan perang, dan karenanya apa yang dilakukan oleh misi tersebut merupakan suatu kemunduran moral (moral inversion). Tudingan ini tentu saja mengada-ada dan tidak pada tempatnya.
Laporan ini sebagian besarnya memang menyebut tentang kejahatan perang Israel berupa pembunuhan rakyat sipil, penggunaan tameng manusia, penggunaan senjata berbahaya,dan lain sebagainya. Namun, walaupun bersifat minor, Goldstone menyatakan ’kelompok-kelompok bersenjata Palestina’ juga telah melakukan kejahatan perang. Serangan-serangan roket mereka ke Israel Selatan yang ’gagal dalam membedakan target militer dan sipil’ serta menimbulkan teror dan kehilangan di kalangan penduduk sipil Israel dinilai sebagai kejahatan perang (war crimes). Penahanan Gilad Shalit serta kesungguhan kelompok-kelompok bersenjata Palestina dalam meminimalisir resiko jatuhnya korban di kalangan masyarakat sipil Palestina termasuk yang dipertanyakan dalam laporan Goldstone. Bagaimanapun, laporan tersebut tidak menemukan satu pun bukti adanya kelompok bersenjata Palestina yang berperang dengan menyaru sebagai penduduk sipil. Demikian juga tidak ada bukti mereka dengan sengaja telah menempatkan kalangan sipil di posisi yang berbahaya.
Pihak Otoritas Palestina yang dipimpin Abbas juga dilaporkan telah melakukan pelanggaran serius terhadap HAM dan undang-undang Palestina karena telah melakukan penangkapan terhadap lawan-lawan politiknya. Penangkapan serta kekerasan terhadap para demonstran di Tepi Barat yang bersimpati terhadap konflik Gaza juga menjadi catatan Goldstone dan kawan-kawan.
Terlepas dari laporan minor di atas, masyarakat Palestina menyambut laporan tersebut dengan gembira, karena laporan tersebut dinilai telah mengungkap kejahatan perang Israel secara rinci. Israel memang telah menyerang tempat-tempat publik di Gaza, seperti masjid, rumah sakit, dan sekolah, secara membabi-buta dengan alasan tempat-tempat ini telah dijadikan sarang gerilyawan Palestina. Tidak ada satu pun bukti yang bisa membenarkan alasan Israel tersebut, demikian laporan tim pencari fakta. Demikian pula serangan atas pabrik tepung di Gaza, tempat produksi telur, penghancuran tanah-tanah pertanian, serta pemboman sekitar dua ratus fasilitas industri, semuanya tidak bisa dibenarkan secara militer dan tidak ada hubungannya dengan serangan roket ke Israel, ujar Goldstone dalam sidang Human Rights Council tanggal 29 September lalu.
Laporan ini tidak hanya membuat Israel geram, tapi juga khawatir. Seorang perwira militer Israel sempat dikabarkan membatalkan kunjungannya ke sebuah negara Eropa beberapa saat setelah laporan ini beredar. Pembatalan kunjungan ini dilakukan karena ia khawatir ditangkap saat berada di luar negeri karena laporan kejahatan perang tersebut. Diterimanya laporan ini oleh mayoritas anggota Human Rights Council PBB juga membuat kita mulai berpikir ulang tentang kedigdayaan lobi internasional Israel yang selama ini seolah tak terpatahkan. Laporan ini menjadi secercah harapan untuk tidak membiarkan Israel terus menerus berbuat sewenang-wenang tanpa adanya kecaman dan jangkauan hukum internasional terhadapnya.
Kini pemerintah Israel hanya mempunyai waktu enam bulan sebelum kasusnya dibawa ke mahkamah Internasional. Tidak tertutup kemungkinan Israel, dengan bantuan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, akan mampu meloloskan diri dari tuduhan telah melakukan kejahatan perang. Namun, diterimanya laporan ini oleh PBB agaknya telah membuka lembaran baru dalam sejarah. Kini semakin banyak NGO-NGO kemanusiaan di dunia yang bersikap sangat kritis terhadap Israel. Semoga di masa-masa mendatang, Israel tak lagi bisa melakukan kezaliman terhadap masyarakat Palestina tanpa mendapat proses hukum serta hukuman yang setimpal.
Jakarta, 20 Oktober 2009
Alwi Alatas, Mahasiswa PhD International Islamic University Malaysia (IIUM) dan penulis buku