Bulan Ramadhan adalah bulan permulaaan turunnya Al-Qur’an. Sebagai petunjuk dan penjelas bagi umat manusia. Untuk dijadikan standar dalam menentukan mana perkara yang haq dan mana perkara yang bathil. Itulah Al-Qur’an yang di turunkan oleh Allah Swt untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang.
Allah Swt berfirman: "Bulan Ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan Al qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil)" (QS Al-Baqarah :185).
Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat suatu kaum dengan Al-Qur’an ini dan dengannya pula Allah menjatuhkan suatu kaum". (HR. Muslim)
Dalam upaya untuk mengagungkan Al-Qur’an, pada setiap tanggal 17 Ramadhan selalu diperingati turunnya Al-Qur’an (nuzulul Qur’an). Namun sayang, acara seperti ini terkesan hanya sebatas seremonial belaka, sebab kita belumlah sepenuhnya menjadikan Al-Qur’an sebagai jalan hidup (way of life) secara utuh dalam kehidupan pribadi, keluarga, ataupun bernegara.
Padahal seperti diketahui bersama, Al-Qur’an merupakan pedoman hidup yang sempurna bagi umat manusia. Jelaslah bahwa Al-Qur’an bukanlah sebatas bacaan, melainkan wajib untuk diimplementasikan dalam realitas kehidupan. Bahkan W.E. Hocking pun pernah bertutur: “Saya merasa benar, bahwa Al-Qur’an mengandung banyak prinsip untuk pertumbuhannya sendiri. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ke tiga belas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia barat (saat ini). (The Spirit of World Politics, W.E Hocking)
Al-Qur’an seharusnya bukan hanya sekedar untuk mengusir Jin di rumah-rumah angker, tetapi sejatinya bisa pula untuk mengusir penjajahan di negri ini. Sebab kita tahu, meski sudah 66 tahun diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, namun kondisi mengatakan bahwa Indonesia masih terjajah secara non fisik. Penjajahan dalam aroma berbeda ini sudah berhasil menerobos diseluruh sendi kehidupan, baik itu sektor politik, ekonomi, sosial, budaya maupun keamanan.
Ketika negara ini menjauhi Al-Qur’an serta apa yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an untuk diikuti yakni As-Sunnah, maka munculah sistem politik yang opurtunistik, ekonomi yang liberal kapitalistik, pendidikan materialistik, dan budaya yang hedonistik. Kemudian outputnya melahirkan para koruptor, pezina, penguasa yang mendzalimi rakyatnya, dll. Begitulah realita berbicara. Semua itu merupakan dampak ketika negri ini tidak lagi menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan) dan pembeda (furqan).
Tak bisa dipungkiri memang, dewasa ini masih ada diantara kita yang bertindak diskriminatif terhadap isi kandungan Al-Qur’an, yakni dengan menerima isi Al-Qur’an sebagian lalu menolak yang sebagian. Bisa diambil contoh, sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa…."(QS. Al-Baqarah: 173). Banyak yang kemudian berbondong-bondong untuk memenuhi seruan Allah ini. Namun ketika perintah Allah pada ayat lain yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian hukuman Qishash…." (QS. Al-Baqarah: 178), sebagian dari kita masih ada yang menggunakan seribu dalih untuk menolaknya.
Saat Al-Quran dan Sunnah melarang privatisasi sumber daya alam, justru penguasa di negri ini dengan enteng menyerahkan kekayaan alam kepada pihak asing. Ketika Al-Quran memerintahkan bahwa seluruh sendi kehidupan itu harus diatur dengan Islam, namun justru sistem sekulerismelah yang dijadikan rujukan.
Diwaktu Al-Qur’an menjelaskan bahwa aktivitas ribawi itu haram, tetapi sistem ekonomi di negri ini justru begitu kental dengan praktik terlarang ini. Sebagian dari kita tidak mencoba menghayati dan mencoba mengamalkan Al-Qur’an, akan tetapi malah gandrung dengan sistem buatan manusia yang penuh keterbatasan, seperti halnya sistem karangan Plato, JJ Rousou, Adam Smith, dsb.
Hal ini telah disindir oleh Sayyid Qutb dalam kitab fi zhilalil qur’an, manusia saat ini membuat berhala-berhala yang mereka namakan dengan kaum, tanah air, bangsa dan sebagainya, yang tidak lebih sebagai berhala-berhala yang tidak bertubuh seperti berhala-berhala tradisional yang dibuat oleh para penyembah berhala.
Sayyid Qutb menambahkan lagi, Allah memerintahkan akidah sebagai pemersatu. Akan tetapi, kesukuan atau kebangsaan memerintahkan menjauhkan akidah dari kaidah persatuan, dan agar kebangsaan atau kesukuan yang menjadi kaidah (asas). Allah memerintahkan agar syariat-Nya yang menetapkan hukum. Akan tetapi sejumlah hamba atau sekelompok orang dari suatu bangsa berkata sesungguhnya manusialah yang berhak membuat syariat (peraturan/hukum), dan peraturan merekalah yang berlaku. Maka, siapakah gerangan Tuhan yang di ikuti perintah-Nya? Apakah Allah ataukah tuhan-tuhan buatan?
Karena itu, dalam momentum penting suasana bulan Ramadhan yang merupakan bulan permulaan turunnya Al-Qur’an dan peringatan hari kemerdekaan Indonesia ini, sudah selayaknya negri ini melakukan introspeksi untuk berbenah. Rasa syukur memang sepantasnya kita panjatkan atas kemerdekaan dari penjajahan fisik ini, namun PR besar masih berada dipundak-pundak generasi masa ini untuk menjadikan Indonesia benar-benar merdeka lahir dan bathin. Yakinlah bahwa hanya Al-Qur’an-lah yang bisa membuat Indonesia meraih kemerdekaan hakiki. Wallahu A’lam.
Ali Mustofa Akbar ketua RISKI Ngruki
Email: [email protected]