Jurus langkah seribu tampaknya masih menjadi senjata andalan para koruptor untuk tunggang langgang dari jeruji besi yang sudah di hadapan. Begitu banyak koruptor di negri ini yang telah memilih menjadi sprinter dadakan. Mereka berlari cepat, melesat ke negri seberang.
Sulitnya pemerintah dalam menangkap bandit-bandit harta ini, faktor utamanya adalah diakibatkan tidak adanya kesepakatan ekstradisi, yang dimaksud disini ialah antara RI dan Singapura, mengingat sebagian besar para koruptor memilih menyembunyikan diri ke negri yang berjuluk Asian Tiger tersebut.
Perjanjian ekstradisi kedua negara sejatinya nyaris terlaksana pada tahun 2007, yang sampai saat ini belum jadi direalisasikan. Apalagi ternyata isi perjanjiannya tersebut lebih merugikan Indonesia. Dimana telah ditanda tangani naskah dokumen oleh Menlu RI, Nur Hassan Wirajuda, dan Menlu Singapura, George Yeouh, bertempat di Istana Tampaksiring, Gianyar, Bali. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan PM Singapura, Lee Hsien Loong juga hadir untuk menyaksikan penandatanganan itu.
Namun imbal baliknya, selain perjanjian ekstradisi juga ditandatangani perjanjian kerjasama pertahanan dan kerangka pengaturan tentang latihan militer bersama. Pada perjanjian pertahanan dan latihan militer ditandatangani oleh Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata kedua negara.
Tertuang dalam Perjanjian tersebut, Singapura dipersilakan menggunakan beberapa fasilitas di Indonesia dalam latihan militer mereka. Tentu hal ini amat berbahaya, disebabkan terkait dengan kedaulatan sebuah Negara.
Sementara itu, anggapan beberapa pihak tentang perjanjian RI-Singapura yang bisa dimungkinkan pengembalian aset milik Indonesia berjumlah ribuan triliun (Sebagaimana menurut saudara Ardi Winangun, dalam kolom opini okezone.com 8/6/11, berjudul “Perjanjian ekstradisi Merugikan Siapa?”) akan sangat merugikan bagi perekonomian Singapura, tampaknya anggapan itu perlu dikaji ulang, sebab hal tersebut dibantah sendiri oleh Menteri Penasehat Singapura saat itu, Lee Kuan Yew. Ia bertutur: “Keuangan Singapura tidak terbangun dari uang yang berasal dari Indonesia, dan mereka tidak perlu menyimpan uangnya di sini, meskipun beberapa dari mereka melakukan itu, tegas Lee. Ia mengatakan dana yang terkumpul dalam industri perbankan Singapura berasal dari beberapa negara, termasuk Cina, India, Eropa dan Timur Tengah. “Dana yang berasal dari Indonesia tak melebihi 2-3 persen dari keseluruhan uang industri perbankan,”. (Republika.co.id., 25/4/07)
Demikian pula disatu sisi tidak ada jaminan dari Singapura bahwa para koruptor akan diserahkan dan aset milik Indonesia akan kembali. Sebab bukan tidak mungkin buruan lari ke luar Singapura sesaat sebelum realisasi perjanjian diketok palu, dengan atau tidak adanya kongkalingkong dengan pihak atau oknum Singapura. Ditambah dengan permasalahan belum di tandatanganinya Konvensi PBB tahun 2003 tentang anti korupsi oleh Singapura.
Karena itu, perlu dipikirkan strategi lain dalam memburu para koruptor tersebut meski tanpa ada perjanjian ekstradisi. Setidaknya disini ada beberapa langkah yang bisa ditempuh, diantaranya:
Pertama: Penjemputan. Model ini seperti dilakukan pada kasus Gayus Tambunan. Sebagaimana berhasil dilakukan oleh Tim penjemput Gayus dipimpin oleh Komisaris Besar M. Iriawan, Wakil Direktur I Badan Reserse Kriminal Polri, yang membidangi urusan kejahatan lintas Negara. Waktu itu Gayus dibujuk pulang ketika pria berkepala plontos ini sedang berada di Hotel Mandarin, Orchard Road, Singapura.
Kedua: Tehnik Paksa. Model ini perlu adanya koordinasi antara KPK, kementrian luar negri, dan pihak kedutaan. Intinya untuk membujuk dan meyakinkan pihak Singapura untuk mempersilakan pihak RI dalam memulangkan buronan. Sebab dengan tidak adanya perjanjian ekstradisi, Singapura berhak untuk mengembalikan atau tidak mengembalikan pihak yang dicari oleh Indonesia.
Ketiga: Pendekatan Emosional. Cara ini adalah dengan memanfaatkan pihak keluarga terdekat untuk membujuk pulang sang koruptor. Tentu cara ini jika buronan tidak menyertakan keluarganya dalam pelarian.
Keempat: Tehnik semut atau tehnik siluman. Jika memungkinkan cara ini bisa dibilang yang paling radikal. Maksudnya penjemputan pulang sang koruptor melalui jalan pengintaian terlebih dahulu, kemudian ditangkap dan dibawa pulang dan diadili. Seperti usulan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang mengusulkan dibentuknya Densus 99, termasuk Densus 99 devisi luar negri.
Beginilah resiko jika negri diatur dengan sistem sekulerisme yang minus akan spirit ruhiah. Larinya sebagian besar koruptor, dari Edi Tansil hingga Gayus Tambunan tentu juga andil dari oknum-oknum dalam negri yang membantu dalam pelarian. Jangankan mengejar buruan di luar negri, di dalam negri saja jika para penegak hukum amanah dalam menjalankan tugas, maka sepertinya penjara tak akan muat untuk menampung tahanan koruptor.
Karena itu, penerapan system Islam secara kaffah yang termasuk di dalamnya strategi Islam dalam pemberantasan korupsi adalah sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan untuk negri ini. Jika ingin membuat Indonesia lebih bersih dari korupsi.
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50). Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Ali Mustofa; Pemerhati Politik, Ketua RISKI Ngruki, Lajnah I’lamiyah HTI Chapter Kampus Solo Raya; Email: [email protected] /HP: 083865442474