Kediktatoran Senayan & Akrobatik Demokrasi

Meski dikecam oleh berbagai kalangan, Ketua DPR RI Marzuki Ali tetap ngotot dengan pendapatnya untuk melanjutkan rencana pembangunan gedung DPR. Berbagai dalih digunakan untuk meng”haram”kan pembatalan pembangunan gedung baru ini.

Kenekatan Marzuki Ali ini didukung oleh sejumlah fraksi di DPR terutama fraksi demokrat dan fraksi Golkar. Hanya fraksi Gerindra dan PAN yang secara all out menolak rencana pembangunan gedung baru ini. Sedangkan yang lain tampaknya memilih untuk tidak konsisten alias abu-abu. Wakil Ketua DPR Anis Matta (07/04) menyatakan hanya Fraksi PAN dan Gerindra yang menolak rencana pembangunan gedung baru DPR.

Balik badan dilakukan oleh PDIP yang sebelumnya menyetujui kemudian memilih menolak karena merasa DPR telah mendapat banyak hujatan dari rakyat atas rencana gila ini. Pada sidang Paripurna DPR (O8/04) Fraksi PDIP memilih walk out dari sidang karena interupsi mereka tidak digubris. Banyak pihak menganggap keputusan PDIP ini tak lepas dari kepentingan 2014.

Rakyat tentu layak berpikir, benarkah mereka mewakili rakyat? Jika iya, bukankah mayoritas rakyat Indonesia menentangnya. Kompas merilis hasil jajak pendapatnya bahwa 82,2 persen responden tidak setuju dengan rencana pembangunan gedung baru, 75,2 persen juga menilai pembangunan gedung baru DPR bukan kebutuhan yang mendesak atau prioritas utama.

Ketimbang untuk pembangunan gedung yang dianggarkan 1 triliyun lebih tersebut, bukankah lebih baik untuk kepentingan rakyat? mengingat Gedung DPR yang sekarang pun masih sangat layak pakai. Dalih-dalih pihak pro pembangunan pun telah terbantahkan oleh berbagai ulasan-ulasan di media cetak maupun elektronik.

Demokrasi melahirkan ketidakadilan

Inilah wajah anggota dewan terhomat yang terpilih secara demokratis di negri ini. Kampanye-kampanye manis mereka sebelum pemilu ternyata cuma janji-janji kosong belaka. Ini hanyalah salah satu contoh ketidakberpihakan wakil rakyat pada rakyat. Sebagaimana diketahui, mereka juga pernah menyetujui kebijakan pemerintah atas kenaikan BBM dan TDL, dan kebijakan tidak pro rakyat yang lain.

Presiden Abraham lincoln (19960-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “ from the people,by the people,and for the people”. Mana bukti bahwa demokrasi itu dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat?, benarnya adalah dari elit oleh elit untuk elit. Atau benar kata presiden Rutherford B.Hayes (1876) dimana sesuai dengan kondisinya demokrasi adalah " from the company, by company, and for the company”.

Bagaimana mau suara mayoritas bilamana 230 juta lebih penduduk Indonesia ternyata diwakili hanya sekitar 500 orang di senayan. Anggota dewan yang terhormat tersebut pun tidak berdaulat sepenuhnya, karena yang berdaulat adalah kaum kapitalis yang bermain cantik dibelakang. Disaat rakyat menolak kenaikan BBM, namun BBM tetap naik. Disaat rakyat menolak kenaikan TDL, namun TDL tetap naik. Ini kita tunggu saja, gedung baru jadi dibangun apa tidak.

Akibat demokrasi inilah harta kekayaan alam Indonesia dikuras oleh asing, terjadinya dekadensi moral, munculnya aliran-aliran sesat yang membahayakan akidah umat, merajalelanya korupsi, dsb. Kata indah pertumbuhan ekonomi yang katanya sampai sekian persen itupun hanya tipudaya, sebab yang terjadi dilapangan bukannya pemerataan kesejahteraan melainkan kekayaan milyuner yang semakin meroket dan rakyat miskin kondisinya sama saja.

Atas nama demokrasi inilah Amerika Serikat menggaungkan ideologi globalnya atau global state. Masih ingatkah statement mantan presiden G. W. Bush: “Jika kita mau menyelamatkan negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi”. Itulah kenapa demokrasi hanya menguntungkan negara-negara penjajah.

Akrobatik demokrasi inilah yang telah mentorpedo FIS di aljazair saat partai Islam ini memenangkan pemilu secara mutlak. Demikian halnya demokrasi juga telah menghianati kemenangan partai Hamas di Palestina. Maka sudah menjadi keniscayaan bilamana umat sudah tidak lagi mempercayai janji manis demokrasi.

Terminologi apapun yang digunakan untuk membaca demokrasi, pastilah takkan bisa menghindarkan bahwasanya sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini adalah sistem kufur. Dimana kedaulatan (pembuat hukum) berada ditangan manusia, berbeda dengan Islam bahwa kedaulatan haruslah berada di tangan hukum syara’ (hukum Allah). Bagi “penikmat”nya, sebagaimana tercantum didalam Al-Qur’an (QS. Al-Maidah 44, 45, 47) dan dijelaskan oleh para mufassirin seperti halnya Imam Ath-Thabari, mendapat predikat fasik, dzalim atau mungkin bisa sampai kafir.

Olehnya, mutlak diperlukan adalah untuk merombak sistem negri ini, dari sistem sekulerisme yang memisahkan agama dengan kehidupan (Fashluddin ‘Anil Hayyah) diganti dengan sistem Islam. Hidup sejahtera dalam naungan khilafah.

Apa yang terjadi di gedung senayan, abainya para pemegang tampu kebijakan negri ini terhadap kesejahteraan rakyat merupakan buah dari sistem demokrasi ini. Tapi ini bukan sekedar urusan perut, melainkan juga tentang keimanan. Ini yang lebih utama. Wallahu a’lam.

Ali Mustofa Akbar; Ketua Riski Ngruki; Penulis Novel "Hari-Hari Indah Aktivis Dakwah"Website: mustofa.web.id; Email: [email protected]