Pendidikan itu sangat penting?
Di era 60-an, pada saat itu semua orang sangat mendewakan pendidikan, orang – orang desa maupun kota sangat bangga kalau anaknya bisa bersekolah bahkan bisa kuliah, karena memang pada masa itu buah pendidikan memang terasa nyata, orang – orang yang lulus kuliah dengan predikat sarjana bisa dengan mudah bekerja di perusahaan – perusahaan asing dan menjadi pegawai negeri sipil di institusi pemerintahan dengan kehidupan yang aman menerima gaji tiap bulan, tunjangan di hari raya serta pensiun di masa tua.
Ini menginspirasi para orang tua untuk menyekolahkan anak – anaknya dan mendoktrin anak – anak mereka agar bersekolah yang rajin, raih prestasi gemilang dan dapatkan pekerjaan yang bagus sehingga bahagia di hari nanti, secara umum memang ini kelihatan bagus namun setelah kita pelajari lebih dalam terlihatlah kekurangan sana – sini, dari proses seperti ini yang berkelanjutan lahirlah generasi muda yang datang ke sekolah hanya dengan satu tujuan mendapatkan nilai bagus, terbentuklah opini baru kalau tidak sekolah tidak berhasil, kalau nilai jelek artinya bodoh dan tidak bisa jadi apa – apa.Anak – anakpun seolah-olah merasa tertekan dengan kondisi seperti ini, mereka merasakan sekolah layaknya penjara kehidupan dapat liburan sehari mereka merasa bebas, mendengar kabar guru sakit mereka melakukan sujud syukur.
Tidak hanya para orang tua para guru serta perangkat pendidikanpun juga membentuk paradigma yang sama kalau pendidikan di sekolah adalah segala – galanya, tidak naik kelas berarti bodoh, dari berbagai hal tersebut lahirlah paradigma bagi para siswa kalau pendidikan itu untuk mendapatkan nilai yang bagus dari sana timbullah kreatifitas bagi sebagian siswa yang tidak punya hobi belajar tapi ingin dapat memperoleh nilai bagus, menconteklah menjadi solusi dari sinilah para siswa belajar bagaimana mendapatkan sesuatu dengan instan tanpa usaha, pola pendidikan ini bak lingkaran setan yang terus bergerak tanpa henti dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga menghasilkan suatu pemahaman kalau tujuan pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus dan ujung – ujungnya adalah mendapatkan banyak uang adalah hasil akhir pendidikan.
1998 krisis ekonomi melanda bangsa indonesia banyak pegawai perusahaan yang di PHK dan akhirnya menjadi pengangguran karena tidak bisa apa – apa, tidak punya skill dan nyali karena mereka di sekolah dulunya hanya di didik untuk mendapatkan nilai bagus dan pekerjaan yang layak, setelah pekerjaan hilang hidup menjadi pengangguran tak sedikit dari mereka yang menjadi gila bahkan sampai bunuh diri.
Waktu terus berlanjut walaupun sudah banyak terlihat hasil dari pendidikan, sederet nama bertitel sarjana masuk kedalam daftar pengangguran, menganggur adalah solusi karena mau jadi kuli gengsi, ingin punya pekerjaan sendiri sayangnya tidak punya skil serta potensi.Yang bertahan di institusi pemerintahanpun mulai merasa jengah karena di sebabkan kebutuhan pokok yang semakin melonjak mahal mau kerja sampingan tidak punya ke ahlian akhirnya ambil keputusan korupsi jadi solusi.
Akhirnya lambat laun orang – orang sudah tidak merasa penting lagi dengan pendidikan, mereka bosan melihat para sarjana lulusan perguruan tinggi tapi jadi pengangguran karena susahnya mencari pekerjaan ketatnya persaingan untuk mendapatkan gelar pegawai negeri sipil.
Melihat kondisi seperti ini pola pendidikan bukannya berubah tapi tetap bertahan dengan doktrin kunonya "rajin belajar, dapatkan nilai yang bagus dan cari pekerjaan yang aman", "kalau nilai jelek berarti bodoh". Doktrin kuno ini sampai sekarang tetap saja menghantui generasi muda dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi sehingga mereka berlomba – lomba datang ke perguruan tinggi untuk mendapatkan nilai bagus dan final destinationnya adalah dapat pekerjaan yang aman dengan gaji yang mencukupi, kalau merasa kurang dengan uangnnya tinggal korupsi.
Sebuah arus perputaran antar generasi yang memprihatinkan, itulah kebanyakan buah dari pendidikan yang selama ini terus berlanjut di negeri kita, membuat sebagian orang merasa tidak penting lagi dengan pendidikan, banyak dari orang tua yang menyuruh anaknya untuk langsung bekerja setelah tamat sekolah dasar atau menengah tingkat pertama.
Pintu yang tertutup pasti ada kunci untuk membukanya, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, begitupun dengan pendidikan di bangsa ini juga pasti ada solusinya. Solusinya adalah kembali kepada diri kita sendiri, bagaimana kita memahami arti dari sebuah pendidikan dan belajar, mengubah paradigma kita kalau pendidikan bukan hanya untuk memperoleh nilai tapi yang lebih penting dari pendidikan adalah mencari potensi yang tersembunyi dalam diri, menemukannya, memupuk serta mengembangkannya.
Belajar memaknai kehidupan mengenali diri sediri, menganalisa setiap kekurangan dan belajar bagaimana mengubah kekurangan menjadi kekuatan, mensinergikan kekuatan spritual dengan intelektual sehingga melahirkan pribadi yang kuat secara mental dalam menghadapi perjalanan panjang kehidupan ini.
Memaknai RESIKO dan keGAGALan sebagai bagian dari pendidikan, sehingga lahirlah generasi tangguh tak mudah frustasi ketika ujian kehidupan datang, Generasi penuh kreatifitas yang tidak hanya menjadikan bekerja sebagai pegawai di institusi negara dan jadi tukang hitung berotak udang di perusahaan asing, sebagai satu – satunya tujuan akhir karena mereka punya skil dan potensi yang bisa di manfaatkan.
Profil penulis:
Agus Ariwibowo; Mahasiswa Pendidikan Matematika, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009 , Kaderisasi KAMMI Komsat UIN Syarif Hidayatullah 2010 – 2011