Umat Islam itu ibarat satu tubuh. Tidak mungkin anggota tubuh yang satu menyakiti anggota tubuh yang lain, karena ketika ia menyakiti yang lain sesungguhnya ia merusak dirinya sendiri. Umat Islam itu adalah shaf dalam shalat. Siapa yang shalat di luar shaf, maka tidaklah ia disebut mendirikan shalat berjamaah. Umat Islam itu seperti sebuah pohon yang tumbuh ke arah asal cahaya. Setiap bagian dari pohon itu akan menyesuaikan diri agar pohon itu tetap tumbuh karena mendapatkan cahaya.
Hanya ada satu bendera Islam dalam Perang Badar yang legendaris, bukan bendera Muhajirin dan Anshar. Hanya ada satu Pasukan Islam ketika panglima perang kebanggaan kaum muslimin Khalid bin Walid menyerahkan kepanglimaannya kepada Abu Ubaidah, bukan Pasukan Khalid dan Pasukan Ibnu Jarrah. Ketika Khalid ditanya kenapa begitu entengnya melepas pangkatnya dari seorang panglima menjadi seorang prajurit atas titah Khalifah Umar, ia hanya menjawab, “ Aku berperang bukan untuk Umar, tetapi untuk Tuhannya Umar”. Satu yang terpikir oleh Umar ketika melihat kaum muslimin shalat malam di Bulan Ramadhan sendiri-sendiri di dalam mesjid, yaitu mempersatukannya dalam satu jamaah. Hanya umat bersatu yang layak menerima anugerah dari ALLAH ketika mereka bisa memangku tanah suci Yerussalem. Sampai detik ini, anugerah itu belum diberikan kembali selepas terakhir umat masih bersatu dalam naungan khilafah. Ketika yang lain belum berani untuk tidak mengharap belas kasih Belanda, Sarekat Islam dengan lantang mengenalkan kata “kemerdekaan” bagi bangsa yang belum punya pilihan lain selain dari menuruti bahasa penjajah. Sarekat Islam ini yang dalam 4 tahun setelah berdirinya memiliki kader 700.000 orang yang tersebar di 180 cabang, sungguh sulit dibayangkan ini terjadi di masa itu tanpa keinsafan akan persatuan umat. Dalam hal aspirasi politik, Majelis Syura Muslimin Indonesia adalah yang pertama dan terakhir hingga saat ini yang mampu mepersatukan umat dalam satu wadah partisipasi politik.
Kemuliaan atau kehinaan kah yang menimpa Bani Israil ketika mereka terpecah-pecah menjadi 12 suku? Kapan kediktatoran mulai dikenal bangsa ini selain ketika Sukarno, Si Langit, dan Hatta, Si Bumi yang semula bersatu dalam Dwitunggal harus berpisah? Kenapa selama tiga abad bangsa Indonesia tidak mampu menggapai mimpi menjadi bangsa merdeka, sedangkan hanya dalam waktu tidak lebih dari 20 tahun sejak Sumpah Pemuda, kesadaran persatuan umat menjadi satu-satunya senjata yang tidak mampu direbut musuh dari tangan pejuang bangsa?
Pahamkah kita bahwa rukun Islam yang lima mengajarkan persatuan? Apa alasan Rasulullah SAW membangun masjid sebagai institusi pertama dalam pembangunan negara selain dari menjadikan persatuan umat sebagai syarat dari segala syarat pembangunan? Bagaimana begitu mudahnya terlupa oleh kita bahwa kita bersatu ketika di dalam masjid tetapi terpisah-pisah setelah keluar dari rumah ALLAH? Bila begitu cepatnya kita membalas cacian dengan cacian, maka teladan apa yang kita dapati dari Rasulullah SAW yang melembutkan makanan sebelum menyuapkannya ke mulut nenek buta beragama yahudi yang melontarkan hinaan dan prasangka kejelekan kepada pribadi lembut di hadapannya? Bila begitu cepatnya hati kita berbalik dan gesitnya lidah kita menularkan berita keruh mengenai saudara kita, maka tidak sampaikah kepada kita kisah Ummu Ayyub dan Abu Ayyub menyikapi kabar Ummul Mukminin Aisyah r.a? Belum cukupkah sindiran yang ALLAH berikan ketika lamanya kedatangan wahyu untuk menenangkan hati kaum muslimin karena lamanya pula hati mereka tak berpaling untuk tidak menyisakan sedikit prasangka?
Dosa pertama yang diperbuat makhluk adalah merasa dirinya lebih baik dari yang lain dan tidak mau mengakui kelebihan yang lain. Inikah belenggu yang menahan kita untuk menggandeng saudara-saudara kita seiman? Bagaimana bisa hati kita masih tenang jika Rasulullah SAW sendiri menjanjikan bahwa haramnya surga bagi mereka yang masih memelihara kesombongan sebiji atom di hatinya. Bila kita mengaku sebagai umat yang mencintai Rasulullah SAW, adakah menetes air mata kita jika di akhir hayatnya, Rasulullah SAW lebih mengkhawatirkan umatnya ketimbang sakratul mautnya? Beranikah kita memandang Rasulullah SAW di Hari Kiamat kelak jika kita membiarkan kesedihan terbesar Beliau, sosok yang rasanya lebih baik kita kehilangan dunia beserta isinya ketimbang melihat guratan sedih di wajahnya karena ulah kita? Kurang lugaskah peringatan Rasulullah mengenai umat yang banyak tetapi layaknya buih dan hidangan yang disantap dari segala penjuru? Belum cukupkah pengorbanan saudara-saudara kita di Palestina menyadarkan kita untuk bersatu? Bila kita mengeluh saudara-saudara kita di Arab belum mampu merapatkan shaf untuk menjadi makmum perjuangan saudaranya di Palestina, maka apa pula sikap kita, bila masih kita dapati shaf renggang di sebelah kita? Begitu rincikah rencana kita untuk mewujudkan kebangkitan umat bila kita masih membiarkan alinea tetap kosong untuk agenda persatuan umat?
“ Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali ALLAH, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat ALLAH kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu ALLAH mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan kamu berada di tepi jurang neraka, lalu ALLAH menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, ALLAH menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imran 103) “ Sesungguhnya ALLAH mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Q.S. Ash Shaf 4)
Kita boleh belajar Al Quran dan Hadis dari saudara-saudara kita di Arab, tetapi mungkinkah mereka ‘belajar’ dua ayat Al Quran ini dari saudara-saudaranya di Indonesia? Perbedaan boleh lah dicari, tetapi tanpa dicari pun perbendaharaannya sudah banyak. Yang patut dicari sebenarnya adalah warisan terpendam Umat Islam, persatuan!
Profil Penulis :
Ibnu Kahfi Bachtiar, Mahasiswa S2 bidang energi terbarukan pada Universitas Oldenburg (Jerman) , saat ini sedang menyelesaikan tesis di Forschungszentrum Juelich.