Menarik menerawang konstalasi politik dan keamanan ditahun 2011 ini. Khususnya yang berhubungan dengan dunia Islam. Jika menganalisis riak-riak fakta ditahun 2010 lalu, akan ada satu isu yang masih menjadi primadona. Isu yang begitu sensitive. Isu terorisme. Ya, ditahun 2011 ini isu terorisme kemungkinan besar akan mecuat lagi.
Prediksi ini beralasan. Pertama, karena terorisme masih dianggap isu yang efektif melumpuhkan gerak kelompok Islam yang tertuding (baca: difitnah) sebagai Islam garis keras.
Kedua, terorisme pun adalah opini yang efektif untuk mengalihkan isu. Ketika mencuat skandal bank century, tiba-tiba opininya tergantikan dengan kasus penangkapan gembong teroris Nurdin M. Top. Tidak menutup kemungkinan hal serupa pun akan terjadi untuk mengalihakan skandal-skandal besar yang kini mulai terkuak. Kasus Gayus misalnya.
Ketiga, beberapa waktu yang lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kepolisian mengadakan Halqah Nasional Penanggulangan Terorisme (HNPT). Menurut berita yang dilansir langsung di situs resmi MUI, kegiatan serupa akan dilakukan diberbagai daerah. Seperti Solo, Surabaya, Palu, Medan, dan provinsi lainnya.
Disini tampak jelas, bahwa isu terorisme akan kembali dimunculkan sepanjang tahun 2011. Dan bisa pula diprediksi, senandung lama akan diperdendangkan kembali. Terorisme akan kembali diidentikkan dengan Islam. Perawakan pelakunya pun sangat islami. Entah dari nama atau cara berbusana. Dan biasanya mereka melakukan aksinya dengan alasan menggelorakan jihad.
Terorisme dan jihad. Dua kata yang sudah sangat lekat. Jihadis adalah teroris. Teroris adalah kelompok jihadis. Inilah opini miring yang berkembang sekarang. Padahal tak bisa dipungkiri, jihad adalah salah satu amalan termulia dalam Islam. Sayangnya amalan suci ini terlanjur disangkutpautkan dengan aktifitas terorisme.
Maka muncullah kalangan “Islam moderat”. Mereka tak berani menafikkan jihad. Karena tak ada yang berbeda pendapat, jihad bagian dari syariat Islam. Mereka pun tak ingin dikatakan islam fundamentalis-radikal, jika mengatakan jihad (perang) memang wajib adanya. Maka diplintirlah makna jihad dari makna sebenarnya. Mereka memaknai jihad sebagai upaya mengerahkan kemapuan untuk meraih tujuan. Jadi bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu maka itulah jihad.
Memang begitu makna jihad dari tafsiran bahasanya. Mengerahkan kemampuan. Tapi tidak begitu makna jihad jika ditinjau dari makna syar’i. Jihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik langsung atau membantu dengan harta, pandangan, memperbanyak jumlah pasukan ataupun yang lain. Begitulah fukaha mazhab hanafi berpendapat tentang makna jihad.
Senada dengan makna itu. Jihad adalah perang orang Islam melawan kaum kafir yang tidak mempunyai perjanjian untuk menegakkan kalimat Allah atau keikutsertaannya untuk berperang atau masuk ke negerinya (kaum kafir) untuk berperang. Inilah makna jihad dari fukaha mazhab Maliki.
Jadi makna syar’i jihad adalah berperang. Dan inilah makna yang harus diambil. Karena makna “mengerahkan kemampuan” hanyalah makna bahasa bukan makna syar’i. Mendudukkan makna jihad sebagai perang inilah yang banyak terlupa. Tampaknya masih banyak yang takut jika Islam tercitra sebagai agama barbar dan agama perang. Lantaran menganjurkan umatnya untuk berjihad.
Inilah logika yang salah. Jika hanya karena jihad Islam dicitrakan sebagai agama perang yang tidak cinta akan kedamaian. Lalu bagaimana dengan negara yang jelas-jelas memiliki angkatan bersenjata? Termasuk Indonesia di dalamnya. Mereka memiliki angkatan perang. Dan jelas keberadaan angkartan perang dipersiapkan untuk berperang. Nah apakah kesimpulan yang benar jika kita mengatakan Indonesia adalah negara maniak perang? Tentu saja tidak.
Jadi peperangan merupakan hal yang lumrah dalam peradaban manusia. Termasuk dalam peradaban Islam. Jihad sebuah keniscayaan. Tapi ada yang khas dari jihad. Jihad memang perang. Namun berbeda dengan perang yang sering dipertontonkan pada kita saat ini. Jihad berbeda dengan imperialisme.
Perbedaan itu sangat tampak dari motif digelorakannya jihad. Berkobarnya jihad didorong oleh keinginan untuk mentaati perintah Allah SWT. Kemurnian niat ini menjadi penentu diterima amalan jihad seseorang. Sementara imperialisme dibangun diatas nafsu manusia yang cenderung pada kerusakan.
Tujuannya pun berbeda. Imperialisme jelas bertujuan untuk menjarah dan menindas negeri jajahan. Seperti yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, 350 tahun lamanya. Sementara tujuan jihad tidak lain adalah mengawal dakwah, menyebarkan Islam ke seluruh pejuru dunia. Saat aktifitas dakwah mendapat tantangan, dan tantangan itu berupa tantangan fisik, maka ia harus dihadapi dengan kekuatan fisik pula. Disinilah jihad mengambil peran.
Dari perspektif metode pun sangat berbeda. Lihatlah bagaimana imperlialisme yang dilakoni negara-negara penjajah pada perang dunia I dan II. Jutaan nyawa harus melayang. Dan penderitaan hidup berkepanjangan pun dirasakan. Ledakan bom atom di Jepang menewaskan setidaknya tiga juta warga sipil. Inilah buah dari imperialisme yang berpondasi pada nafsu ketamakan manusia.
Jihad, tentu berbeda. Sebelum jihad dikumandangkan ada aktifitas yang harus dilakukan. Orang yang belum berislam, akan diajak untuk memeluk Islam. Jika mereka tidak mau dan tetap teguh pada agama lamanya, maka mereka ditawari masuk dalam negara khilafah dan membayar jizyah (semacam pajak). Jika tetap menolak barulah diserukan jihad atas mereka.
Tapi ingat, jihad bukanlah perang barbar. Jihad bukanlah dalam rangka memerangi rakyat setempat tanpa ampun. Tapi jihad hanya untuk menghilangkan halangan fisik. Dalam jihad Islam melarang membunuh orang-orang yang bukan termasuk tentara perang. Seperti anak kecil, wanita, orang tua dan para rahib di gereja. Tawanan perang pun diperlakukan dengan baik.
Nah perbedaan tujuan dan metode ini jelas menghasilkan hasil yang berbeda. Imperlalisme hanya meninggalkan duka derita di negeri jajahan. Sementara jihad akan memberikan kebaikan kepada semua manusia. Setelah sebuah negeri ditaklukan dengan jihad, maka negeri tersebut menjadi bagian dari negara Islam (khilafah). Pada mereka diterapkan syariat Islam yang menjamin kesejahteraan dan keadilan. Negara wajib menjamin kebutuhan seluruh rakyatnya tanpa melihat lagi, apakah dia negeri yang ditaklukkan atau bukan.
Inilah potret indah dari negara Islam dengan semangat jihadnya. Elok rupa negara Islam ini jarang dilukiskan di hadapan kita. Selalu saja jihad dikonotasikan sebagai sebuah perang yang menjajah. Mengapa kita tidak pernah memandang jihad dari perspektif yang benar? Melihat jihad sebagai amalan seorang hamba yang telah meletakkan kecintaan tertingginya kepada Allah SWT. Hingga ketika Allah menyeru untuk mengorbankan jiwa demi tegaknya agama Allah SWT mereka pun dengan ikhlas menyambut seruan itu.
Jangan lagi kita memandang jihad sebagai aktifitas penuh dendam. Tidak, jihad tidak seperti itu. Justur jihad dipenuhi dengan rasa cinta. Cinta yang mewujud pada ketidak relaan melihat kemungkaran dan kekufuran merajai dunia. Maka tidak berlebihan jika saya mengatakan, Jihad adalah sebuah pembuktian cinta. Bukti cinta pada Allah SWT dan Makhluk-Nya.
Penulis : Adi WIjaya
Advisory Staf Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Daerah Makassar