Munas PKS yang berlangsung Juni 2010 lalu, di Hotel Ritz Carlton, salah satu keputusan yang terpeting, bahwa PKS menjadi ‘Partai Terbuka’. PKS tidak lagi menjadi partai yang sifatnya ‘eksklusif’, tetapi menjadi partai yang ‘inklusif’. Terbuka bagi seluruh golongan bangsa.
PKS mengubah jargonnya yang sudah melekat dikalangan kader dan umat, yaitu bersih, peduli, dan profesional, menjadi ‘Partai Pekerja’. Karena itu, di spanduk-spanduk yang terpampang di Jakarta, bunyinya, seperti : "Bekerja Untuk Indonesia Adalah Ibadah", atau ada :"Mari Bekerja Untuk Jakarta".
Secara perlahan dan jelas, terjadi perubahan yang mendasar, dari sikap dan orientasi PKS, yang dulunya merupakan metamorfose dari PK (Partai Keadilan), yang menjadikan dakwah, sebagai ‘ruh’ dalam berpartai dan berpolitik, perlahan-perlahan, mulai ditinggalkan.
Sementara itu, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nurwahid, yang hadir di dalam acara refleksi akhir tahun 2010, yang dihadiri para pengurus PKS, Luthfie Hasan Ishak (Presiden PKS), Anis Matta (Sekjen PKS), Untung Wahono (Ketua MPP), dan sejumlah pengurus lainnya, menegaskan bahwa PKS harus kembali ke jati dirinya sebagai partai dakwah, ucapnya.
Dalam siaran pers DPP PKS yang diterima, Senin (27/12), Hidayat mengatakan, kembali ke jati diri PKS sebagai partai dakwah adalah sumber loyalitas kader dan konstituen untuk menghindari gejala deparpolisasi atau menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol.
Pernyataan Hidayat Nurwahid itu, menanggapi hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang disampaikan Burhanuddin Muhtadi dalam Refleksi Akhir Tahun 2010 PKS yang diselenggarakan di Hotel Shaid Jakarta, Minggu (26/12).
Burhanuddin juga menyampaikan catatan LSI mengenai tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu yang cenderung terus mengalami penurunan. Pada Pemilu 1999, jumlah pemilih tercatat sebanyak 92 persen, pada 2004 tercatat 84 persen dan pada Pemilu 2009 menurun lagi menjadi 71 persen.
Menurut mantan Ketua MPR RI itu, karena prinsip Islam bersifat universal, maka perlu diterjemahkan dalam program aksi yang konkret untuk kepentingan seluruh rakyat, sehingga fungsi dan kiprah partai bisa dirasakan.
Pertanyaannya, ketika Allah Swt memberi "kemenangan" bagi perjuangan PKS dalam menyuarakan aspirasi politik umat Islam, apakah para aktivisnya tetap istiqomah dalam memperjuangkan Islam?
Adakah ketika para "Pejuang Politik" Islam ini telah "diberkahi" dengan kekuasaan dan kekayaan, apakah mereka masih istiqomah dalam memperjuangkan Islam?
Ketika para Ustadz dan Murabbi pengusung "Da’wah Politik" Islam ini telah menjadi pejabat publik, baik anggota DPR-DPRD, Gubernur, Walikota atau tokoh-tokoh politik, masihkah mereka istiqomah dalam memperjuangkan Islam?
Masihkah mereka istiqomah menyuarakan Islam, jargon-jargon perjuangan Islam, simbol-simbol Islam dan nilai-nilai Islam?
Masihkah mereka setia pada para "Mad’u" yang mereka ajak untuk memperjuangkan Islam dengan mengatasnamakan da’wah Islam?
Sekarang, benarkah para aktivis da’wah ini masih istiqomah dalam perjuangan Islam? Pertanyaan ini menjadi semakin keras disuarakan umat, terutama para kader dan simpatisan, di antaranya:
– Aktivis PKS jarang terdengar -atau bahkan tidak terdengar lagi- menyuarakan PKS sebagai Partai Dakwah. Mereka bahkan mulai menggunakan istilah "PKS Partai Terbuka" untuk menggantikan "PKS Partai Islam".
– Simbol-simbol sebagai aktivis da’wah Islam mulai pudar. Lagu-lagu Nasyid yang mengiringi acara seremonial telah berubah menjadi lagu-lagu pop, gambar perempuan-perempuan berjilbab digantikan wanita-wanita yang memperlihatkan auratnya, bahkan wajah-wajah para Ustadz semakin klimis karena mencukur jenggotnya sampai habis.
– Wacana-wacana Islam yang dulu digembar-gemborkan telah berubah menjadi wacana-wacana yang sarat bernuansa nasionalisme. Apakah para Ustadz itu lupa bahwa nasionalisme merupakan derivat dari ash-shabiyyah yang berujung pada menomorduakan Islam?
– Untuk memperoleh dukungan luas, mereka mengembangkan koalisi yang dijustifikasi dengan bahasa Arab "musyarakah". Banyak kepentingan Islam yang harus dikorbankan, salah satunya adalah "jangan menyuarakan Islam secara terang-terangan".
Tentunya para aktivis PKS akan menyatakan bahwa mereka masih tetap istiqomah dalam memperjuangan Islam. Para kader dan simpatisan juga berharap begitu. Karena itu, seruan Hidayat Nurwahid -mantan Presiden PKS- ini sudah menjadi relevan.
Apa yang disampaikan Hidayat Nurwahid tentu bukan hal yang biasa. Apalagi di tengah hingar-bingar politik negeri ini parpol yang menyebut dirinya Partai Islam atau berbasis masa Islam kurang menunjukkan warna keislamannya dengan jelas.
+++
Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup, dan kami menyampaikan terima kasih atas perhatiannya para rubrik dialog sebelumnya.