Ada yang cukup menggemparkan di dunia politik Islam pada pekan lalu. Seorang anggota legislatif Partai Keadilan Sejahtera atau PKS dari komisi III, Nasir Djamil, sempat mengutip Al-Kitab Mathius pada acara pandangan umum fraksi RUU Peradilan Anak. “Perlakuan terhadap anak-anak menjadi cerminan kesetiaan umat Kristiani terhadap Tuhan sebagaimana dalam Mathius 18 ayat 5,” ucap aleg dari daerah pemilihan Aceh ini.
Seusai sidang, Nasir menjelaskan bahwa penyebutan kutipan dari Al-Mathius itu menunjukkan bahwa dirinya sebagai sosok yang inklusif. “Saya ini alumnus IAIN (Ar-Raniry Banda Aceh), menghadirkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin,” ucap Nasir kepada wartawan.
Kata inklusif atau terbuka sepertinya ingin ditunjukkan secara sengaja oleh Nasir dan PKS bahwa partai yang masih berazaz Islam ini bukan milik orang Islam saja, apalagi hanya para aktivis Islam, melainkan juga milik orang kristen dan warga lain di negeri ini.
Gebrakan yang kalau mau dianggap sebagai sebuah strategi pencitraan ini memang bukan hal baru yang telah dimunculkan PKS. Jauh sebelum ini, isu partai terbuka sudah digaungkan Sekjen PKS, Anis Matta ketika acara Mukernas di Bali. Dan penunjukkan Bali sebagai tempat acara memberikan sinyal kuat bahwa PKS tidak main-main ingin mengubah diri sebagai partai terbuka.
Begitu pun ketika Munas di Jakarta tahun lalu. Hotel Ritz Carlton yang menjadi tempat acara, sulit disangkal sebagai simbol ‘pertemanan baru’ antara PKS dengan Amerika yang selama ini kerap dianggap musuh aktivis Islam di PKS.
Para elit PKS yang mengusung strategi ini menganggap bahwa dukungan dari kalangan Islam saja sulit untuk menjadikan PKS sebagai partai besar dengan target 20 persen suara waktu itu. Karena dari beberapa pemilu sebelumnya, perolehan suara partai-partai Islam selalu berada di bawah partai nasionalis sekuler seperti Demokrat, Golkar, dan PDIP.
Masalahnya, jatidiri PKS baik secara historis dan ideologis, sulit dipisahkan sebagai sebuah gerakan Islam yang terbingkai dan terpandu dengan nilai-nilai Islam yang kental. Di mana kader-kader PKS selalu didoktrin bahwa partai adalah sarana dakwah, bukan sekadar arena berpolitik praktis yang dilakukan oleh para elitnya.
Dari sisi ini, kesenjangan antara strategi pencitraan yang inklusif ala elit PKS seperti Nasir Djamil, Anis Matta, dan Hilmi Aminuddin yang kerap memunculkan kontroversi tersebut sulit akan mendapatkan titik temu ketika pada saat bersamaan PKS juga sebagai media perjuangan aktivis Islam.
Tidak heran jika ada orang awam akan berkomentar, “Mau nangkap burung yang di pohon, malah yang di tangan dilepas!”
**
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang telah menyampaikan komentar dan saran pada edisi lalu. Semoga bermanfaat untuk kita semua.