Munculnya format koalisi baru partai-partai pendukung pemerintahan SBY, sedikit banyak memunculkan pro-kontra di elit dan masyarakat.
Di satu sisi, kemunculan Golkar sebagai posisi nomor dua setelah SBY menyudutkan, kalau tidak dibilang menyakitkan, partai-partai koalisi yang merupakan partai Islam. Di sisi lain, posisi tawar partai-partai Islam kenyataannya memang berada di bawah posisi tawar partai Golkar.
Dari kenyataan ini, hampir tak satu pun elit partai-partai Islam yang berkomentar kritis terhadap format koalisi baru ini. Padahal kenyataannya, posisi Golkar yang diwakilkan Abu Rizal Bakri sebagai ketua harian koalisi bisa dibilang menyalib posisi partai-partai Islam yang sudah berjuang keras untuk kemenangan SBY.
Dilihat dari proses pembentukannya pun, partai peserta koalisi mulai dari PKS, PAN, PPP, PKB tidak diajak bicara. Mereka tiba-tiba diundang ke Cikeas untuk menghadiri penandatanganan format baru koalisi yang disebut dengan Sekretariat Gabungan atau Setgab.
Tidak heran jika pembentukan Setgab ini dikritisi oleh politisi PKS, Fachri Hamzah. Menurutnya kepada sejumlah wartawan, PKS tidak dilibatkan dalam pembicaraan pembentukan Setgab ini. Kecuali sebatas penandatanganan di Cikeas. Karena itu, menurut Fachri, PKS paling dirugikan dengan Setgab ini karena di banding partai-partai koalisi lain, PKS lah yang paling ‘berkeringat’.
Apa yang diucapkan Fachri memang ada benarnya. Koalisi PKS dengan SBY bukan terjadi sejak tahun 2009, tapi sudah sejak tahun 2004. Saat itu, Golkar justru menganggap JK sebagai ‘anak haram’.
Begitu pun dengan pemilu 2009, PKS lah yang paling sibuk memenangkan SBY di tingkat grash root dengan membentuk tim relawan sebagai saksi di pilpres 2009 di hampir seluruh kota-kota besar yang bisa dijangkau jaringan kader PKS. Bahkan, menjelang pilpres 2009, di mana-mana terpampang spanduk : "SBY Presidenku, PKS Partaiku".
Namun, keprihatinan ini tidak tersampaikan secara utuh dari statemen para elit partai-partai Islam. Mereka seperti tidak ingin mempersoalkan Setgab ini. Bagi mereka, Setgab tidak lebih dari upaya membangun koordinasi baru untuk kelancaran koalisi. Dan posisi Abu Rizal Bakri, hanya sebagai fasilitator yang tidak punya kewenangan komando.
Jadi, seperti apakah mestinya sikap partai-partai Islam khususnya PKS dalam menyikapi Setgab yang dipimpin SBY dan Abu Rizal Bakri ini?
Beranikah mereka memunculkan posisi tawar yang lebih tinggi dari Golkar, atau diam seperti sekarang? Dan, beranikah mereka keluar dari Kabinet SBY, dan menjadi oposisi, atau tetap memilih berada di dalam kabinet?
**
Redaksi mengajak pembaca untuk menyampaikan komentar dan sarannya pada dialog ini. Kami juga menyampaikan terima kasih atas partisipasi pembaca pada dialog sebelumnya. Semoga bisa bermanfaat untuk kita semua.