Melihat kebelakang, acara deklarasi SBY-Boediono di gedung Sabuga (Sasana Budaya Ganesha), yang penuh dengan gemerlap, dan mirip acara Partai Demokrat AS, yang meresmikan pasangan Obama dan Joseph Biden, maka suatu pameran kemewahan, di tengah-tengah penderitaan jutaan rakyat Indonesia. Pakar komunikasi politik UI, Dr. Effendi Gazali, melalui berbagai media, mengirimkan pesan, jika acara mewah itu, mereka tidak pro-rakyat miskin, ucapnya.
Entah berkaitan atau tidak, tidak dimilikinya empati dalam acara mewah itu, sejalan dengan konsep-konsep IMF yang sejak tahun 1998, menawarkan konsep-konsep yang banyak ‘membunuh’ jutaan rakyat miskin di negeri ini. Walau Boediono membantah dirinya sebagai agen IMF, namun banyak konferensi pers yang dia gelar sebagai pejabat Gubernur BI dan Menko Ekuin dahulu yang menyatakan sebaliknya.
Dalam artikel berjudul ‘Jalan Liberal Pak Boed’ (Media Indonesia, 28 Februari 2007), ekonom Revrisond Baswir, menulis komentar, pidato pengukuhan Dr. Boediono sebagai guru besar ekonomi UGM Yogyakarta, setebal 28 halaman, ternyata mengacuhkan sistem perekonomian kolonial yang sudah berjalan berabad-abad. “Era kolonial adalah ialah bagian teramat penting dari sejarah perekonomian Indonesia. Ia tidak hanya penting karena berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, ia juga penting sebab aspek ekonomi adalah aspek utama kolonialisme”, ungkapnya.
Baswir menambahkan, Boediono melupakan kenyataan sejarah, jika berakhirnya era Soekarno itu, bukan semata-mata krisis ekonomi, namun disebabkan faktor utamanya adalah karena intervensi AS, IMF, dan World Bank, yang kemudian memicu krisis di Indonesia. Kepatuhan Indonesia kepada IMF,World Bank, dan ADB, yang kemudian menjadikan bangsa ini dari tahun ke tahun ke tahun menimbun utang kian banyak. Sementara pemerintahan SBY, mengklaim berhasil menurunkan utang. Dan, IMF bukan satu-satunya lembaga pengutang, selain IMF ada ADB, World Bank, dan sebagainya.
Adalah Dani Setiawan, Ketua KAU (Koalisi Anti Utang), dalam artikel berjudul ‘Pernyataan SBY Soal Utang Luar Negeri Tidak Memihak Rakyat’, 7 April, 2009, memaparkan data-data valid yang dimilikinya yang ternyata menunjukkan, jika utang Indonesia bukannya bertambah kurang, tapi malah membengkak di era SBY. ‘Outstanding Utang Luar Negeri Indonesisa sejak tahun 2004-2009, terus meningkat dari Rp 1275 trilyun rupiah menjadi Rp 1667 trilyun rupiah (www.dmo.or.id).
Masih ditambah lagi utang dalam negeri dari 662 trilyun rupiah (2004) menjadi Rp 990 trilyun rupiah (2009). Artinya, pemerintah berhasil membawa Indonesia menjadi negara pengutang dengan penambahan kenaikan Rp 392 trilyun dalam kurun waktu lima tahun Artinya, peningkatan utang itu setiap tahunnya bertambah rata-rata 80 trilyun rupiah. Mengalahkan utang selama pemerintahan Soeharto jumlah utang yakni Rp 1500 trilyun rupiah dalam jangka waktu 32 tahun.
Ironisnya, kegemaran ngutang ini didukung para Neolib di sekelilingnya-ini di era SBY, dan tidak didukung oleh pembenahan pemerintah yang bersih. Sebab, belum lama ini hasil riset The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), yang diterbitkan April 2009, memaparkan temuan, jika Indonesia masih menjadi negara terkorup di Asia. Riset PERC tersebut dilakukan Maret 2009, terhadap 1700 responden pelaku bisnis di 14 negara Asia, ditambah Australia dan Amerika Serikat.
Masih sangat segar ingatan kita, deklarasi SBY-Boediono dalam bahasa simbol jelas menyampaikan pesan,jika mereka sangat terobsesi oleh Amerika Serikat, panglima kapitalisme dunia yang melahirkan gerakan Neo-lib, dan juga tidak memihak kaum miskin.
Kami mengharapkan pandangan dan pendapat dari para pembaca, bagaimana masa depan Indonesia, yang akan lebih baik dengan pemerintahan yang akan datang.
+++
Demikianlah, kami menyampaikan rasa terima kasih atas partisipasinya dalam ruang dialog sebelumnya, dan rubrik dialog sebelum kami tutup. Redaksi.