Tidak akan ada pergantian kepemimpinan Indonesia sampai 2014 nanti. Anak muda di Jakarta bilang pemimpin yang muncul, mereka sebut, 4 L (lu lagi – lu lagi). Tiga calon presiden dan wakil presiden adalah muka lama, yang semuanya pernah berkuasa, dan mengelola negara. Rakyat pun merasakan, hasil dari kebijakan yang mereka lakukan selama berkuasa. Tentu rakyat tidak dapat melupakan. Inilah mereka yang akan ikut di dalam pilpres nanti, di bulan Juli.
Pasangan Megawati-Letjen (Purn) Prabowo Subianto.
Diah Permata Megawati Seiawati Soekarnoputri, lahir di Jakarta,23 Januari 1947, dan merupakan Presiden Republik Indonesia, sejak 23 Juli 2001-20 Oktober 2004. Putri Presiden Soekarno ini merupakan wanita yang pertama menjadi presiden. Ayahya, Soekarno adalah pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), dan menganut ideologi Marhaenisme (Kerakyatan).
Letjen (Purn) Prabowo Subianto, lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951, adalah mantan Danjen Kopassus dan Panglima Kostrad. Putra Prof.Sumitro Djojohadikusumo, seorang tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) ini, pernah menjadi Menristek dan Menteri Perekonomian diawal Orde Baru, yang dipimpin oleh Soeharto. Dan, Prabowo Subianto, akhirnya juga diambil menantu oleh Presiden Soeharto. Prof. Sumitro, yang oleh sebagian kalangan dijuluki sebagai ‘Begawan ekonomi’, pernah ikut pembrontakan PRRI yang ‘didukung’ AS, karena berbeda sikap dengan Presiden Soekarno yang diangggap condong ke komunis.
Mega-Prabowo, mengusung isu ekonomi kerakyatan. Ketika mendeklarasikan pasangan capres-cawapres di TPST (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu) di Bantar Gebang, Bekasi, 24 Mei, kemarin. Deklarasi itu menjadi sarana kedua pasangan menunjukkan keberpihakan kepada rakyat kecil. Di tempat pembuangan sampah, kedua calon itu, menegaskan akan membangun ekonomi Indonesia yang berbasis perdesaan.
Selama Mega berkuasa, kebijakan yang diambil, menerbitkan UU No.19/2003 tentang BUMN, yang sangat pro-liberalisme dan imperialisme. Dan, salah satu agenda utama kubu imperialisme dunia, seperti AS, IMF, World Bank, adalah privatisi BUMN. Dengan adanya UU No.19/2003 Megawati memberikan landasan legal formal bagi privatisasi BUMN. Di zamannya Mega inilah asset negara habis dijual, termasuk diantara yang paling strategis bagi Indonesia,seperti Indosat. “Divestasi Indosat : Kebusukan Sebuah Rezim”. (Marwan Batubara, Iluni). Dan, waktun itu yang menjadi Menkeunya adalah Budiono.
Mega juga mengobral besar-besaran LNG Tangguh ke Cina, yang merugikan negara ratusan trilyun. Tim negosiasi dipimpin suami Mega,yaitu Taufiq Kemas. Kontrak LNG Tangguh dengan Cina disetujui tahun 2002. Waktu itu, kontrak dengan Cina harganya dipatok (hedge), seharga 2.4 dolar AS per mmbtu, dan ini merupakan nilai kontrak terendah sedunia, dan harga di flat selama 25 tahun. Padahal, pasaran LNG di pasaran internasional 20 dolar AS.
Dan, Mega juga memberikan R & D (release dan discharge) ‘pengampunan’ kepada sejumlah obligor, yang mempunyai utang kepada pemerintah terkait dengan BLBI. Amin Rais menulis, ‘Pada era Megawati ada korupsi yang bersifat state capture atau state hijack dalam bentuk pemberian R& D, sebuah penyelesaian di luar hukum itu, yang hakikatnya merupakan penyanderaan lembaga-lembaga pemerintah oleh sejumlah konglomerat bermasalah’. (hal.191)
Pasangan Jendral (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
SBY, lahir di Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949. Ayahnya Lettu R.Soekotjo dan ibundanya adalah Siti Habibah. Memang, SBY sejak muda, ketika di Akmil dikenal cerdas, sampai mengantarkannya ke AS, mengikuti pendidikan militer, dan bahkan mendapatkan master di sebuah universitas di AS, dan gelar doktor pertanian dari Institute Pertanian Bogor (IPB).
Untuk menggambarkan bagaimana pandangan sikap SBY terhadap AS, Amran Nasution, yang mantan redaktur di Gatra dan Tempo, dan sekarang aktif di IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta, menulis di Hidayatullah, yang berjudul ‘Sebuah Imperium Menunggu Rubuh’, antara lain, ‘Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, AS teramat sulit untuk dilupakan. Betapa tidak? Dalam merintis karir militer, ia mondar-mandir menuai ilmu di negeri itu. Ia sempat dua kali mengikuti program latihan militer di Fort Benning, Georgia, di tahun 1976 dan 1982. Lalu, Sekolah Staf dan Komando, 1991, ia tempuh di Fort Leavenworth, Kansas, tempat penggodokan para perwira yang amat bergengsi itu. Gelar S2, ia raih di Universitas di sana. Tentu, tak banyak perwira Indonesia yang begitu intens menimba ilmu dari negeri yang punyak pemenang nobel terbanyak di dunia itu.
Maka, dalam suatu kesempatan mengunjungi AS di tahun 2003, sebagai Menko Polkam, SBY berkata, ‘I love the United State, with all its faults. I consider it my second country’. (Saya cinta AS dengan segala kesalahannya. Saya menganggapnya negeri kedua saya). Lihat Aljazeera English – Archive, 6 Juli 2004). Tak heran, ketika aksi gemuruh di seluruh republik ini, yang menolak kunjungan Presiden AS, George W.Bush, tapi dengan wajah berseri Presiden SBY menerima kunjungan Presiden Bush di Istana Bogor. Ini hanyalah menggambarkan betapa SBY setia dengan AS.
Sementara, Boediono, lahir di Blitar, Jawa Timur, 25 1943. Ia menjadi Guru Besar Fakultas Ekonomi,di Universitas Gajah Mada. Doktor ekonomi bisnis, lulusan Whanton School University of Pennsylvania, AS, tahun 1979, pernah menjadi Menkeu di zamannya Megawati, dan Menko Ekuin di zamannya SBY. Terakhir menjadi Gubernur BI, menggantikan Burhanuddin Abdullah.
Langkah kebijakan yang diambil SBY-Boediono, lima tahun kedepan, memprioritaskan pertumbuhan ekonomi. Inilah yang akan menjadi kebijakannya, jika terpilih kembali.
Tentang Boediono, dalam artikel berjudul “ Jalan Liberal Pak Boed” (Media Indonesia, 28 Februari 2007), ekonom UGM, Revrisond Baswir, menulis jika pidato pengukuhan Boediono, sebagai guru besar ekonomi UGM, setebal 28 halaman dengan 24 sumber ternyata mengacuhkan sistem perekonomian colonial yang berjalan berabad-abad di negeri ini. Maka, Revrisond Baswir, menilai Boediono, ia telah melupakan kenyataan sejarah, jika berakhirnya Soekarno, bukan semata-mata krisis ekonomi, namun disebabkan intervensi AS, IMF, dan World Bank, yang memicu krisis ekonomi Indonesia.Hal ini juga dapat ditarik rentetan sejarah kejatuhan Soeharto. Namun, Boediono melihat hal itu hanyalah sebagai rentetan sejarah. Maka, sejak awal Boediono, dikenal bagian dari kelompok Neo-lib yang sudah mempunyai akar di Indonesia,yang dikenal dengan ‘Mafia Berkeley’.
Selanjutnya, dalam artikel berjudul “Pernyataan SBY Soal Utang Luar Negeri Tidak Memihak Rakyat”, (Koalisi Anti Utang, 7 April 2009), Ketua KAU, Dani Setiawan, memaparkan data-datra valid, yang menunjukkan utang Indonesia di zaman SBY, bukan berkurang, tapi malah membengkak. “Outstanding Utang Luar Negeri Indonesia 2004-2009, menjadi dari 1275 trilyun rupiah menjadi 1667 trilyun rupiah. Sementara itu, utang dalam negeri bertambah besar dari tahun 2004 berjumlah 662 trilyun rupiah, sekarang 2009 menjadi 920 trilyun rupiah. Artinya, peningkatan utang mencapai 392 trilyun.
Tentang pemberantasan korupsi, sekalipun, sudah digencarkan pemberantasan korupsi oleh KPK, posisi Indonesia tidak berubah, tetap menjadi negara terkorup di Asia, berdasarkan The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), yang dirilis April 2009.
Jadi, pasangan SBY-Boediono oleh berbagai kalangan dinilai sebagai simbol Neo-lib,yang kebijakan ekonominya tidak akan berpihak kepada rakyat kecil, dan lebih mengutamakan pasar. Namun, yang paling kontroversi, prosesi pendeklarasian pasangan capres dan cawapres SBY-Boediono, yang berlangsung di Gedung Sabuga, Bandung, mirip dengan hajatan Partai Demokrat di AS, yang mendeklarasikan Obama, saat menjelang pemilihan presiden AS. “Deklarasi SBY-Boediono menghamburkan uang dan tak merakyat”, ujar seorang yang mengirim pesan singkat di rubrik ‘Kata Kita’, harian Kompas 16 Mei 2009.
Jusuf Kalla-Jendral (Purn) Wiranto
H.Mohammad Jusuf Kalla, lahir di Watampone, 15 Mei 1942. Kalla dari pasangan Haji Kalla dan ibunya bernama Athirah. Sejak kecil dibesarkan dari keluarga pedagang Bugis, yang terkenal, dan keluarga kaya. Ketika, masih mahasiswa pernah ikut aktif di organisasi HMI, dan mempunyai hubungan dengan sejumlah tokoh-tokoh Islam. Ia tokoh yang pragmatis, dan memiliki respons yang cepat dalam mengambil tindakan. Kalla, sesudah menjadi wakil presiden, mengambil alih kepemimpinan Partai Golkar, dan kemudian menjadi Ketua Umum.
Jusuf Kalla, mengatakan bahwa pilpres mendatang merupakan pertarungan ideologi. “Pilpres mendatang bukan sekadar pilih orang, tetapi merupakan pertarungan ideologi. Apakah kita akan bisa tetap wujudkan kemandirian atau sebaliknya”, ucap Jusuf Kalla, dihadapan Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG), di Jakarta, Sabtu. (Republika, 24/5/2009).
Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Jendral (Purn) Wiranto ini, menegaskan kebijakannya mendatang yaitu kemandirian ekonomi. Di mana dibawah kepemimpinannya, jika terpilih, bertujuan membawa Indonesia memiliki kemandirian ekonomi, yang tidak lagi bergantung kepada asing. Inilah cita-cita Jusuf Kalla.
Ketika memerintah, Jusuf Kalla, berhasil menyelesaikan persoalan yang rumit dan kompleks, seperti konflik di Aceh, Ambon, dan Poso. Semuanya, karena pribadi Jusuf Kalla, yang lugas, cepat dan pragmatis, yang menyebabkan dapat menyelesaikan banyak masalah di Indonesia.
Namun, ada satu catatan khusus terhadap Jusuf Kalla berkaitan dengan perang melawan ‘terorisme’, Jusuf Kalla, misalnya, dalam wawancara dengan sebuah majalah berita mingguan meminta aparat intelijen untuk meneliti buku-buku karya cendekiawan Sayyid Quthb dan Hasan Al-Banna atas ‘bisikan’ dari Jafar Umar Thalib mantan Panglima Laskar Jihad. Padahal belum ada korelasi yang jelas yang bisa mengaitkan kasus-kasus teroris yang marak di Indonesia dengan buku-buku favorit para aktivis pergerakan Islam itu.
Memang, Indonesia sendiri pernah menghadapi tekanan internasional, berkaitan dengan ‘bumi hangus’ Timor-Timur oleh PBB, di mana sejumlah perwira militer dituduh melakukan pelanggaran HAM, termasuk Jendral Wiranto, yang waktu menjabat Panglima TNI. Tapi, pengadilan militer di Jakarta, terhadap sejumlah perwira militer, kenyataannya tak banyak perwira yang dihukum akibat pelanggaran HAM, dan kemudian dibebaskan.
Bersama dengan Jendral (Purn) Wiranto, mantan Panglima TNI, di zamannya Presiden Habibi, pasangan ini, mendeklarasikanya pasangan capres dan cawapres, di Tugu Proklamasi, dan sangat bersahaja. Pilihan di Tugu Proklamasi ini, karena ingin mencerminkan keduanya menjadi represantasi nusantara. Jusuf Kalla yang berasal dari Sulawesi dan Wiranto yang lahir 4 April 1947, di Solo, dapat mencerminkan bangsa Indonesia, yang majemuk dari Sabang sampai Merauke.
Demikianlah para pembaca sekilas latar belakang sederhana dari masing-masing capres dan cawapres, yang akan tampil di pilpres Juli mendatang. Adakah diantara ketiganya, masih ada yang dapat diharapkan akan membawa perbaikan dan mengeluarkan Indonesia dari jeratan krisis?
****
Kami mengucapkan terima kasih atas segala perhatiannya dan komentarnya di rubrik ini. Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup.