Pasca reformasi, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan besar di Indonesia mengalami demoralisasi. Peran kedua organisasi Islam itu dalam bidang sosial keagamaan semakin berkurang, karena perhatiannya tersita pada masalah politik.
Penilaian yang mengemuka dalam seminar, “Membincang Ulang Peran Sosial-Politik Organisasi Keagamaan” di Gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, Kamis (11/3). “Ada demorasilasi dalam tubuh NU dan Muhammadiyah pasca reformasi”, ujar Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Bahtiar Effendy, yang menjadi salah pembicara.
Sebenarnya keterlibatan ormas-ormas Islam dalam politik bukan hanya pasca reformasi, bahkan sudah jauh sebelum Indonesia merdeka. Sesudah Indonesia merdeka ormas-ormas Islam bergabung dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), yang kemudian menjadi sebuah partai politik, yang di deklarasikan di Yogyakarta, 1947. Partai Masyumi merupakan konfederasi dari ormas-ormas Islam, termasuk NU dan Muhammadiyah.
Tetapi Partai Masyumi yang menjadi wadah politik dari ormas-ormas Islam, masih mempunyai ghoyah (tujuan) yang jelas, menegakkan cita-cita Islam, ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Maka, sesudah Pemilu 1955, dan dengan perolehan suara Partai Masyumi, dan partai-partai Islam lainnya, termasuk NU, kala itu, yang suaranya mencapai 45 persen, mereka secara gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Meskipun, akhirnya gagal karena sikap Soekarno, yang menolaknya, dan membubarkan konstituante, di tahun 1959.
Pasca reformasi ini, keterlibatan ormas-ormas Islam dalam politik, serasa lebih jauh, dan sebagai puncaknya, terpilihnya Abdurrahman Wahid, yang memimpin ormas Nahdlatul Ulama (NU) menjaidi Presiden RI, di tahun 2000, saat Sidang Umum MPR. Kekuasaan yang dipegang Abdurrahman Wahid, tak berlangsung lama, dan ia diturunkan oleh MPR, karena adanya dugaan kasus Bulog dan Brunei gate.
Pada pemilu presiden tahun 2004, Ketua Umum NU, Hasyim Muzadi, terjun ke ranah politik, dan tanpa mempedulikan dhowabit (patokan) syar’i, menjadi calon wakil presiden, mendampingi Ketua Umum PDIP Megawati yang menjadi calon presiden, dan kalah.
Sementara itu, Sholahuddin Wahid (adik kandung Abdurrahman Wahid), berpasangan dengan Jendral Wiranto, yang diusung Partai Golkar, dan juga kalah. Sementara itu, Amin Rais, yang mendirikan Partai Amanat Nasional (PA), dan sebelumnya menjadi Ketua Umum Muhammadiyah, ikut mencalonkan diri dalam pemilihan presiden, dan berpasangan dengan tokoh nasionalis, yang menjadi penyokong Soekarno, yaitu Siswono Yudhohusodo, dan juga kalah.
Menjelang pemilihan presiden 2009, ormas-oramas Islam (NU, Muhammadiyah, dan lainnya), memberikan dukungan politik kepada pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, dan kalah. Sementara itu, partai-partai Islam, yang tergabung dalam koalisi dengan Partai Demokrat menyokong pasangan SBY-Boediono, dan menang. Sokongan itu juga diberikan oleh Amin Rais, dan bahkan ikut kampanye bersama dengan SBY di Padang (Sumatera Barat), dan di wilayah itu SBY mendapatkan dukungan suara 80 persen.
Tapi, kini pemerintahan SBY, yang mendapatkan suara 60,5 persen, mulai surut, karena terus-menerus dihadapkan berbagai masalah politik, yang semakin pelik dan rumit, termasuk kasus Bank Century, yang telah menghabiskan seluruh energy yang dimiliki pemerintahan SBY. Sehingga, pemerintahan SBY, yang sejak tahun 2004, tak dapat menghapus krisis yang dihadapi oleh bangsa ini, karena adanya problem yang sistemik yang ada dalam pemerintahan itu sendiri.
Sekarang, suara-suara keras mengkritik ormas-ormas Islam, yang mengalami demoralisasi dan kehilangan daya panggil, dan tidak lagi di dengar suaranya oleh umat. Semuanya ini diakibatkan para pemimpinnya sibuk ikut memperebutkan kekuasaan, dan terlibat dalam politik praktis, dan tidak memilik arah tujuan yang jelas terhadap kekuasaan.
Ditambah belakangan dengan berlangsungnya pilkada-pilkada di setiap daerah, di mana para pemimpin ormas Islam, menjadi terbelah dalam berbagai kepentingan politik, dan memberikan dukungan kepada calon, tanpa melihat latar belakang (background) calon yang akan tampil. Apakah ia akan memperjuangkan prinsip-prinsip Islam atau tidak.
Umat menjadi terombang-ambing diantara kepentingan para pimpinan ormas-ormas Islam, dan ulamanya dengan diantara kepentingan para politisi. Keterlibatan para pimpinan ormas Islam dan ulamanya, tidak didasari oleh mabadi’ (prinsip-prinsip) yang jelas, dan bahkan memberikan dukungan para politisi sekuler, dan umatnya tidak dididik melalui dakwah, yang selama ini mereka kerjakan. Kini, kehidupan politik dan umatnya, semakin jauh dari Islam.
Adakah mereka masih mempunyai tujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip Islam,dan mendidik umat, agar mereka mencintai Islam, Allah, Rasul-Nya, serta Al-Qur’an, atau ikut sibuk berebut ‘kue’ dunia? Lalu, bagaimana masa depan ormas-ormas Islam, NU, Muhammadiyah dan lainnya?
+++
Dengan ini kami mengharapkan pendapat, pandangan, serta sikap dari para pembaca. Kami mengucapkan terima kasih, dan dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup.