Sejak resesi yang mulai berlangsung Desember 2007, hingga Oktober 2009, jumlah angka pengangguran di negeri Paman Sam, meledak dari 7,6 juta orang menjadi 15.1 juta orang (Bureau Of Labor, News Release, The Employment Situation – September 2009). Di sisi lain, biaya krisis yang sudah dikeluarkan AS, menyebabkan defisit yang paling buruk sejak tahun 1945.
Defisit APBN AS mencapai $ 1.4 triliun dolar, sementara itu utang AS juga terus meningkat dengan drastis, dan menembus angka psychologis, yaitu $ 12,1 triliun dolar. Dengan PDB $ 14 triliun dolar, rasio utang AS terhadap PDB mencapai 80 persen. Rasio ini akan terus meningkat cepat, karena defisit APB negara itu mencapai lebih dari 1 triliun dolar AS tahun 2009.
AS juga tidak mampu melaksanakan keputusan kebijakannya, yang membailout sektor perbankan, yang ambruk akibat krisis ekonomi. Sehingga, sudah lebih dari 200 bank di AS, yang ditutup oleh regulator. Presiden Barack Obama telah memutuskan akan membailout bank-bank yang terkena krisis, yang jumlahnya mencapai $ 780 milyar dolar. Tapi, pemerintah AS tidak mampu menarik dana dari luar negeri, karena para kreditor juga sudah tidak percaya terhadap AS, akibat krisis yang dialaminya. Akhirnya, pemerintah AS, hanya mampu menyediakan dana untuk bailout, hanya sekita $ 200 milyar.
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh AS, tidak seluruhnya didukung oleh Sekutunya, seperti masalah Palestina, Iraq, dan Afghanistan. Negara-negara Uni Eropa, dalam kasus Palestina, jauh lebh maju sikapnya dibandingkan dengan AS, seperti menolak klaim Israel, tentang status akhir wilayah Yerusalem, yang menyatakan, Israel harus mundur dari posisinya, seperti sebelum perang tahun 1967. Di mana Uni Eropa, mendukung Yerusalem Timur menjadi ibukota negara Palestina. Uni Eropa juga mendukung langkah yang akan diambil oleh Otoritas Palestina, yang akan mengumumkan negara Palestina, secara unilateral, tanpa harus mendapatkan persetujuan Israel dan AS.
Kegagalan lainnya, yaitu AS, tidak mampu menciptakan stabilitas di Iraq, sesudah menjatuhkan Presiden Saddam Husien, dan menghukum gantung pemimpin Iraq itu. Sekarang ini, justru dengan Iraq di bawah rejim Nur Malikki (Syiah), yang merupakan boneka AS, kekacauan yang sangat hebat terjadi di Iraq, dan konflik yang bersifat sektarian (Syiah-Sunni), semakin menghebat, yang telah menelan korban, ratusan orang, selama tiga bulan terakhir ini. Iraq dapat mengarah kepada kekacauan, yang akan mendorong Iraq menjadi negara gagal, seperti Somalia.
Banyak pengamat politik, yang mengatakan AS, harus belajar dari Uni Soviet,yang gagal, di Afghanistan, tapi justru Presiden Barack Obama mengirimkan pasukan tambahan, yang jumlahnya antara 30.000 pasukan sampai 40.000 pasukan. Sehingga, jumlah pasukan AS di Afghanistan mencapai 110.000 pasukan. Ini merupakan jumlah pasukan terbesar di luar negeri, pasca berakhirnya perang dingin.
Dengan jumlah pasukan AS di luar negeri, dan biaya anggaran militer, yang terus membengkak, dan menyebabkan membengkaknya anggaran pertahanan yang harus dikeluarkan oleh AS, maka menambah beban bagi AS, yang sekarang menghadapi krisis. Ambruknya Soviet, tak lain, diakibatkan invasi militer yang dijalankan ke Afghansitan, dan beberapa negara lainnya, sehingga rezim komunis itu, berakhir.
Amerika menghadapi persoalan ganda, krisis ekonomi, yang disebabkan defisit anggaran, defisit perdagangan luar negeri, membengkaknya utang, melemahnya pertumbuhan ekonomi, dan menurunnya daya beli masyarakat, dan terus meningkatnya pengangguran, ditambah biaya perang. Inilah yang menyebabkan negara adidaya ini terseok-seok.
Masalah mengapa negara seperti Indonesia ini masih tetap bergantung dan berkiblat kepada AS, yang sudah nampak kebangkrutannya ini?