Matinya Lembaga Rakyat?

Ideologi demokrasi berasas pada pembagian kekuasaan secara jelas. Apa yang disebut dengan ‘Trias politica’, kekuasaan ekskutif, yudikatif, dan legislative adalah tiga pilar dalam sistem demokrasi. Sejatinya tiga pilar demokrasi yang termaktub dalam ‘Trias politica’ itu, masing-masing memiliki independensi, dan saling kontrol, yang kemudian dikenal dengan ‘checks and balances’. Sehingga terjadi titik keseimbangan (equabilirium) di antara institusi demokrasi itu. Tapi, bila salah satunya, terlalu ‘heavy” (berat) kewenangannya, maka itu akan menjadi pertanda matinya demokrasi.

Presiden SBY, yang baru saja melantik kabinetnya, dan mendapatkan dukungan 75 persen parlemen, yang merupakan hasil koalisi yang dibangun partai-partai (Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PKB, PPP, dan partai-partainya), mulai diuji dengan peristiwa politik dan hukum yang sekarang sedang berlangsung. Peristiwa-peristiwa yang berlangsung belakangan ini, sekaligus akan menandakan, apakah masih eksis atau tidak independensi lembaga-lembaga yang menjadi pilar demokrasi tersebut.

Pertama, penghentian rapat kerja antara DPR dengan Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih oleh Ketua DPR yang notabene berasal dari Partai Demokrat, sehingga rapat kerja yang mestinya berlangsung, menjadi batal. Kedua, hak angket DPR, berkaitan kasus Bank Century, kemungkinan akan menjadi tanda tanya, karena kasus ini bila digunakan hak angket, dan disetujui DPR, akan mengakibatkan ‘tsunami politik’. Tapi, hak angket ini masih harus menunggu hasil audit BPK, yang sekarang ini menjadi alibi fraksi-fraksi di DPR, yang masih belum menentukan sikapnya. Dan terakhir, rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Polri, yang berlangsung hingga Jum’at dini hari (6/11), dinilai berat sebelah, dan rapat kerja itu menjadi ajang pembelaan anggota Komisi III terhadap Polri.

Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Yudi Latif menilai jika DPR telah menentang arus besar suara rakyat. “Kita berharap DPR bisa lebih kritis terhadap proses hukum yang dilakukan polisi, bukan DPR yang menjadi pembela polisi”, ujarnya. “Mayoritas kekuatan DPR telah dipakai oleh kekuasaan”, tambah Yudi. Sementara itu, Ketua Forum Rektor, Edy Suandi Hamid menyatakan, “DPR takut berseberangan dengan Polri, karena bisa membuka aib sendiri. Kita ini ke masa ketika oposisi sudah mati dan tidak ada lagi kekuatan penyeimbang”, tegasnya. Rusdi Marpaung dan Al Araf dari Imparsial, “Dalam rapat kerja itu tidak terlihat fungsi check and balances DPR”, ujar Al Araf. Selebihnya, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen, Sebastian Salang, menilai, “DPR menunjukkan kepada publik secara telanjang, bagaimana kualitas yang sesungguhnya”.

Maka, melemahnya peranan DPR, sebagai akibat ikatan koalisi, dan dukungan kepada Presiden SBY (eksekutif), politik Indonesia akan menuju oligarki, dan tanpa kontrol.

Seiring dengan konstalasi politik yang ada ini, di mana rakyat tidak lagi memiliki pembela, menurut Ketua Forum Rektor Indonesia, Edy Suandi Hamid, oposisi jalanan dinilai akan menguat menyusul kekecewaan terhadap DPR. DPR yang diharapkan menjadi penyeimbang kekuasaan (eksekutif) tak memiliki sikap dan cenderung membela penguasa, ucap Eddy. “Kita tidak ingin nonton sandiwara. DPR seharusnya mengggali informasi yang menjadi pertanyaan publik. Misalnya, Polri dan Kejaksaan seolah-olah ikut merekayasa. Kalau DPR masih berperilaku seperti kemarin, tidak mengejar pernyataan dengan tuntas, kredibilitasnya akan semakin turun”, tegas Edy. (Kompas, 9/11)

Pengamat komunikasi politik Universitas Indonesia, Effendi Gazali, menilai forum Facebookers pendukung KPK lebih baik dibandingkan dengan anggota DPR dalam menilai kisruh yang terjadi antara KPK dan Polri. “Facebookers lebih baik ketimbang DPR. Terlebih Komisi III yang pertanyaannya ketika mengklarifikasi Kapolri sama sekali tidak mewakili masyarakat,” tandasnya.

Dengan melemahnya peran legislative terhadap eksekutif melalui pola penguasaan sistem dengan ikatan  yang disebut ‘koalisi’ ini, akankah demokrasi di Indonesia akan mati suri. Dan, akhirnya Indonesia akan masuk kepada kehidupan oligarki dan otoritarian kembali?

+++

Kami mengharapkan pendapat, pandangan, dan solusi dari para pembaca dan pengunjung Eramuslim. Kami menyampaikan terima kasih atas partisipasinya. Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup.