Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi, Zaenal Arifin Mochtar, mengatakan banyaknya intelektual atau aktivis menjadi politisi bukan hal tabu. Namun, ketika politik itu buruk, partai politik awut-awatuan, masuk ke wilayah kekuasaan poliltik adalah tindakan bunuh diri, ucapnya.
Saat ini, korupsi sudah menggurita, dan lalu bagaimana upaya memberantasnya? Menurut Zaenal Arifin, pemberantasan korupsi itu harus berbasis universitas. Mengapa? Sebab, menurutnya fakultas hukum itu penyumbang terbesar mafia peradilan. Saya kemarin membuat peta mafia peradilan bersama beberapa teman. Ternyata, simpul-simpul mafia peradilan sebenarnya di penegak hukum, di ranah kerja para polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. (Kompas, 2/3/2010)
Sekarang coba sebutkan syarat untuk menjadi itu semua? Kecuali polisi, semua harus sarjana hukum. Kita berpikir sederhana saja. Kalau mau perbaiki, ya perbaiki kualitas sarjana hukum.
Orang-orang yang masuk ke lembaga-lembaga itu (penegak hukum) memang harus orang berkualitas. Sekarang bagaimana kita memperbaiki kualitas para sarjana hukum, kalau dosen-dosen yang mengajar malah menjadi saksi ahli yang membebaskan koruptor? Saya sering bilang ke dosen-dosen, anda ini sering berbicara soal nilai-nilai di depan mahasiswa, sering pula bicara soal semangat pemberantasan korupsi. Bagaimana anda bicara soal itu kepada mahasiswa, sementara mereka melihat anda kemarin membela korupstor? Jadi,kita harus membuat universitas itu menjadi ‘Island of integrity’, pulau integritas, ucap Zaenal.
Kemudian, ada pertanyaan, di mana sekarang banyak kaum inelektual atau aktivis yang memutuskan bergabung dilingkaran kekuasaan? Zaenal Mochtar mengatakan, semua orang itu punya tingkat kepuasan yang berbeda. Ada orang yang kepuasannya ketika masuk ke Istana. Itu dibilang naik kelas. Tapi bagi saya adalah bunuh diri kelas.
Banyak pula orang mengatakan, semula aktivis atau akademisi lalu jadi politisi. Siklus orang Indonesia kebanyakan seperti itu. Memang menjadi politisi yang artinya mengabdi pada kekuasaan bukan hal yang tabu. Tetapi dalam konteks sekarang, itu tidak mencerahkan.
Pada kondisi seperti ini, ketika politik buruk, partai politik awut-awutan, masuk ke wilayah ini adalah bunuh diri kelas. Kalau masuk ke dalam, kemudian malah menjadi hamba di tengah kekuasaan politik macam itu, ini bodoh besar. Saya setuju ada kaum intelektual atau aktivis masuk ke kekuasaan. Tetapi harus ada pula intelektual yagn bicara mengenai perbaikan hukum di basis-basis seperti kampus, tambah Zaenal.
Namun, kini banyak para aktivis masuk dan terlibat di dalam kekuasaan, dan dengan justifikasi melakukan perbaikan dan perubahan. Perubahan dari dalam pemerintahan. Menciptakan pemerintahan yang bersih ‘good governance’, dan yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat dan bangsa.
Persoalannya yang terjadi, dan sering terjadi serta menjadi lazim, para aktivis itu, banyak yang larut, bukan hanya secara nilai-nilai dan prinsip serta cita-cita mereka, dan mulai ‘tergadaikan’ dengan kepentingan-kepentingan jangka pendek, dan mereka menjadi lebih pragmatis yang oportunistik. Sementara, perubahan dan pebaikan tidak terlihat dan nampak di segala sektor kehidupan, kecuali perubahan terhadap diri mereka, yang menjadi lebih makmur.
Karena itu, harapan-harapan yang dibebankan kepada para aktivis, yang sekarang menjadi aktivis partai politik, dan masuk ke ranah kekuasaan, masa depan menjadi buram, dan alternatif menjadi pupus. Tetapi, tetap saja para aktivis itu, melakukan pilihan dengan melibatkan diri dalam kekuasasan. Inilah yang dimaksud dengan istilah ‘bunuh diri’ oleh Zaenal Mochtar.
+++
Kami mengharapkan pendapat, pandangan, serta opini pembaca, dan kami mengucapkan terima kasih atas perhatian. Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup.