Kian dekat pelaksanaan Pemilu 2009, kian meriah wajah negara ini, dari perkotaan besar hingga ke pelosok kampung, semuanya kini dipenuhi oleh aneka poster, spanduk, baliho, stiker, yang semuanya memberi porsi yang sangat besar pada tampilan wajah seseorang dan juga lambang partai politik. Kampanye, demikian yang dilakukan ratusan ribu atau mungkin jutaan pemilik wajah tersebut, ada yang senyum-senyum dan ada pula yang menampilkan wajah paling sucinya (The Prophet Side).
Mereka berlomba-lomba menarik perhatian rakyat dan berlomba-lomba menjanjikan sesuatu yang muluk-muluk. Ada yang mengaku anti korupsi, anti nepotisme, menjanjikan pendidikan gratis, anggaran kesehatan yang lebih banyak, dan segudang janji lainnya. Dan seperti yang sudah-sudah, biasanya, segala janji itu akan dengan cepat dilupakan jika mereka berhasil melenggang ke gedung parlemen. Sama persis dengan apa yang dilakukan para politisi sejak zaman dulu.
Kampanye yang sangat nyata-nyata telah membuat wajah negeri ini kian semrawut dan coreng-moreng. Kota-kota besar kini bagaikan bak sampah raksasa yang dirubung jutaan poster, spanduk, dan sebagainya.
Mereka ini mengira rakyat masih saja bodoh. Padahal sekarang, rakyat sudah semakin cerdas dan kritis.
Dengar saja apa kata supir angkutan kota K02 jurusan Pondok Gede-Bekasi. Diman, 26, pemuda asal Cianjur yang sudah dua tahun menjalani profesi sebagai supir angkot ini berkomentar kepada eramuslim soal fenomena ini, "Pusing Mas, saya tiap hari melihat mereka. Saya tidak kenal mereka. Mereka juga tidak kenal saya. Masak berani-beraninya menyuruh saya memilih mereka? Emang saya makan dari dia?" Diman mengaku dalam pemilu nanti dia akan bertindak adil, yakni dengan mencontreng semua caleg dan semua parpol.
"MUI kan bilang Golput itu haram, ya saya pilih semuanya saja biar adil," tambahnya seraya terkekeh.
Komentar senada datang dari Rusdianto, 19. Pengamen di Pasar Pondok Gede ini mengaku jika dirinya juga pusing dengan banyaknya poster kampanye yang ditempel dengan berantakan di banyak lokasi. "Bener mas, pusing. Udara di sini sudah panas, eh tambah gerah ngeliat poster-poster itu. Nyakitin mata!"
Jika dikalkulasi, untuk mencetak ribuan poster dan spanduk tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi jika mencetak jutaan barang seperti itu. Belum lagi belanja iklan di media elektronik semisal teve yang menelan biaya triliunan rupiah. Iklan lewat teve juga tidak kalah meriah.
Ada yang mengaku pembela petani dan berjanji akan mengembalikan seluruh kekayaan negeri ini. Meskipun, kenyataannya kekayaan Indonesia masih berada di tangan orang asing dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Bahkan, masih ada yang membela Suharto, orang yang paling bertanggungjawab atas kebangkrutan Indonesia, dan masuknya korporasi asing sejak 1967,dan ‘merampok’ asset kekayaan alam negeri ini selama puluhan tahun.
Kemudian, yang berkuasa sekarang menyatakan jika kinerja kepemimpinannya berhasil. Padahal di lapangan, harga sembako kian hari kian mencekik leher, pengangguran bertambah banyak, angka PHK bertambah, nilai tukar rupiah terhadap emas kian melemah, makin banyak rakyat kecil yang bunuh diri lantaran frustasi terhadap kesulitan hidup, anak-anak jalanan kian berlipat, dan sebagainya. Kenyataan ini berusaha mereka tutupi dengan iklan-iklan politik yang sesungguhnya menyesatkan.
Semua ini tentu ada harganya. Bahkan ada sejumlah partai politik yang telah mengeluarkan jumlah triliunan rupiah. Dalam alam kapitalistis seperti ini, maka semua pengeluaran dianggap modal yang harus dikembalikan–berikut labanya–dalam jangka waktu tertentu. Sebab tu, sudah bukan rahasia umum jika para pejabat sesungguhnya lebih berkosentrasi mengembalikan modal ini ketimbang ingat pada janji-janji manisnya.
Caranya tentu sangat klasik: korupsi berjamaah seperti menyunat anggaran, melakukan penggelembungan anggaran belanja, proyek fiktif, sikut sana-sikut sini, dan lain-lain. Yang menjadi korban tentunya lagi-lagi rakyat kecil.
Bagaimana pendapat Anda soal penempelan dan pemasangan poster kampanye yang marak sekarang ini? Adakah hal ini memperindah kota atau malah sebaliknya?
***
Redaksi menyampaikan ucapan terima kasih atas sikap dan pandangan tentang kunjungan Hallary Clinton pada rubrik dialognya sebelumnya.