Umat Islam Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri menjelang datangnya hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Kekhasan ini mungkin tidak akan kita jumpai di negeri-negeri muslim lain di seluruh dunia.
Fenomena pertama adalah bermigrasinya jutaan penduduk kota secara sementara menuju kawasan luar kota yang biasa disebut kampung. Inilah fenomena pulang kampung.
Walaupun menyedot begitu banyak energi dan biaya, fenomena pulang kampung tidak pernah sepi dari peminat. Mereka tidak peduli dengan biaya besar yang harus dikeluarkan untuk menuju kampung, untuk membeli oleh-oleh dari kota, dan untuk sekadar hadiah sanak keluarga di kampung.
Belum lagi dengan beratnya perjalanan menuju kampung, mulai dari kemacetan jalan yang begitu parah, penuh sesaknya penumpang di kendaraan-kendaraan umum, hingga rawannya kecelakaan.
Ada kebahagiaan tersendiri ketika Lebaran menjadi ajang berkumpulnya sanak keluarga di kampung sendiri. Dan itu akan menjadi penghapus pengorbanan apa pun yang telah mereka keluarkan.
Selain pulang kampung, maraknya kunjungan masyarakat ke pasar-pasar, baik moderen maupun tradisional, menjadi fenomena lain yang tidak kalah menariknya. Mulai orang tua hingga anak-anak berbondong-bondong membeli busana untuk Lebaran.
Mereka tidak peduli dengan panas terik suasana pasar, harga busana yang relatif mahal, dan ancaman tindak kriminal di sekitar pasar. Yang penting, mereka bisa memperoleh busana baru untuk Lebaran.
Begitu pun soal persiapan panganan untuk Lebaran. Mulai dari aneka kue kering, manisan, hingga makanan khas Lebaran. Ini pun menyedot energi dan biaya yang tidak sedikit. Dan, masih beberapa lagi fenomena lain yang begitu menyibukkan umat Islam Indonesia menjelang Lebaran.
Sebagai konsekuensi dari fenomena-fenomena tersebut, suasana masjid menjadi seperti bertolak belakang. Pengunjung masjid kian hari berkurang drastis sejalan mendekatnya hari Lebaran. Kajian Islam Ramadhan pun berkurang peminat. Belum lagi ibadah I’tikaf yang masih belum akrab di kebanyakan masyarakat Indonesia.
Padahal, Rasulullah saw. mengajarkan justru di sepuluh hari terakhir Ramadhanlah ibadah harus ditingkatkan. Karena di situlah ada malam Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.
Dari fenomena-fenomena di atas, disadari atau tidak, sepertinya ada yang salah kaprah dalam tradisi masyarakat kita. Seolah tradisi ini mengatakan bahwa bulan yang agung dan besar itu bukan pada bulan Ramadhan, tetapi justru di bulan Syawal yang ditandai dengan hari Lebaran.
***
Redaksi berterima kasih atas komentar pembaca di rubrik Dialog sebelumnya. Semoga bisa menjadi masukan yang bermanfaat untuk kita semua.