Muktamar Nahdhatul Ulama yang ke-32 di Makasar menyiratkan sebuah pesan yang menarik. Pesan itu berbicara pada soal kriteria kepemimpinan ormas besar di Indonesia ini. Yaitu, sang pemimpin harus sejalan dengan semangat orisinalitas Ahlus Sunnah wal Jamaah: bukan Syiah, bukan juga JIL atau Islam Liberal.
Lepas dari kecurigaan sebagian pihak soal keputusan tatib bersih JIL itu yang dianggap untuk menjegal pencalonan seorang calon tertentu, syarat itu dianggap sebagian kalangan sebagai langkah maju NU untuk melakukan ‘pembersihan’. Terutama, dalam tubuh pejabat terasnya.
Keberadaan JIL selama ini, sudah sangat meresahkan umat Islam. Terutama, dari kalangan aktivis Islam yang ingin memurnikan pemahaman umat ini kepada Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw. JIL seolah menjadi pengeruh dari upaya penjernihan air nilai-nilai Islam oleh para aktivis dan dai di negeri ini.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa para aktivis dan pemikir JIL berasal dari kalangan muda NU. Bahkan, salah seorang tokoh muda NU, Ulil Abshar Abdallah, yang ikut mencalonkan diri dalam kursi ketua umum, secara terang-terangan mengaku bahwa ia memang berpandangan liberal.
Fenomena masuknya tokoh JIL yang memang mendominasi kalangan muda NU ke pencalonan pimpinan NU tentu mengkhawatirkan para aktivis dakwah, baik dari dalam NU maupun luar. Sulit membayangkan kalau NU akhirnya berkolaborasi dengan JIL.
Pertanyaan yang menarik, bagaimana mungkin ormas seperti NU yang bisa dibilang tempat kumpulnya para ulama bisa kemasukan Islam Liberal di level generasi mudanya? Mungkinkah pemikiran-pemikiran Islam Liberal gaya JIL juga menjangkiti generasi muda di ormas atau partai Islam yang lain?
Redaksi mengundang pembaca untuk memberikan saran. Semoga ini bisa bermanfaat sebagai masukan berharga untuk kita semua.