Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta terbuka, dan tidak berdasarkan undang-undang semata, khususnya dalam menanggapi keraguan sejumlah pihak terhadap daftar pemilih tetap (DPT) pemilu presiden. KPU harus segera membuka DPT pemilu presiden kepada publik dan pihak terkait lainnya. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti, Jum’at (3/7). Waktu yang hanya tinggal beberapa hari yang tersisa menjelang pemungutan suara 8 Juli, praktis tak ada yang dapat dilakukan kecuali membuka daftar pemilih tetap (DPT) pilpres yang dipersoalkan kepada publik secara luas.
“Dengan membuka DPT pilpres kepada publik, penyelenggara pemilu dapat membersihkan DPT dari pemilih fiktif dan mencegah data mereka digunakan fihak lain”, kata Ramlan. Ramlan menyayangkan sikap KPU yang enggan memberikan DPT kepada tim pendukung capres-cawapres dengan alasan tidak ada ketentuan dalam UU. “Itu artinya KPU minimalis. Jika tindakan KPU lebih maju (dari UU), itu tidak menyalahi UU, bhakan lebih baik”, katanya. (Kompas, 4/7).
Sekretaris Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Masykurudin Hafidz, upaya menuntut keterbukaan dan perbaikan DPT untuk mengakomodasi hak konstitusi semua warga negara harus diimbangi kampanye massif agar warga menggunakan hak pilihnya.
“Jika KPU tidak merespons desakan ini, kami akan menempuh gerakan rakyat, hingga ketingkat kabupaten/kota agar DPT, bukan menjadi dokumen rahasia, melainkan dibuka kepada publik sebelum pemilihan”, ujar Sekretaris II, Tim Kampanye Nasional Megawati-Prabowo, Hasto Kristiyanto. Dibagian lainnya, cawapres Wiranto, juga mendesak perbaikan DPT. “Jika sampai H-2 DPT tidak beres, kami akan minta penundaan pilpres”, ucap Wiranto, di Kebumen, Jawa Tengah. Menangapi permintaan berbagai kalangan yang menginginkan perbaikan terhadap DPT, Presiden SBY, di Puri Cikeas, Bogor, menyatakan : “KPU dan KPUD dibantu agar dapat benar-benar siap, akurat, tidak terjadi permasalahan seperti yang terjadi waktu yang lalu”, ujar SBY.
“Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah dan sejumlah tokoh lintas agama menuntut KPU bersikap netral. Apabila KPU tidak netral dan berpihak kepada salah satu pasangan calon tertentu, hal itu akan mencederai demokrasi dan mengkhianati hak-hak rakyat”, kata Din Syamsuddin, saat berpidato peresmian Gedung Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat dan Gedung Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah (UMJ), Ciputat, Tanggerang. “Saya dan tokoh lintas agama kemarin, Kamis, berkumpul. Kami menuntut kenetralan KPU. Saya dan tokoh lintas agama menengarai ada tanda-tanda KPU itu tidak netral, misalnya soal spanduk sosialisasi dan sikap setuju pilpres satu putaran”, tegas Din. (Kompas,4/7). Sikap ini akan menimbulkan ketidak adilan bagi para capres dan cawapres serta rakyat yang memiliki kebebasan memilih.
Di lapangan, Koordinator Teknologi Informasi, Tabulasi Suara, dan Relasi KPU Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo, Arif Wibowo, Jum’at kemarin, mengatakan, sosialisasi formulir CI yang tidak berimbang ditemukan di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Dalam contoh formulirCI, terdapat tiga pasangan capres, dengan angka perolehan suara, pasangan pertama 150, pasangan kedua 300, dan pasangan ketiga 200. Dari contoh itu, pasangan kedua yang menang di TPS tersebut. Formulir dicontohkan itu merupakan hasil penghitungan suara di TPS 01, Desa Belalang, Kecamatan Kediri, Kabupaten Kediri. “Contoh ini berbahaya, karena seperti menggiring petugas penyelenggara pemilu. Ini tentu saja menyalahai asas penyelenggara negara yang mandiri, tetap dan independen. Saya belum tahu apakah itu dibuat oleh KPU daerah atau KPU pusat”, ungkap Arif.
Dibagian lain, capres dan cawapres JK-Win dan capres dan cawapres Megawati-Prabowo, bertemu di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, di mana, dalam pernyataan bersama itu, kedua pasangan mendesak KPU menyelesaikan persoalan DPT selambat-lambatnya 1X24 jam sejak disampaikan kemarin malam. “Jika tidak, kami menyarankan KPU menunda (pilpres) sampai KPU dapat menyelesaikan masalah ini”, demikian pernyataan mereka. (Republika, 6/7).
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indrayana, menyatakan, secara hukum tidak ada dasar untuk menunda pemungutan suara pilpres. Usul penundaan hanya dpat disampaikan KPU, sesuai Pasal 172 UU Piplres, jika 40 persen provinsi tak dapat melaksanakan pilpres atau 50 persen pemilih terdapat tidak dapat melaksanakan hak pilih. Hal senada, dikemukakan oleh Tim Pemenangan SBY-Boediono, yaitu Hatta Rajasa, “Kami tunduk pada jadwal yang telah disepakati bersama”, ujar Hatta.
Tentu, rakyat dan umat menginginkan berlangsungnya pemilihan presiden, yang sesuai dengan asas jujur, adil, bebas, aman dan rahasia. Sehingga, rakyat dapat menggunakan haknya sesuai dengan pilihannya, dan tidak adanya kecurangan, serta menghasilkan pemimpin Indonesia yang memiliki legitimasi yang kuat.
++
Demikianlah rubrik dialog yang baru ini menyoroti pelaksanaan pemilihan presiden 8 Juli ini. Selanjutnya, rubrik dialogi sebelumnya kami tutup. Kami mengharapkan pandangan, pendapat, serta sikap para pembaca, dan kami menyampaikan terima kasih atas partisipasinya. Redaksi.