Dalam satu bulan ini, 11 Juni hingga 11 Juli 2010, jutaan pemirsa dan penggemar sepakbola di seluruh pelosok dunia benar-benar dibuai dengan tayangan Piala Dunia 2010. Tak peduli seperti apa pun keadaan dalam negeri mereka: krisis ekonomi, krisis politik, bahkan peperangan, tayangan bola tiba-tiba menjadi bius untuk melupakan itu semua.
Sebagai kaum muslimin, tentunya akan sejenak melupakan Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam, yang kini semakin rapuh di ambang kehancuran akibat ulah Zionis-Yahudi. Sebagian kaum muslimin juga akan sejenak melupakan berbagai persoalan kronis bangsa ini, mulai dari kasus korupsi, gerakan aliran-aliran sesat yang terus diback-up mati-matian oleh kalangan sekular-liberal dan lain-lain. Ada sebuah kekuatan besar yang mengarahkan mata, telinga, bahkan hati dan pikiran kita untuk terus mengikuti kemana si kulit bundar menggelinding. Namun, disaat yang sama, kita akan mengabaikan penderitaan kaum muslimin di belahan bumi lainnya atau bahkan di depan pintu rumah kita sendiri.
Di sisi lain, ajang Piala Dunia adalah ladang bisnis luar biasa, khususnya para pebisnis dunia yang sebagian besar pemainnya adalah pebisnis Amerika dan Eropa. Bagi tuan rumah, hajatan akbar ini akan menghasilkan devisa negara melimpah dari perusahaan-perusahaan sponsor tingkat dunia, pariwisata, layanan jasa transportasi dan lain-lain.
Namun, di balik hingar bingar piala dunia, ada beberapa persoalan yang tak kasat mata atau minimal tak disadari oleh khalayak pemirsa. Mulai dari kepentingan Zionisme-Yahudi dan hegemoninya di ranah kapitalisme global yang berpayung di balik sponsor, hingga infiltrasi ideologi Kabbalah-Satanisme, ideologi sesat pemuja kesesatan dan materialisme-hedonistis dengan berbagai derivasinya. Secara perlahan dan halus, merambati jalan pikiran jutaan pemirsa dan menghujani alam bawah sadar kita dengan simbol-simbol paganistis mereka.
Dari sudut pandang yang lain, bola seperti menjadi agama baru yang diam-diam menggusur iman kepada Allah dan menggantikannya dengan kesenangan yang adiktif. Ada sebersit kebahagiaan ketika tim pujaan memenangkan laga pertandingan, dan kecewa mendalam ketika mereka kalah di lapangan. Kebahagiaan dan kekecewaan yang mampu mengendalikan hasrat dan pikiran yang fanatik melebihi pengaruh keyakinan agama terhadap dirinya sendiri. Tidaklah berlebihan jika di sebuah jalan di Manchester, Inggris, sebuah papan iklan besar milik Manchester United menampilkan gambar seorang pemain dengan tulisan di bawahnya, its like religion.
Piala Dunia adalah saudara kembar arus globalisasi yang semakin membuat dunia kita menjadi kecil (small village). Dalam globalisasi, individu-individu dengan keunikan latarbelakang masing-masing seakan lebur dalam satu kesatuan yang berskala global. Mereka seakan tercerabut dari keaslian jatidirinya dan memilih untuk menjadi pribadi “yang lain” agar diterima dalam pergaulan dunia yang (katanya) lebih modern, humanis dan egaliter.
Namun, tidak disadari bahwa internalisasi nilai-nilai “the other” (yang lain) secara intens, lambat laun tapi pasti akan melahirkan pribadi-pribadi ambigu yang tak mampu bersikap kritis terhadap perubahan arus politik global maupun tantangan ideologis yang tak pernah henti menggerus pondasi akidah seorang muslim.
Sudah menjadi bius sedahsyat inikah ajang piala dunia saat ini untuk umat Islam? Seperti apakah sikap umat Islam menyikapi hal ini? mnh/kazi