Gaya hidup pejabat yang penuh dengan kemewahan akan menyebabkan terjadinya praktik-praktik korupsi. Karena itu, mulai dari presiden, menteri anggota DPR, sampai ke tingkat jajaran kepala daerah harus meneladani kesederhanaan.
Demikian kesimpulan, analis keuangan dan perbankan, Yanuar Rizky, dan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Sebastian Salang. (Kompas, 16/11). “Life style menjadi resiko bawaan perilaku korup DPR dan Pejabat”, tambahnya.
Menurut Yanuar, hal ini juga terkait dengan karakter pejabat dan untuk mengubah hal ini harus dimulai dari para pemimpin. Yanuar memberikan contoh apa yang dilakukan Presiden Franklin Delano Roosevelt, satu-satunya presiden Amerika Serikat yang terpilih sampai empat kali. Dalam memulihkan Amerika dari krisis yang sangat hebat itu, Roosevelt memulainya dengan memperbaiki karakter bangsa Amerika.
Sementara itu, Sebastian Salang, menilai bahwa nilai-nilai kesederhanaan sudah tidak ada lagi, mulai di partai politik, pejabat, anggota DPR, bahkan sampai di sekolah-sekolah. Hal itu terlihat dari banyaknya orang-orang yang berlomba-lomba dalam memamerkan kemewahan mereka.
Dalam penentuan calon anggota DPR pun seringkali melihat hanya dari sisi uang, bukan perjuangan yang mereka telah lakukan di tengah-tengah masyarakat yang menjadi ukurannya. Dengan demikian, banyak calon yang berlomba-lomba memperlihatkan diri sebagai orang yang seolah-olah punya uang banyak. Banyak anggota DPR atau pejabat sekarang ini yang malu menggunakan kendaraan umum.
Menurut Sebastian, mulai dari presiden, menteri, DPR, DPD, sampai kepala daerah dapat meneladani pola hidup sederhana. Presiden dan menteri, misalnya dapat meneladani memotong dana taktis atau biaya protokoler, yang jumlahnya lumayan, dan dapat digunakan untuk membantu orang-orang miskin, yang sekarang jumlah semakin banyak. DPR juga dapat bersikap dengan menggunakan mobil yang tidak mewah, kala sedang menjalankan tugas. Tapi, menurut Anggota DPR dari PDIP, Eva Kusuma Sundari, memang tidak mudah melaksanakan hidup sederhana. “Anakku juga yang kelas I SMP suka protes. ‘Maka tidak terlihat seperti pejabat, bajunya terlalu sederhana”, kata Eva.
Memang, jumlah orang yang miskin masih banyak, dan kalau melihat kehidupan di kampung-kampung sangat trenyuh, karena mereka tidak memiliki penghasilan tetap, dan terkadang mereka hanya bekerja serebutan, dan harus menanggung anak dan isteri, serta harus membiayai sekolah mereka. Banyak sektor imformal, yang gulung tikar, akibat krisis ekonomi beberapa tahun ini. Mereka belum memiliki alternatif untuk solusi, dan mempertahankan kehidupan mereka.
Tapi, yang memiliki shohibul hikayat, para menteri yang baru dilantik, beberapa hari, pemerintah sudah menyatakan akan menaikkan gaji mereka. Padahal, mereka sudah menikmati berbagai fasilitas pemerintah, mulai dari rumah, mobil, dana taktis departemen, dan lainnya, yang tidak sampai mereka akan kekurangan apa-apa selama lima tahun menjadi pejabat.
Memang tidak selayaknya, membandingkan para generasi Salaf dengan jenis manusia sekarang ini. Tapi, kiranya dapat menjadi cermin dan tauladan dalam menghadapi kehidupan ini. Salah satu yang menyebabkan melemahkan kehidupan, baik kolektif maupun individu, tak lain karena manusia terlalu cinta terhadap kehidupan dunia.
Penyakit ‘wahn’ telah merasuk dalam hati dan dada setiap umat, yaitu “Hubbud dunya wa kahariyatul maut”, (cinta dunia dan takut mati), maka seperti diungkap oleh Muhammad Natsir di tahun 80 an, umat Islam, yang jumlahnya banyak itu, tak lebih seperti ‘al husak’ (buih) dilautan. Banyak tapi buih, sehingga tak mempunyai arti apa-apa, dan tak dapat berpengaruh di dalam kehidupan.
Maka, kehilangan identitas, harga diri, kebanggan, tidak memiliki izzah, tidak lagi sensitif terhadap berbagai kehidupan yang fasad di sekelilingnya.
++++
Kami mengharapkan pendapat, pandangan, dan tanggapan pembaca. Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih atas perhatiannya, dan dengan demikian rubrik dialog sebebelumnya kami tutup.