Sekarmaji Kartosuwiryo, mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), yang disebut juga dengan Darul Islam (DI) serta Tentara Islam Indonesia (TII). NII dideklarasikan oleh Sekarmaji Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949. Dalam proklamasinya bahwa “Hukum yang berlaku dalam NII adalah hukum Islam”, dan lebih jelas lagi, dalam Undang-undangnya dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam”, dan “Hukum tertinggi adalah Al-Qur’an dan Hadist”.
Deklarasi yang dilakukan Sekarmaji Kartosuwiryo itu, sebagai akibat dari perjanjian antara Indonesia dengan Belanda, di mana daerah-daerah yang menjadi milik Republik Indonesia harus diserahkan kepada Belanda, dan yang tinggal hanya Yogyakarta. Jawa Barat, kala itu sudah dbawah pengaruh Sekarmaji Kartosuwiryo. Ia bukan hanya membentuk NII, tetapi juga membentuk tentara, yang dikenal TII. Maka, Sekarmaji Kartosuwiryo menolak untuk ‘hijrah’ ke Yogyakarta. Tokoh NII itu tetap bersama dengan pengikutnya berada di Jawa Barat.
Sekarmaji Kartosuwiryo yang menolak hasil perundingan antara Indoensia-Belanda, dan tetap berada di Jawa Barat, akhirnya konflik dengan Presiden Soekarno. Usaha-usaha penyelesaian konflik antara Sekarmaji Kartosuwirjo dengan Soekarno telah melalui cara-cara dialog, termasuk Presiden Soekarno mengutus Mohamad Natsir melakukan pertemuan dengan Sekarmaji Kartosuwiryo, tetapi gagal.
Sekarmaji Kartosuwiryo yang telah menguasai wilayah (teritorial) dan memiliki tentara (TII), akhirnya memilih perjuangan bersenjata (jihad) dalam menegakkan NII, dan akhirnya berhadapan dengan pemerintahan Soekarno. Konflik bersenjata antara Sekarmaji Kartosuwiryo dengan pemerintahan Soekarno, merupakan konflik bersenjata yang terpanjang dalam sejarah Republik Indonesia yang berlangsung selama lebih 13 tahun, dan berakhir dengan tertangkapnya Sekarmaji Kartosuwiryo dalam operasi pagar betis, dan kemudian Sekarmaji Kartosuwiryo di eksekusi bulan September tahun 1962.
Tokoh NII itu juga menolak untuk meminta ampun kepada pemerintah, yang sebenarnya akan menghindari hukuman mati baginya. Tetapi Sekarmaji Kartosuwiryo mengatakan, “Saya tidak akan pernah minta ampun kepada manusia yang bernama Soekarno”.
Pola perjuangan dalam menegakkan cita-cita Islam model Sekarmaji Kartosuwiryo, mengalami kegagalan, dan berakhir dengan dieksekusinya tokoh yang menjadi pendiri gerakan itu.
Dibagian lain, tokoh-tokoh Islam pasca kemerdekaan melalui wadah partai politik, berusaha memperjuangkan tegaknya Islam sebagai dasar negara, di mana perjuangan mereka melalui parlemen, yang dilakukan partai-partai Islam, yang dipelopori Partai Masyumi, antara tahun 1955-1959, dan akhirnya gagal, bersamaan dengan keluarnya Dekrit Presiden Soekarno, yang membubarkan Konstituante, dan menyatakan kembali ke UUD’45.
Sampai akhirnya Partai Masyumi yang dipimpin oleh Mohammad Natsir itu, dibubarkan oleh Soekarno di tahun 1960. Dan, di era Orde Baru, para tokoh Masyumi ingin membangun kembali Partai, tetapi ditolak oleh Soeharto, saat menyelenggarakan Muktamar di Malang, tahun 1968. Di mana seorang tokoh Masyumi yang sangat moderat Mr. Mohamad Roem, di tolak pemerintah untuk memimpin Partai Parmusi, yang menjadi penjelmaan Masyumi.
Sesudah runtuhnya Soeharto, lahir era reformasi, di mana adanya kebebasan dalam menyatakan hak-hak dasar masyarakat, kembali lahir partai-partai politik. Tetapi, tokoh-tokoh Islam, yang ada tidak berani menegaskan jati diri mereka untuk mendirikan partai Islam. Seperti Abdurrahman Wahid, sebagai tokoh NU,dan cucu dari Kiai Hasyim Asy’ari, yang merupakan pendiri NU, justru mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), yang bercorak nasionalis sekuler.
Demikian pula, Amin Rais yang mewakili kalangan Islam modernis, Muhammadiyah dan tokoh reformasi, tak juga berani mendirikan partai yang bercorak Islam. “Baju Islam terlalu sempit bagi saya”, ucap Amin. Maka, Amin mendirikan partai politik yang bernama PAN (Partai Amanah Nasional), yang sangat pluralis, di mana pengurusnya beraneka ragam golongan agama, seperti Budha, Kristen, Katholik, dan kalangan sekuler serta sosialis.
Ada PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PBB (Partai Bulan Bintang), yang berasaskan Islam, saat momentum datang, yaitu dengan adanya perubahan UUD’45, tak berani memperjuangkan Piagam Jakarta masuk ke dalam UUD ’45. PPP dan PBB menarik usulannya saat menjelang paripurna dalam pembahasan perubahan UUD’45, karena Hamzah Has selaku Ketua PPP telah menjadi wakil presiden yang berpasangan dengan Megawati. Demikian pula, PBB yang waktu diwakili Yusril Ihza Mahendra, tak berlanjut usulannya dengan Piagam Jakarta, karena kepentingan politiknya sudah diakomodasi oleh Presiden Megawati, tidak lagi memperjuangkannya lagi cita-cita itu.
Belakangan PKS yang dulunya mendekritkan tentang jati dirinya sebagai partai dakwah, yang bercita-cita menegakkan Islam secara syamil (kaffah), sesudah berkoalisi dengan Presiden SBY, kini mengubah esensi dirinya, menjadi partai terbuka, karena ingin menjadi kekuatan ketiga dalam pemilu tahun 2014 nanti. Dengan perubahan PKS yang sudah menjadi partai terbuka, dan merubah anggaran dasarnya, yang memungkinkan golongan non-muslim menjadi anggota dan pengurus partai, maka hakekatnya sudah berubah menjadi partai ‘sekuler’.
Dengan pola yang dilakukan Sekarmaji Kartosuwiryo perjuangan menegakkan Islam dengan kekuatan senjata mengalami kegagalan, dan melalui pola parlemen juga mengalami kegagalan, dan bahkan partai-partai Islam yang ada telah mengubah indentitas mereka.
Bagaimana pola perjuangan umat Islam di masa depan dalam menegakkan Islam di Indonesia, sampai terwujudnya sistem dan nilai Islam yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan ini?
+++
Dengan ini dialog sebelumnya kami tutup, dan kami menyampaikan terima kasih atas perhatian dan partisipasinya. Kami mengharapkan pendapat dan sikap dari para pembaca.