Bagaimana Masa Depan Mereka?

Panas terik dan menyengat. Suhu di Jakarta hampir mencapai 40 derajat. Suko (bukan nama sebenarnya) terus menelusuri jalan-jalan kampung. Dagangan gorengannya belum habis. Padahal jam sudah menjelang lohor. Hari itu memang sepi. Entah mengapa? Suko teringat anaknya yang kelas 5 SD belum bayaran. Maklum anaknya sekolah di swasta.

Begitu juga Sarkum (bukan nama sebenarnya) tak berani pulang. Karena penghasilan terus merosot. Tak lagi dapat membawa uang Rp 50.000 setiap harinya. Sekarang paling-paling hanya mendapat Rp 30.000. Karena tukang ojek di ujung jalan jalan besar itu, banyak sekali. Sehingga setiap hari harus berebut penumpang dengan temannya. Sementara Sarkum mempunyai anak empat. Semuanya sekolah.

Warmah (bukan nama sebenarnya), janda dengan tiga anak, suaminya pergi tanpa kabar, entah kemana. Kini ia harus menghidupi ketiga anaknya. Sehari-hari Warmah jualan sayur dan nasi uduk, di ujung gang dekat rumahnya. Di putar-putar tetap saja, penghasilan tak dapat mencukupi . Keuntungan setiap hari hanya Rp 40.000, tapi terkadang kalau lagi sepi bisa turun hanya Rp 20.000, dan ditambah ia harus membiayai dua orang anaknya yang sedng sekolah.

Tolhah (bukan nama sebenarnya) hidupnya hanya bergantung dari kebun. Kebunnya ditanami blimbing dan pepaya. Tetapi tidak setiap hari dapat memanen blimbing dan pepayanya. Kalau tidak lagi panen, Tolhah bekerja serabutan, sebagai tukang kuli batu. Menemani tetangganya. Penghasilan kadang ada, tetapi kadang tidak. Sementara itu, ia mempunyai tanggungan anaknya dua orang sudah sekolah di SMP, dan sudah beberapa kali anaknya ditegur, lantaran telat membayar sekolah.

Suhendra (bukan nama sebenarnya), petani di lerang bukit, dan memiliki tanah yang luas, tetapi beberapa kali gagal panen, karena banjir dan longsor. Suhendra kehidupannya hanyalah bergantung dari hasil sawah yang dimilikinya. Tentu, yang menjadi pikiran dirinya, anak pertamanya kuliah di sebuah universitas di kota besar, yang membutuhkan biaya. Ketika anaknya  masuk kuliah di kota besar, sebidang tanahnya (sawahnya) sudah dijual untuk membiayai anaknya. Tapi, belakangan beberapa kali gagal panen, karena adanya banjir dan longsor, yang terjadi di daerahnya.

Beberapa tahun belakangan ini semakin banyak orang yang menjadi miskin. Akibat krisis ekonomi. Seperti Juhana (bukan nama sebenarnya), bekas buruh pabrik, yang sudah tidak lagi bekerja akibat terkena PHK, dan hidupnya hanya tergantung dari isterinya yang sehari-hari sebagai tukang cuci. Sementara itu, Juhana mempunyai tiga orang anak, yang pertama sudah masuk SD kelas 2. Mereka yang mempunyai nasib seperti Juhana semakin banyak.

Belum lagi orang seperti Solehan (bukan nama sebenarnya) yang sehari-hari sebagai pemulung. Bersama dengan isteri dan tiga orang anaknya, setiap hari harus menyusuri kampung-kampung mengais ‘rezeki’ dari tempat-tempat sampah, dan mengumpulkan barang-barang bekas, kemudian ia jual, sekadar untuk dapat bertahan hidup di Jakarta. Orang yang berprofesi seperti Solehan tak sedikit.

Ada lagi Farhan, yang sehari-hari jualan barang-barang bekas (loakan), dari mulai baju sampai alat-alat perabotan rumah tangga, tetapi setiap hari tak dapat membawa uang ke rumah, lebih dari Rp 35.000, dan baru pulang sampai senja hari. Dengan tubuh yang sudah gontai. Farhan sudah berapa kali digaruk Tramtib. Tetapi, ia tak punya pilihan lain, kecuali menjadi pedagang barang bekas (loakan), yang sudah ditekuni selama lebih dari 10 tahun. Anak-anaknya tak ada yang sekolah.

Bahkan keluarga itu pernah di bulan Ramadhan hanya sahur dengan singkong, dan buka hanya dengan nasi dan tempe. Tak ada lagi yang dapat dinikmatinya. Semuanya itu karena keadaan. Tetapi keluarga itu tetap puasa hingga selesai.

Apalagi seperti sekarang ini, barang-barang kebutuhan pokok selalul naik, semantara pendapatan mereka tak pernah naik. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini, terus menurun, akibat krisis ekonomi.

Masih banyak jenis orang-orang atau anak kelas pinggiran, yang entah bagaimana masa depan mereka. Seperti Jehan (bukan nama sebenarnya), tidak ketahuan siapa keluarganya. Anak yang baru berumur 9 tahu itu, terus menggelandang, dari satu kereta ke kereta lainnya. Dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Hidupnya tidak jelas. Ketika ditanya asalnya dari mana? “Tidak tahu”, jawab Jehan. Badannya kumal dan lusuh, wajah kuyu dan matanya sayu. Kurus. Entah bagaimana masa depannya.

Semakin banyak ‘lumut’ yang mengotori jalan-jalan ibukota Jakarta ini, tentu bagi berbeda dengan mereka yang tak merasakan kehidupan kaum kelas pinggiran ini. Dan, kaum pinggiran itu  terus menjalani kehidupannya sehari-hari, dan tanpa perhatian siapapun.

Adakah mereka masih mempunyai harapan masa depan, dan siapa yang peduli dengan nasib mereka itu?

+++

Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup, dan kami menyampaikan terima kasih atas perhatiannya. Kami mengharapkan partisipasi pendapat, pandangan dan sikapnya.