Menjelang magrib di berbagai wilayah di Jakarta, tetap seperti tahun-tahun sebelumnya. Jalanan macet. Mobil-mobil berbagai model dan tipe memenuhi jalanan. Tak putus-putus. Kalau ingin pulang cepat, lewat jalan alternatif manapun, tetap saja macet. Kecuali menggunakan sepeda motor. Tetapi, kondisinya sama, tak dapat berjalan, karena ruas jalan yang ada, juga diambil oleh mobil-mobil, yang juga ingin pulang cepat .
Menjelang sore, kendaraan umum, seperti bus, mikrolet, metro mini, dan kereta penuh. Apalagi, kereta kelas ekonomi, penumpangnya berjejal, sampai terasa sesak nafas, ketika berada di dalam kereta ekonomi, yang menuju Bogor, Bekasi, dan yang ke arah Cilegon. Betapa angkutan kereta telah menjadi alternatif bagi kaum miskin dan kurang mampu di Jakarta. Mereka setiap hari pergi ke Jakarta mengais rezeki. Pemandangan yang sangat mengusik, setiap sore, kereta yang sangat penuh itu, banyak penumpang yang tanpa mengenal resiko bahaya kecelakaan, mereka naik diatap-atap kereta, bahkan ada yang berada disambungan kereta.
Sekarang saat menjelang akhir pertengahan Ramadhan, nampak pemandangan yang tak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana-mana di sepanjang ruas di Jakarta, banyak para pemulung yang membawa gerobak, diserta anak-anaknya serta isteri mereka. Di setiap sudut jalan di Jakarta, semakin nampak, dan ditambah para pengemis dan pengamen di jalana, serta di angkutan-angkutan yang selalu menemani para penumpang, yang tak pernah henti-henti. Bahkan, bukan hanya di jalanan di setiap stasiun kereta banyak anak-anak yang disertai orang tua mereka mengamen. Tujuannya hanya ingin menadapatkan uang. Inilah satu-satunya cara yang mereka miliki untuk mempertahankan hidup mereka di Jakarta ini.
Pedagang kecil, seperti gorengan, mie, bakso, ketoprak, jajanan, tukang ojek, kuli batu, kuli galian, yang hidupnya semakin tergerus dengan kenaikan harga-harga yang terus melangit. Mereka bekerja hanyalah untuk bisa mempertahankan hidup mereka hari ini. Tak ada lagi harapan, bisa menabung untuk kehidupan masa depan mereka. Mereka yang miskin itu masih dibebani keluarga yang rata-rata mempunyai anak sekolah. Tukang ojek, yang dahulunya sehari mengojek masih bisa mendapatkan uang antara Rp 40.000 sampai Rp 50.000, tetapi kini penghasilan mereka rata-rata hanyalah Rp 25.000, dan itupun sudah tergolong sangat bagus.
Mereka bekerja keras. Dari pagi hingga petang. Tetap tak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Entah seperti apa mereka dapat mempertahankan hidup mereka, agar dapat menjaga keluarganya. Mereka tak mungkin berbelanja di mall-mall seperti saudara mereka yang memiliki kekayaan dan rezeki lebih, saat menjelang lebaran (idul fitri), tak mungkin berangan-angan. Mereka hanya mengharapkan hidupnya dari bekerja keras, sebagai buruh, tukang ojek, kuli, atau pedagang asongan, agar bisa tetap hidup di esok harinya.
Sementara itu, orang-orang yang kaya, tetap saja dengan kehidupan mereka, tak berubah. Acara berbuka puasa, berlangsung di hotel-hotel mewah, yang disertai dengan ceramah agama, dan dilanjutkan dengan sholat maghrib, terkadang shalat isya’ dan tarawih. Mereka menkmati kehidupannya dengan penuh bahagia. Tertawa, senyum simpul, bersama dengan kolega, dan mungkin sahabat-sahabat bisnis atau diantara kawan pejabat. Kebiasaan buka di hotel-hotel sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak dahulu. Tidak lagi suka bertemu di masjid-masjid di dekat rumah mereka. Hal ini tergambar disebuah masjid komplek perumahan yang tergolong mewah dari kalangan orang-orang kaya, para ‘nyonya dan majikan’, jarang nampak di masjid, yang ada hanyalah para pembantu rumah tangga (PRT), yang rajin shalat isya’ dan tarawih serta mendengarkan ceramah di bulan Ramadhan.
Disisi lain, semua kehidupan yang dialami rakyat miskin ini berbeda dengan yang dialami Presiden, seperti yang diungkapkan sebuah LSM FITRA (Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran), seperti gaji seorang Presiden Rp 150 juta perbulan. Diluar gaji bulanan, Presiden mendapatkan dana taktis Rp 2 milyar. Selain itu, menurut FITRA, juga mengungkapkan Presiden mendapatkan anggaran untuk pakaian dinas sebesar Rp 893 juta pertahun, artinya rata-rata setiap bulannya Rp 18.615.854 (Rp. 18 juta).
Berdasarkan laporan daftar kekayaan per 23 Nopember 2009, kekayaan Presiden SBY, Rp 7.616.270.204, dan USD 246.389 dolar (1 USD = Rp 9.000). Jika ditotal menjadi Rp 9,956 miliar. Disamping itu, Presiden juga menghabiskan uang untuk melakukan kunjungan ke luar negeri, menurut FITRA sejak tahun 2005-2009, tak kurang mencapai Rp 813 miliar. Artinya rata-rata pertahun mengahabiskan Rp 162 miliar. Sedangkan tahun 2010 ini, masih menurut FITRA, Sekretariat Negara menganggarkan kunjungan ke luar negeri Rp 179 miliar. Untuk tahun 2011 Sekretiat Negara mengajukan alokasi anggaran ke DPR sebesar 181 miliar. Bila dihitung anggaran ke luar negeri perbulannya tahun 2010 menghabiskan anggaran Rp. 14,9 miliar.
Sungguh ada perbedaan yang mencolok antara kehidupan seorang Presiden dengan rakyat miskin, yang mestinya mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Agar orang miskin yang merupakan sesama saudara ini, tak terus-menerus hidupnya penuh dengan kegetiran yang sangat menusuk.
Dapatkah Ramadhan ini menjadi bulan untuk mengasihi sesama saudara kita, sebagai satu anak bangsa, dan tidak membiarkan kehidupan mereka penuh dengan penderitaan?
+++
Dengan ini rubarik dialog sebelumnya kami tutup, dan kami menyampaikan terima kasih atas perhatian para pembaca.